"Aku nggak tahu, dari mana semuanya menjadi retak dan berantakan seperti ini. Yang kuingat, hanya ada satu titik ketika hidupku berubah drastis. Ibuku pergi meninggalkan rumah bersama dengan lelaki lain. Meski ayahku tegar dan tabah, pada akhirnya dia menyerah dan menikahi perempuan lain. Brian, adalah satu-satunya tempat dan rumah terakhir yang aku harapkan. Tetapi, dia pun juga menorehkan luka yang tak bisa kumaafkan."
Aku tak lagi percaya pada cinta, Ayah.
Tak lagi."
~ Serena Azura Auliana~
:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+
Serena telah kehilangan kepercayaannya pada cinta. Semua orang yang pernah ia cintai, yang begitu ia percayai dan anggap berarti dalam hidupnya, ternyata dengan mudah menghianati cinta itu.
Hatinya hancur berkeping-keping. Bukan sekadar patah--tapi benar-benar remuk, hingga tak tersisa apa pun selain reruntuhan yang menyakitkan. Tak ada lagi yang tertinggal, kecuali kekecewaan yang dalam, dan trauma yang perlahan menggerogoti jiwa.
Menepis Rasa
Serena telah memasuki fase di mana jadwal kerjanya begitu padat. Namun, hal itu tidak menjadi masalah baginya. Setidaknya, dengan kesibukan yang ia hadapi saat ini, ia bisa sedikit mengalihkan perasaan sedih akibat harus berpisah dengan Brian.
Saat Serena sedang sibuk memeriksa tumpukan pesanan dari beberapa pelanggan yang siap diambil, tiba-tiba pintu depan terbuka, dan masuklah seorang perempuan yang langsung menarik perhatiannya.
Perempuan itu mengenakan kerudung panjang berwarna cokelat yang serasi dengan gamis berwarna senada, menciptakan kesan anggun, elegan dan mahal.
Serena langsung menyambutnya dengan senyum ramah. "Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?"
Perempuan itu membalas sapaan Serena dengan senyuman lembut. Kedua sudut bibirnya naik perlahan, memperlihatkan lesung pipitnya yang menawan.
"Siang juga," balasnya tak kalah ramah. "Saya mencari Adhan. Apakah dia ada?"
Mendengar nama Adhan, Serena sedikit terkejut. Dia bertanya-tanya dalam hati tentang siapa perempuan di hadapannya saat ini? Ada hubungan apa di antara mereka, mengingat selama ini Adhan belum pernah kedatangan seorang tamu wanita satu pun? Apalagi, wanita ini jelas-jelas memiliki aura yang sangat tidak biasa. Dia cantik, elegan, dan memesona.
Menyadari dirinya terlalu jauh memikirkan tentang orang lain, ia pun segera menepis pikirannya itu.
Urusan pribadi orang lain bukanlah sesuatu yang pantas ia ketahui. Apalagi jika itu menyangkut soal atasannya. Hukumnya haram.
"Kalau boleh saya tahu, dengan Mbak siapa?" tanya Serena kemudian.
"Saya Claudia," jawab perempuan itu dengan sopan.
Serena mengangguk sopan sambil menunjuk kursi di kursi tunggu. "Silakan duduk, Mbak. Saya akan memanggil Mas Adhan segera."
"Baiklah, terima kasih," sahut perempuan itu sebelum akhirnya duduk di kursi tunggu yang ditunjuk oleh Serena.
Sambil menunggu Adhan datang menemuinya, perempuan itu mengeluarkan ponsel dari dalam tas dan memainkannya.
Serena segera pergi untuk menemui Adhan di ruangan Desain & Kreatif seperti biasa, karena memang dia selalu berada di sana hampir sepanjang hari.
Di dalam ruangan itu, Adhan sedang sibuk memeriksa hasil cetakan desain yang baru keluar dari mesin cetak. Namun, Serena terpaksa mengganggu di sela-sela itu.
"Maaf mengganggu, Mas Adhan."
Adhan menoleh dan menatap Serena. "Ada apa, Mbak?"
"Di luar ada seorang perempuan yang mencari Mas. Dia mengenalkan dirinya sebagai Claudia."
Mata Adhan langsung menajam, ekspresinya berubah serius.
