"Tolong mas, jelaskan padaku tentang apa yang kamu lakukan tadi pada Sophi!" Renata berdiri menatap Fauzan dengan sorot dingin dan menuntut. Dadanya bergemuruh ngilu, saat sekelebat bayangan suaminya yang tengah memeluk Sophi dari belakang dengan mesra kembali menari-nari di kepalanya.
"Baiklah kalau tidak mau bicara, biar aku saja yang mencari tahu dengan caraku sendiri!" Seru Renata dengan sorot mata dingin. Keterdiaman Fauzan adalah sebuah jawaban, kalau antara suaminya dengan Sophia ada sesuatu yang telah terjadi tanpa sepengetahuannya.
Apa yang telah terjadi antara Fauzan dan Sophia?
Ikuti kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝐈𝐩𝐞𝐫'𝐒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 11
Jarum jam masih berada di angka tujuh, namun Azka dan Azkia sudah berada di kamar Renata dan Fauzan. Bayi kembar tersebut sudah rapi dan wangi, karena sejak setengah jam yang lalu Renata sudah memandikannya.
Dering ponsel yang berada di atas nakas mengalihkan perhatian sepasang suami istri yang tengah mengajak berbicara sepasang bayi menggemaskan tersebut. Karena meskipun mereka bayi kembar namun berat badannya besar seperti bayi tunggal.
"Sayang, hapenya cepetan angkat! takutnya ibu yang nelepon." Fauzan mengalihkan pandangan dari sang ponakan, menatap istrinya yang perlahan bergerak.
Ibu gumam Renata saat menatap layar ponselnya yang sudah menyala dengan nama sang ibu yang tertera. "Mas, jagain dulu sebentar." Ucapnya setengah berbisik kemudian menempelkan ponselnya ke telinga.
"Assalamualaikum, ibu sudah di mana?"
"Ini ibu sudah di depan rumah mertuamu, baru mau turun dari taksi."
"Oh! ya sudah aku matiin ya!" Tanpa menunggu jawaban sang ibu, Renata langsung mematikan sambungan teleponnya sepihak. Ia kembali meletakkan ponselnya di atas nakas kemudian menatap Fauzan.
"Mas, ayo turun! ibu sama bapak sudah sampai, lagi turun dari taksi." Ajaknya dengan wajah berbinar, ia menggendong Azkia dan Azka dibiarkannya supaya di gendong oleh Fauzan.
Rasa rindu pada kedua orang tuanya yang sudah lama tak bersua, membuatnya tak sabar ingin segera menemuinya. Dengan hati-hati ia menuruni tangga, jika saja tidak ada Azkia dalam gendongannya sudah di pastikan ia akan langsung berlari keluar.
Suasana di dalam rumah masih sepi, sehingga ia langsung keluar menuju teras. Ternyata kedua mertuanya sudah lebih dulu menyambut kedatangan orang tuanya.
Fauzan yang berada di belakang Renata langsung menyerahkan Azka pada sang ibu, kemudian pria itu melangkah menyambut sang mertua dengan menyalaminya bergantian. Lalu mengambil alih tas yang lumayan cukup besar yang di jinjing oleh pak Amar. "Kenapa bapak sama ibu enggak nelepon biar langsung di jemput ke stasiun." Keluh Fauzan sambil menggandeng lengan bapak mertuanya.
"Bapak rindu naik taksi di Bandung, makanya sengaja pas sampai tadi langsung nyari taksi." Jawab pria paruh baya diakhiri kekehan bersamaan dengan langkah kakinya yang terhenti. Ia mengucap salam pada kedua besannya yang tak lain orang tua Fauzan.
"Nak, gimana kabarmu?" Pak Amar menghampiri putri kesayangannya, paruh baya itu langsung mencium kening Renata lalu beralih menunduk menatap bayi yang tengah di gendong putrinya. "Ini cantik sekali, siapa namanya?" Ucapnya seraya mengusap lembut kepala Azkia sambil membaca do'a. Karena saat ini merupakan pertemuan pertamanya dengan kedua bayi kembar tersebut.
"Alhamdulillah, seperti yang bapak lihat." Sahut Renata dengan mata yang berkaca-kaca, haru dan bahagia bercampur menjadi satu melihat kondisi orang tuanya yang masih terlihat sehat dan segar. Lalu ia mengangkat tubuh Azkia lebih tinggi sembari menirukan suara anak kecil. "Namaku Azkia eyang."
