NovelToon NovelToon
Shadow Of The Seven Sins

Shadow Of The Seven Sins

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Anak Yatim Piatu / Epik Petualangan / Dunia Lain
Popularitas:160
Nilai: 5
Nama Author: Bisquit D Kairifz

Hanashiro Anzu, Seorang pria Yatim piatu yang menemukan sebuah portal di dalam hutan.

suara misterius menyuruhnya untuk masuk kedalam portal itu.

apa yang menanti anzu didalam portal?

ini cerita tentang petualangan Anzu dalam mencari 7 senjata dari seven deadly sins.

ini adalah akun kedua dari akun HDRstudio.Di karna kan beberapa kendala,akun HDRstudio harus dihapus dan novelnya dialihkan ke akun ini.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bisquit D Kairifz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kebangkitan "Wrath"

Dimalam yang gelap dan hening, para suruhan raja mengepung tempat persembunyian Anzu dan Reinhard.

Ketika mereka hendak menerobos masuk, Anzu dan Reinhard sudah lenyap—seperti tertelan kabut.

Para pengejar yang kebingungan mulai menyisir area, menanyakan ke mana mereka pergi. Angin malam membawa aroma dedaunan basah dan sesuatu yang lebih tajam: logam, dan bau yang belum mereka kenal.

 

(beberapa saat yang lalu)

Reinhard menarik napas pelan, dadanya bergetar tipis. “Kupikir tadi kudengar langkah di luar,” gumamnya. “Aku lihat sebentar.”

Di luar, sekelompok orang bertopeng berkerumun — tubuh mereka terselubung gelap, wajah tertutup kain seperti bayangan yang hidup.

“Mereka pasti dari kerajaan,” bisik Reinhard, menyorot pedang salah seorang mereka. “Lihat lambangnya.”

Ia merayap kembali, menunduk sampai hampir menyentuh tanah, lalu mendekat ke tempat tidur Anzu dan mengguncangnya dengan lembut.

“Hei, bocah, bangun.” “Lima menit lagi—” Anzu menggeram, masih setengah tertidur, suara serak oleh lelah. “Cepat! Kita dikepung.”

Mata Anzu membuka lebar. Ada kilasan ketakutan dan suatu tekad yang membara. “Siapa? Siapa yang mengepung kita?”

“Ada gerombolan orang bertopeng — pedang mereka berhias lambang kerajaan. Kita harus pergi sekarang!” Reinhard panik, nadanya serak.

“Mari pergi!” Anzu meloncat, tubuhnya sudah siap melangkah.

Mereka berlari ke utara dalam hening yang diputus ranting-ranting patah.

Langkah mereka berat, napasnya membentuk kabut kecil di udara dingin. Namun malang tak dapat ditolak: salah seorang pengejar menatap tajam, lalu menunjuk.

“Kejut! Itu mereka! Kejar!” teriak seseorang, suaranya menusuk malam.

“Kemana kau kira mereka lari?” pemimpin suruhan itu menertawakan, nada penuh penghinaan. “Kita harus habisi mereka, bocah!” seorang lain menambah, menepuk gagang pedangnya. “Baik,” jawab Anzu, matanya menyala seperti bara.

Pertarungan pun meletus. Anzu, yang baru belajar berpedang, bergerak canggung—setiap ayunan tampak seperti usaha mempertahankan diri melawan badai.

Pedangnya terasa berat, otot-ototnya gemetar. Di suatu momen, denting sunyi memecah udara—pedang menyayat angin dengan keangkuhan.

“Kenapa kau sudah capek? Mari kubantu…” ejek salah seorang suruhan dengan senyum bengis. “Biar kau tak lelah lagi—dengan membunuhmu.”

“ANZU, AWAS!” teriak seseorang dari samping.

Sebuah tusukan menerobos—darah memercik di udara seperti hujan merah kecil. Anzu terguncang, napasnya tertahan. Ia menatap ke samping; sosok yang selama ini menjaga dan membesarkannya roboh, tubuhnya terbungkus noda gelap.

“Tak… tak mungkin…” suara Anzu pecah. “Ayah—!”

Saat itu dunia di sekitar Anzu seperti memutar lambat; setiap detik terasa abadi.

Darah mengalir deras dari luka yang menakutkan. “Uhuk…” suara Reinhard melemah, setiap suku kata seperti serpihan kaca. “AYAH!!!” Anzu menjerit, wajahnya berubah pucat—seolah warna di dunia ikut luruh.

Mataku menatap kosong ke arah musuh. “Ini... ini bohong, kan? Kalian... kalian membunuh ayah?” suaranya hampa, kata-kata itu nyaris tak nyata di telingaku.

Seketika amarah meledak dalam dada Anzu, mendesak seperti magma. Ia menerjang, gerakannya liar dan tak teratur—sebuah badai yang tak pandai memilih sasaran.

Ia membabi buta, menumpahkan semua rasa sakit yang menggelembung di dalam hati. Namun kemarahan yang tak teratur itu membuatnya tak presisi; ia hampir roboh karena kelelahan.

“Matilah kalian semua!” ia meraung. Salah seorang musuh mengejek, “Kau seperti monyet.” Lalu tangan kasar menghantam pipinya—bunyi ‘duk-bok’ menggema.

Anzu terpojok, tubuhnya gemetar, hampir menyerah ketika tiba-tiba…

Dunia berubah. Warna memudar menjadi hitam-putih, tiap bunyi melambat; udara seakan mengeras di sekitar mereka. Waktu berhenti, hanya menyisakan detak jantungnya sendiri yang bergema di telinganya.

