Pada malam pernikahannya, Hwa-young seharusnya meminum racun yang memulai kehancurannya. Namun, takdir memberinya kesempatan kedua. Ia kembali ke malam yang sama, dengan ingatan penuh akan pengkhianatan dan eksekusinya. Kini, setiap senyum adalah siasat dan setiap kata adalah senjata. Ia tidak akan lagi menjadi pion yang pasrah. Menghadapi ibu mertua yang kejam dan suami yang penuh curiga, Hwa-young harus mengobarkan perang dari balik bayang-bayang untuk merebut kembali takdirnya dan menghancurkan mereka yang telah menghancurkannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salsabilla Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penemuan Benang Emas
Kang Jin-woo tersentak. Wajahnya yang tegang semakin pucat, seolah baru saja disiram air es. Ia menatap Yi Seon, mencari celah, mencari tanda keraguan di mata Pangeran Mahkota. Tidak ada. Yi Seon berdiri tegak, matanya sedingin musim dingin yang membekukan. Perintahnya mutlak.
"B-baik, Yang Mulia," Kang Jin-woo tergagap, membungkuk kaku. Gerakannya terburu-buru, penuh kepatuhan yang dipaksakan. "Akan saya laksanakan." Ia berbalik, memelototi juru tulis senior yang masih terpaku di tempatnya, menatap adegan itu dengan mata terbelalak. "Kalian dengar? Buka arsip Ratu sebelumnya. Sekarang juga!"
Para juru tulis bergegas, gerakan mereka canggung dan terburu-buru. Suasana yang tadinya formal kini diselimuti aura ketegangan yang pekat, seolah udara itu sendiri bisa pecah kapan saja. Hwa-young mengamati semuanya, napasnya tertahan. Yi Seon tetap di sampingnya, kehadiran pria itu seperti bayangan tinggi yang dingin. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun, hanya mengamati dengan tatapan tajam, mengawasi setiap gerak-gerik di ruangan itu. Hwa-young tahu, kemenangan kecil ini hanya permulaan. Perhatian Yi Seon adalah pisau bermata dua.
Juru tulis senior, yang bernama Tuan Park, dengan tangan gemetar, mengambil kunci perunggu dari balik jubahnya. Ia melangkah ke arah sebuah pintu ganda berukiran rumit di sisi lain ruangan, yang selama ini Hwa-young duga adalah pintu menuju gudang pribadi Kang Jin-woo. Pintu itu terbuka dengan derit pelan, memperlihatkan sebuah ruangan kecil yang dipenuhi rak-rak kayu gelap, berjejer dengan gulungan perkamen dan kotak-kotak kayu berdebu.
“Hanya barang-barang biasa, Yang Mulia,” Kang Jin-woo berkata, mencoba meremehkan apa yang ada di dalamnya.
Kang Jin-woo melirik Yi Seon, mencari dukungan, tetapi Pangeran Mahkota hanya berdiri diam, wajahnya tanpa ekspresi, seolah ia hanya penonton.
“Biarkan ia mengawasi, Sekretaris,” kata Yi Seon akhirnya, rendah dan tajam. “Agar tidak ada lagi tuduhan pelanggaran hukum yang tidak perlu. Lanjutkan pekerjaan kalian.”
Perintah itu memotong semua perdebatan. Kang Jin-woo menggertakkan giginya, tetapi terpaksa mundur sedikit, memberi Hwa-young ruang untuk melihat ke dalam. Dua juru tulis masuk ke dalam gudang, mulai menarik keluar kotak-kotak dan gulungan. Debu beterbangan di udara, menciptakan selubung tipis di bawah cahaya lampu minyak.
“Cepat!” desak Kang Jin-woo. “Ambil semua yang berlabel ‘Ratu Yang Mulia’!”
Hwa-young mengamati dengan saksama. Matanya bergerak cepat dari satu barang ke barang lain. Beberapa adalah surat-surat lama yang sudah menguning, beberapa lagi adalah kotak perhiasan kosong, dan ada pula beberapa gulungan kain sutra yang sudah usang. Tidak ada yang tampak signifikan. Namun, ia tahu ibunya adalah seorang wanita yang cerdik. Barang berharga tidak akan pernah disimpan di tempat yang jelas terlihat.