"Terima kasih. Saya akan menemuinya," kata pria itu.
Serena hanya mengangguk dan kembali ke mejanya. Kembali fokus pada pekerjaan yang sebelumnya sempat tertunda.
Keluar dari ruangannya, Adhan langsung menemui wanita bernama Claudia itu. Entah apa yang sedang dia lakukan, sepertinya dari tadi dia hanya sibuk bermain dengan ponselnya. Barulah setelah melihat batang hidung Adhan muncul, wanita itu memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas.
"Adhan! Akhirnya aku bisa melihat batang hidungmu," sapa Claudia dengan nada ceria.
Adhan menarik napas sebelum bertanya, "Ada apa, Mbak? Kenapa tiba-tiba datang tanpa memberi kabar lebih dulu?"
Claudia mengangkat alis. "Apa aku harus membuat janji dulu untuk bertemu dengan keponakanku sendiri?" protesnya, tak terima dengan reaksi Adhan yang seolah-olah tidak menyambut kedatangannya.
Adhan menghela napas, hendak membalas sebelum menjadi panjang, tetapi Claudia lebih dulu melirik ke arah Serena yang tengah sibuk di meja kerjanya.
"Siapa gadis itu? Yang tadi menyambutku. Dari mana kau menemukannya? Aku menyukainya."
Adhan mengikuti arah pandangan Claudia. "Dia karyawanku. Namanya Serena," jawabnya singkat.
Claudia menyipitkan mata, seolah mengamati Serena dengan saksama. "Dia cantik. Apa dia sudah punya pasangan?"
Adhan mengerutkan kening. "Mbak, pertanyaan seperti itu tidak sopan."
Claudia tertawa kecil, menikmati reaksi Adhan. "Kau terlalu serius, Han. Aku hanya penasaran. Gadis itu punya aura yang menarik perhatian. Apa kau tidak sependapat denganku?"
Adhan menghela napas, merasa percakapan ini mulai melebar ke arah yang tidak seharusnya. "Jadi, Mbak datang ke sini untuk apa sebenarnya? Nggak mungkin hanya untuk membahas karyawanku?"
Claudia pura-pura cemberut melihat reaksi Adhan, padahal diam-diam dia menikmatinya
"Apa aku butuh alasan untuk mengunjungi keponakanku? Tapi baiklah, kalau kau ingin tahu, aku akan memberitahumu. Aku datang ke sini untuk mengantarkan oleh-oleh dari suamiku yang baru pulang dari luar kota."
Ia menyerahkan sebuah paper bag kepada Adhan. "Jika menurutmu ini terlalu banyak, bagikan saja dengan yang lain."
"Terima kasih, Mbak. Padahal Mbak nggak perlu repot-repot," ujar Adhan sambil menerima paper bag itu.
Claudia tersenyum. "Ngomong-ngomong, sudah seminggu kau tidak mampir ke rumah. Apa kau terlalu sibuk dengan pekerjaanmu di sini?"
Adhan mengangguk. "Ya, seperti itulah. Maaf, karena aku nggak bisa mampir dalam waktu dekat. Aku sedang banyak proyek, apalagi musim pemilu. Banyak klien minta buru-buru."
Claudia mengangguk paham, meskipun raut wajahnya sedikit kecewa. "Kau ini bekerja terlalu keras, padahal masih muda. Usiamu ini harusnya bermain dan bersenang-senang. Menikmati masa muda. Warisan orang tuamu cukup untuk membuatmu hidup nyaman. Kau tidak perlu memaksakan diri seperti ini."
Adhan menatap Claudia dengan serius. "Mbak sudah tahu alasanku memilih jalan ini. Aku nggak bisa terus bergantung pada sesuatu yang bisa habis kapan saja. Aku juga ingin mandiri dan membangun bisnisku sendiri seperti yang dulu Ayah lakukan. Ini keputusanku, dan aku sangat menikmatinya. Menghasilkan uang dengan tangan sendiri, ternyata lebih menyenangkan daripada terus berpangku tangan pada orang lain. Bukankah begitu?"
Jawaban Adhan sangat masuk akal, dan Claudia mengangkat tangan tanda menyerah karena itu.