“Apa-apa ini?” Anzu terengah, matanya melebar. Di hadapannya muncul sosok yang mirip dengannya—suatu bayangan, diselimuti aura pekat—dan di belakang sosok itu menjulang bayangan makhluk yang menjerit samar.

Sebuah tawa pelan bergema dari tempat yang tak terlihat. “Ingin kekuatan, Anzu?” suara itu seperti angin menembus celah.

“Siapa kau? Bunyi ini berbeda,” jawab Anzu dengan suara yang gemetar.

“Apakah kau tidak marah pada mereka?” suara asing itu meraba luka dalam dirinya.

“Tentu saja aku marah. Aku akan membasmi mereka dan kerajaan ini.” Pandangannya tajam, penuh tekad hingga suaranya terdengar dingin.

“Lalu apa kau mau kekuatan untuk membalas?” suara itu mendesak, manis seperti racun.

“Apa pun akan kulakukan,” Anzu berbisik, kepastian seperti es. “Demi balas dendam.”

Tawa itu berubah menjadi resonansi yang lebih dalam. “Baik. Kalau begitu…”

Waktu berputar kembali. Aura asing mengalir ke seluruh tubuh Anzu—seolah ada dua dirinya: satu yang biasa, dan satu lagi yang diselimuti kegelapan pekat.

Di belakangnya, bayangan-bayangan makhluk melolong samar. Dari sebuah gua sebuah pedang terbang meluncur ke tangan Anzu.

Dengan mata yang kosong seperti kaca, Anzu bergerak—setiap gerakan kini presisi, penuh dendam, seperti mesin yang digerakkan oleh kesedihan.

Ia menebas, menusuk, melumpuhkan lawan-lawannya dengan ketepatan mengerikan. Malam yang sebelumnya sunyi kini berubah menjadi simfoni histeris: jeritan, tanah yang diaduk oleh langkah berat, darah menghitam di bawah cahaya rembulan.

Ketika semua senyap kembali, Anzu duduk terhuyung di samping tubuh yang terbaring. Tangannya gemetar saat meraih bahu pria itu.

“Ayah… bangun,” suaranya berderak, bibirnya kering. Pria itu membuka matanya perlahan, napasnya seperti desah yang hilang. Ia memandang Anzu dengan mata yang mulai sayu.

“Bocah…” suaranya serak, nyaris tak lebih dari bisikan. “Tenang, kita bawa kau ke tabib—

” Anzu mencoba menahan tangisnya, suaranya patah.

“Tida—k… tak ada gunanya,” jawab pria itu lirih. Tubuhnya menggigil, bibirnya memaksa tersenyum walau lemah.

“Aku sudah banyak kehilangan darah. Aku… tak lama lagi.” Ia menggenggam tangan Anzu, hangatnya pudar.

“Bocah, maaf… aku tak bisa menepati janji… Dan—kalau boleh—panggil aku ayah. Kau selalu memanggilku begitu, Anzu.” Kata-kata itu jatuh seperti kepingan es yang meleleh.

Anzu terpaku menyadari bahwa nafas Reinhard semakin melemah, membuat dadanya tersayat.

“Tidak… kau akan sembuh, AYAH!” ia meronta, menolak kenyataan seperti menolak malam itu sendiri.

Reinhard menghembuskan napas terakhirnya di pelukan Anzu. Tangisan yang tertahan meledak menjadi badai; tubuh Anzu terguncang oleh tangis yang tak lagi bisa dikontrol. Air mata mengalir deras, membasahi pipi yang diminyaki luka dan darah.

“…tidak, AYAH!” ia meraung, suaranya menembus kabut. Dunia tampak runtuh; setiap detik berulang menjadi hukuman. Anzu merasakan kehampaan yang menusuk—kehilangan yang mengguncang tulang belakangnya.

 

(keesokan harinya)

Matahari pagi menyelinap perlahan melalui kabut, tapi tak mampu menghangatkan jiwa yang beku. Anzu menggali tanah dengan tangan gemetar, menunduk di atas liang yang baru saja dibentuk. Tanah yang ia tabur terasa berat seperti janjinya sendiri.

“Ku balas kematianmu, ayah,” ia berbisik, suaranya terputus-putus.

“Gigi dibalas gigi, nyawa dibalas nyawa.” Kata-kata itu tak sekadar ancaman — itu janji yang mengikat tiap hela nafasnya.

Setelah upacara sederhana yang hanya dihadiri oleh Anzu seorang, Anzu merapikan barang-barangnya dengan gerakan mekanis, seolah setiap benda yang ia masukkan ke goni mengurangi beban di dadanya.

Ia berjalan menembus kabut pagi, langkahnya berat namun tak goyah. Di dadanya, sesuatu telah berubah menjadi inti yang dingin namun tegas.

Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, ia tiba di sebuah kerajaan di utara bernama kerajaan VERMILION.

1
Nagisa Furukawa
Aku jadi bisa melupakan masalah sehari-hari setelah baca cerita ini, terima kasih author!
Bisquit D Kairifz: Semangat bree, walau masalah terus berdatangan tanpa memberi kita nafas sedikit pun
total 1 replies
Rabil 2022
lebih teliti lagi yah buatnya sebabnya ada kata memeluk jadi meneluk
tapi gpp aku suka kok sama alur kisahnya semangat yahh💪
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!