"Ibu..." Ucap Renata saat sang ibu mengecup keningnya. Tak ada kata-kata yang terlontar dari bibirnya, ia hanya menatap kedua orang tuanya bergantian dengan bibir yang tak henti-hentinya mengulas senyum.
"Ayo besan! langsung masuk saja. Kita ngobrolnya di dalam sambil minum teh hangat, pasti lelah setelah semalaman di kereta." Kartika menggandeng lengan Bu Rohmah dan langsung mengajaknya masuk ke ruang keluarga, dimana sudah ada beberapa macam kue basah yang dihidangkan bi Karsih.
Setelah beberapa saat duduk, dan menikmati teh hangat. Pak Amar berdehem, membuat fokus semua orang beralih padanya termasuk Sophia yang baru saja duduk bergabung. Pak Amar mulai berbicara menyampaikan dukacita pada Sophia dan juga besannya.
Suasana seketika hening saat mertua dari Fauzan tersebut membaca do'a yang dikhususkan untuk almarhum kemudian diakhiri dengan membaca surah Al-fatihah yang langsung diaminkan oleh semua orang.
"Insya Allah suamimu Husnul khatimah nak. Ikhlaskan supaya almarhum lega. Jangan berkecil hati, semua orang menyayangimu dan juga si kembar." Bu Rohmah mengusap lembut punggung Sophia yang menunduk sembari terisak, begitupun dengan Renata yang terlihat menyeka air matanya.
.
.
Selepas sarapan, Kartika meminta Renata untuk mengantar kedua orang tuanya ke kamar yang sudah disiapkan supaya bisa beristirahat. Masih ada waktu beberapa jam sebelum acara pengajian dimulai.
Sambil kembali menggendong Azkia, Renata mengajak Bu Rohmah dan pak Amar untuk memasuki kamar tamu yang disiapkan mertuanya. Fauzan mengekor di belakang sambil menenteng tas berisi barang milik mertuanya yang tadi di letakkan di ruang tamu.
"Bapak enggak ngantuk, cuma ingin ganti baju saja. Semalam juga di kereta sudah tidur." Ucap pak Amar, meski semalam tidur hanya beberapa jam dan itupun tidak pulas tapi dirinya saat ini tidak merasakan kantuk dan juga tidak terbiasa tidur dalam waktu yang terbilang pagi. Ia lebih ingin menghabiskan waktu bersama putri dan menantunya dengan mengobrol, terlebih mereka sudah hampir sepuluh bulan tidak bertemu.
"Ibu juga, mana ada jam segini ngantuk. Kalau di rumah jam segini masih ngurusin tanaman." Bu Rohmah terkekeh menatap Renata dan Fauzan bergantian. "Bagaimana pekerjaan kalian?" Ucapnya seraya duduk di tepi ranjang bersamaan dengan suara Kartika yang memanggil Fauzan.
"Zaan!" panggil Kartika dari arah pintu yang tidak di tutup, paruh baya itu terlihat berdiri bersama Sophia.
Fauzan bangkit menghampiri sang ibu, "iya Bu ada apa?"
"Ibu bisa minta tolong enggak? jemputin orang tuanya Sophie di jalan merdeka, ban mobil pak Wiranata bocor katanya kena paku dan jauh dari bengkel. Bisa kan?"
Fauzan menoleh ke arah Renata dengan sorot tengah meminta persetujuan. Renata yang paham dengan tatapan suaminya langsung mengangguk.
"Ya sudah mas jemput dulu kesana, kasihan kalau harus menunggu orang bengkel pasti lama."
"Maaf mas, jadi merepotkan." Sela Sophia sambil menunduk, terlihat perempuan muda itu tengah mengetikkan sesuatu di ponselnya.
.
.
.
Waktu berputar dengan cepat. Acara pengajian dan do'a bersama di hari ketujuh kepergian almarhum Fajar berlangsung lancar, dan telah selesai dilaksanakan.
Rumah pun sudah kembali rapi, bahkan sofa ruang tamu dan ruang tengah yang sempat dikeluarkan kini sudah kembali rapi di tempatnya semula.
"Ehem!"
Suara deheman Wiranata sontak membuat semua orang mengalihkan fokus pada pria paruh baya tersebut. Begitupun dengan orang tua Renata yang tengah mengobrol dengan Jenab ibunda Sophia.