Setelah beberapa saat, juru tulis senior, Tuan Park, keluar dari gudang dengan membawa sebuah kotak kayu kecil yang usang. Ia meletakkannya di atas meja besar di tengah ruangan. Kang Jin-woo segera mengi, memeriksanya dengan jijik.
“Ini dia, Yang Mulia,” kata Tuan Park, sedikit gemetar. “Sepertinya ini barang-barang pribadi Ratu sebelumnya. Surat-surat, beberapa catatan harian…”
Hwa-young melangkah maju, jantungnya berdebar kencang. Ini dia. Kotak itu berisi kebenaran. Ia membungkuk, menatap isinya. Ada beberapa surat yang terikat pita, beberapa lembar puisi, dan di antara semuanya, sebuah buku catatan kecil bersampul kulit kusam. Usang di tepian, warnanya memudar, tetapi entah kenapa terasa akrab di tangannya.
“Boleh saya melihatnya?” tanya Hwa-young, tenang, meskipun di dalam, ia berteriak.
Kang Jin-woo mendengus. “Untuk apa? Hanya buku catatan usang. Tidak ada yang menarik.”
“Itu milik ibuku,” balas Hwa-young, mengangkat dagunya. “Saya berhak memeriksanya.”
Yi Seon mengangguk pelan dari belakang. “Berikan padanya.”
Kang Jin-woo menggerutu, tetapi tidak berani membantah Pangeran Mahkota. Ia mengisyaratkan pada Tuan Park untuk menyerahkan jurnal itu.
Hwa-young mengambil buku itu. Sentuhannya terasa seperti listrik. Dingin, tapi hangat secara bersamaan. Ia memegangnya erat, membiarkan jemarinya menyusuri permukaan kulit yang kasar. Aroma kertas tua dan tinta kering menyeruak, membawa kilasan ingatan yang terlupakan.
“Hwa-young-ah, lihat ini,” suara ibunya terdengar lembut di telinganya, seolah baru kemarin. Ibunya tersenyum, menunjukkan sulaman rumit di sebuah saputangan sutra. “Sulam bukan hanya hiasan, putriku. Kadang, ia adalah bahasa. Sebuah rahasia yang tersembunyi di depan mata.”
Hwa-young mengamati sampul buku itu dengan seksama. Ia tahu ia tidak bisa membacanya di sini. Ada terlalu banyak mata. Yi Seon, Kang Jin-woo, para juru tulis. Setiap detik adalah risiko. Ia harus mencari petunjuk yang tersembunyi, yang hanya bisa dilihat oleh mata yang terlatih.
Jempolnya menyusuri tepi sampul, merasakan setiap guratan dan retakan. Lalu, ia merasakannya. Sebuah gumpalan kecil, sedikit lebih keras dari kulit di sekitarnya. Ia menggeser jarinya, matanya menyipit.
Di sudut sampul, tersembunyi di antara guratan kulit yang retak, ada seutas benang emas yang tak terlihat. Sebuah pola kecil, bukan hiasan, melainkan ... peta.
Jantung Hwa-young berpacu. Itu bukan peta geografis yang jelas. Ini lebih seperti sketsa kasar, guratan samar dari garis pantai, beberapa titik yang menunjukkan pelabuhan, dan sebuah simbol kecil, seperti bunga teratai, di salah satu titik. Di sampingnya, tidak terlihat karena usia dan keausan, ada deretan angka. Sebuah tanggal.
Ia menahan napas. Ini dia. Ini bukan sekadar jurnal. Ini adalah kunci. Ibunya tidak hanya menulis kenangan, ia menyembunyikan masa depan. Sebuah peta. Sebuah tanggal. Sebuah pintu ke Chungmae.
Hwa-young membiarkan jemarinya berlama-lama di atas benang emas itu, seolah ia hanya mengagumi kualitas sulaman yang masih bertahan. Ia mencoba mengukir setiap detail kecil dalam ingatannya. Garis pantai yang berliku, lokasi bunga teratai, deretan angka yang hilang.
Kang Jin-woo, yang berdiri di seberang meja, mengawasi Hwa-young dengan tatapan tajam. Ia melihat bagaimana Putri Mahkota memegang buku usang itu, seolah itu adalah permata paling berharga. Ia melihat bagaimana pandangan Hwa-young terpaku pada sampul, lebih lama dari yang seharusnya. Sebuah buku catatan. Buku catatan yang sudah bertahun-tahun ia anggap sampah tak berguna. Mengapa Hwa-young begitu terobsesi dengannya?
"Yang Mulia Putri Mahkota," kata Kang Jin-woo, memecah keheningan. "Waktu kita terbatas. Harap segera putuskan apakah Anda ingin menyimpan buku itu atau tidak. Kami punya banyak arsip lain yang harus diinventarisasi."
Hwa-young tersentak, tatapannya beralih dari sampul. Ia tahu ia sudah berlama-lama. Terlalu lama. Ia harus mengakhiri ini. Ia tidak bisa mengambil risiko lebih jauh.
“Ya,” kata Hwa-young, sedikit serak. “Saya akan menyimpan ini. Dan semua barang pribadi Ratu yang lain. Tolong buat daftar lengkapnya dan serahkan kepada saya.”
Ia meletakkan buku catatan itu kembali ke dalam kotak kayu, gerakannya disengaja agar terlihat biasa saja. Kang Jin-woo menatapnya curiga, matanya menyipit. Hwa-young bisa merasakan tatapan pria itu menusuk punggungnya bahkan saat ia berpura-pura memeriksa surat-surat lain di dalam kotak.
Yi Seon juga menatapnya, ada sedikit kerutan di antara alisnya. Apa yang sebenarnya dicari Hwa-young? Ia telah mendukungnya, tetapi bukan karena ia percaya pada Hwa-young. Ia hanya ingin melihat Kang Jin-woo gelisah. Dan sekarang, istrinya ini, yang selalu ia kira naif, menunjukkan ketertarikan yang tidak wajar pada benda-benda tua.
Proses inventarisasi berlanjut, tetapi bagi Hwa-young, semua itu hanya formalitas belaka. Pikirannya sudah melayang jauh. Peta. Tanggal. Pelabuhan. Sebuah bunga teratai. Ia harus mengingatnya dengan sempurna.
Setelah beberapa jam, semua barang telah didaftar dan dibawa ke Paviliun Bulan Baru Hwa-young, di bawah pengawasan ketat Jenderal Kim dan beberapa penjaga istana. Kang Jin-woo memastikan itu dilakukan dengan sangat lambat, seolah ingin menekankan ketidakpuasannya.
Hwa-young kembali ke kamarnya, keheningan menyambutnya. Ia duduk di meja riasnya, menatap cermin, tetapi yang ia lihat adalah benang emas yang terukir di benaknya. Ia harus segera menguraikannya.
Sementara itu, di Paviliun Administrasi Pusat, Kang Jin-woo tidak membuang waktu. Segera setelah Hwa-young dan rombongannya pergi, ia memerintahkan juru tulis lain untuk melanjutkan pekerjaan, tetapi pikirannya sendiri sudah jauh.
Ia berjalan cepat menyusuri koridor, melintasi taman-taman istana yang mulai diselimuti senja, menuju Paviliun Ibu Suri. Perasaan tidak enak menggelayuti hatinya. Ada sesuatu yang salah dengan Putri Mahkota. Ketertarikannya pada barang-barang Ratu sebelumnya, sikapnya yang tiba-tiba tegas, dan terutama ... cara ia memegang buku catatan usang itu.
Ia tidak bisa mengabaikannya. Matriarch Kang perlu tahu.
Matriarch Kang sedang bermain Go dengan salah satu penasihatnya ketika Kang Jin-woo masuk, napasnya sedikit terengah-engah.