"Maaf semuanya, mumpung sekarang lagi berkumpul. Saya ingin berbicara hal tentang Sophia anak kami." Ucap Wiranata terlihat hati-hati. Ia menatap Kartika dan pak Ikram bergantian dan berakhir pada Fauzan.
"Rena, ibu mau ke belakang dulu kebelet." Bu Rohmah segera bangkit setelah pamitan pada Renata. Paruh baya tersebut buru-buru meninggalkan ruang keluarga dengan alasan kebelet yang sebenarnya hanya akal-akalan saja. Ia tidak ingin ikut campur masalah keluarga besannya.
Bu Rohmah yang sebenarnya tidak kebelet tidaklah pergi ke kamar mandi melainkan menyusul suaminya yang berada di halaman tengah mengobrol dengan beberapa orang yang sedang melepas tenda.
Sedangkan di ruang keluarga sepeninggal Bu Rohmah, Wiranata kembali melanjutkan ucapannya. "Pak Ikram, Bu Tika. Mengingat hari ini sudah hari ke tujuh, saya ingin meminta ijin untuk membawa Sophie pulang ke rumah kami. Saya tahu ini masih dalam suasana duka, tapi kami sebagai orang tua Sophia yang memiliki kesibukan tidak bisa harus bolak balik kesini menengoknya apalagi harus membantunya mengurus si kembar. Kami bermaksud membawa mereka, karena tidak ingin merepotkan bapak dan ibu disini."
"Tidak pak Wira! Sophi tidak boleh pergi dari sini. Apapun yang terjadi, kami akan tetap bertanggung jawab." Dengan cepat Kartika bersuara, memotong ucapan Wiranata.
"Karena selain masih dalam masa iddah, Sophi juga tetap menantu kami. Saya tidak akan mengijinkan dia pergi dari sini, kami sudah kehilangan Fajar dan tidak ingin kehilangan cucu kami juga. Untuk masalah yang pak Wira katakan tadi karena tidak ingin merepotkan. Kami tidak merasa direpotkan, justru si kembar menjadi obat lara kami. Jadi pak Wira dan Bu Jenab tidak usah mengkhawatirkan Sophi, kami tidak hanya akan bertanggung jawab pada si kembar, tapi juga Sophi." Pungkasnya menegaskan. Lalu Kartika menoleh pada sang suami dan putranya, Fauzan.
"Iya kan pak, Zan?" Ucapnya menatap dua laki-laki kesayangannya.
"Iya betul pak Wira, kami akan bertanggung jawab atas Sophi sesuai dengan kemampuan kami." Ucap Ikram membenarkan ucapan sang istri.
"Alhamdulillah penghasilan Fauzan sekarang lebih dari cukup untuk menghidupi si kembar dan juga Sophi, jadi pak Wira dan Bu Jenab tidak usah mengkhawatirkan mereka. Karena kami disini akan lebih bertanggung jawab. Iya kan Zan?" Lagi-lagi Kartika menatap Fauzan yang sontak mengangguk.
"Iya Bu" Sahut Fauzan mengangguk. Sedangkan Renata hanya terdiam dengan segala gejolak di hatinya. Sebagai seorang istri dari Fauzan, ia merasa ini terlalu memberatkan. Kenapa harus suaminya dilibatkan, padahal meskipun tidak ada pernyataan itupun ia akan dengan sukarela membantunya. Tapi di sini seolah-olah Fauzan akan menggantikan posisi Fajar atas tanggung jawabnya. Dan dirinya, saat ini hanya menjadi sosok tak kasat mata.
Helaan napas berat dihembuskannya, lalu ia menoleh kearah Fauzan. "Mas, aku keatas dulu. Lupa tadi jendela belum ditutup." Pamitnya lalu berdiri meninggalkan orang-orang yang masih terdiam dalam keheningan.
Kamu aja yg di telpon gak mau ngangkat 😏😏😏
baru juga segitu langsung protes 😏😏
Rena selalu bilang gak apa apa padahal dia lagi mendem rasa sakit juga kecewa tinggal menunggu bom waktunya meledak aja untuk mengeluarkan segala unek unek di hati rena😭
scene nya embun dan mentari juga sama
bikin mewek 😭
jangan bikin kecewa Napa ahhhhh😭😭
aku sakit tau bacanya
padahal bukan aku yang menjalani kehidupan rumah tangga itu😭😭😭
suka watir aku kalauu kamu udah pulang ke bandung 😌😌