“Ibu Suri,” katanya, membungkuk dalam-dalam.
Matriarch Kang meletakkan batu Go-nya, tatapannya setajam elang. “Ada apa, Jin-woo? Wajahmu tampak seperti melihat hantu.”
“Ini tentang Putri Mahkota, Yang Mulia,” kata Kang Jin-woo, berusaha menstabilkan napasnya. “Permintaan inventarisasi itu ... kami sudah selesai melakukannya.”
“Dan?” Matriarch Kang mengangkat alis. “Apakah ia menemukan sesuatu yang berharga?” Nada mengandung cemoohan.
“Tidak, Yang Mulia. Tidak ada yang tampak berharga,” jawab Kang Jin-woo. “Hanya surat-surat lama, beberapa perhiasan kosong, dan ... sebuah buku catatan usang.”
Matriarch Kang tertawa kecil, tawa yang kering. “Itu saja? Jadi, ia mempertaruhkan semuanya untuk sampah ibunya? Sungguh menyedihkan.”
“Tapi, Yang Mulia,” Kang Jin-woo menekan. “Ada yang aneh. Putri Mahkota ... ia memegang buku catatan itu terlalu lama. Ia mengamatinya seolah itu adalah…”
Ia berhenti sejenak, mencari kata yang tepat.
“…seolah itu adalah kunci dari sebuah harta karun.”
Senyum di wajah Matriarch Kang memudar. Matanya yang tajam menyipit. Buku catatan? Milik Ratu sebelumnya?
“Buku catatan apa?” tanyanya, tiba-tiba menjadi dingin. “Apakah kau pernah memeriksanya?”
“Tidak, Yang Mulia,” Kang Jin-woo mengakui. “Kami menganggapnya tidak penting. Hanya catatan harian biasa. Kami tidak pernah menyangka…”
“Bodoh!” bentak Matriarch Kang, meninggi. Batu Go di tangannya jatuh ke papan dengan bunyi berderak. “Kau membiarkan ia memegang buku catatan itu? Di tangan telanjangnya?”
“Dia Putri Mahkota, Yang Mulia,” Kang Jin-woo mencoba membela diri. “Dan Pangeran Mahkota ada di sana, mendukungnya. Saya tidak bisa ... saya tidak punya pilihan.”
Matriarch Kang mengabaikannya. Pikirannya berpacu. Sebuah buku catatan. Milik Ratu yang ia benci. Dan Putri Mahkota itu menunjukkan ketertarikan yang tidak wajar. Ini bukan sekadar buku harian. Ini pasti lebih dari itu.
“Apa yang ia lakukan dengan buku itu sekarang?” tanya Matriarch Kang, berdesis berbahaya.
“Ia membawanya ke paviliunnya, Yang Mulia. Bersama barang-barang lainnya.”
Matriarch Kang bangkit dari tempat duduknya, matanya berkilat-kilat penuh perhitungan. Hwa-young. Gadis ini selalu punya cara untuk mengejutkannya. Ia tidak hanya menguji air, ia sedang mencari sesuatu yang spesifik. Sesuatu yang tersembunyi.
“Segera,” perintah Matriarch Kang, rendah dan penuh ancaman. “Kirim Puan Lee ke Paviliun Bulan Baru. Katakan padanya untuk mencari alasan apa pun. Alasan apa pun, untuk masuk ke sana dan mengambil buku itu. Atau setidaknya, mengalihkan perhatian Putri Mahkota dari buku itu. Aku tidak mau ia punya waktu untuk meneliti apa pun yang mungkin ia temukan.”
Kang Jin-woo membungkuk dalam-dalam, ketakutan menjalari dirinya. Ia tahu, ia telah membuat kesalahan fatal.
“Laksanakan sekarang juga, Jin-woo!” perintah Matriarch Kang, matanya menatap tajam ke arah jendela, ke arah Paviliun Bulan Baru yang diselimuti kegelapan malam. “Sebelum gadis itu menemukan benang emas yang tersembunyi di dalamnya.”