"Baiklah, aku tidak akan berdebat lagi. Lakukan sesukamu. Selama kau bertanggung jawab. Tapi kalau ada masalah, ingat, aku, Mas Hardi, dan semuanya selalu ada untuk membantumu."
Adhan mengangguk kecil. "Terima kasih, Mbak."
Suasana di sekitar mereka tiba-tiba terasa berat. Sepertinya, ini efek dari topik percakapan mereka yang cukup berat setelah sekian lama. Claudia butuh sesuatu untuk mencairkan suasana ini, misalnya seperti menjahili Adhan sekali lagi.
"Kalau kau sibuk, bagaimana kalau gadis tadi yang menemani aku ngobrol? Serena, kan, namanya?"
Ekspresi Adhan langsung berubah tajam. "Mbak, Serena juga punya banyak pekerjaan. Jangan ganggu karyawanku."
Melihat reaksi protektif Adhan, Claudia tertawa puas. "Ah, kau ini terlalu serius. Aku hanya bercanda. Kau masih sama seperti dulu, seru untuk dijahili."
Setelah puas menggoda Adhan, Claudia akhirnya berpamitan. Adhan mengantarnya sampai pintu sebelum kembali ke ruangannya dengan perasaan campur aduk.
Kedatangan Claudia memang tidak terduga. Tapi, bisa-bisanya bibinya itu menyeret Serena di antara percakapan mereka. Apakah Claudia menyadari sesuatu, bahwa dirinya memiliki perasaan pada gadis itu?
Adhan harap, itu hanya asumsinya semata. Mengenal bagaimana bibinya yang sudah jahil sejak dulu. Mungkin, itu cara baru baginya untuk menjahili Adhan.
'Mari kita abaikan seperti biasa," batin Adhan, tak ingin ambil pusing.
Begitu melangkah masuk ke ruangannya, ia justru mendapat serangan baru dari orang lain. Siapa lagi kalau bukan Dimas—Pria dengan sejuta energi dan rasa ingin tahu.
"Han, tadi itu bibimu, ya? Apa yang dia tanyakan? Jangan-jangan dia nanya kapan kau punya pacar?"
Adhan melotot tajam. "Dimas, kalau kau terus membahas hal-hal yang nggak penting, aku benar-benar akan memecatmu."
Dimas mengangkat tangan, menyerah sambil menggerutu pelan. "Susah banget bercanda sama bos. Padahal kan, aku cuma mau Bos bisa menikmati masa muda dengan normal."
Adhan menghela napas panjang. Tidak ada gunanya berdebat dengan Dimas. Yang adalah malah tambah panjang nanti.
Namun, saat dia berusaha untuk fokus pada pekerjaannya kembali, perkataan Claudia tentang Serena tiba-tiba mengiang di kepalanya.
Merasa butuh sedikit ketenangan, Adhan memutuskan pergi ke pantry untuk menyeduh secangkir kopi. Mungkin dengan begitu, pikirannya bisa lebih jernih. Dia harus tetap fokus dan menyingkirkan hal-hal yang tidak perlu, terutama dengan banyaknya proyek yang harus diselesaikan sebelum tenggat waktu.
Tak disangka, begitu memasuki pantry, Adhan justru berpapasan dengan Serena, yang tengah mengisi botol minumnya dengan air dari galon.
Menyadari kehadiran Adhan, seketika suasana di sekitar mereka menjadi canggung. Namun, Serena tetap bersikap tenang. Ia hanya menganggukkan kepala sedikit, disertai senyum kecil sebagai bentuk kesopanan terhadap atasan.
Adhan refleks membalas dengan anggukan pelan.
Tak ada percakapan lebih lanjut. Begitu botolnya penuh, Serena segera menutupnya dan bersiap pergi. Namun, baru saja ia hendak melangkah melewati Adhan, suara pria itu menghentikannya.
"Tunggu, Mbak."
Serena menoleh. "Iya, Mas?"
Adhan berdeham kecil sebelum akhirnya berbicara. "Nanti mampir ke ruangan saya, ya. Tadi Bibi saya datang dan menitipkan sesuatu. Bagikan juga dengan Mbak Lila."
Serena mengangguk. "Baik, Mas. Sebelumnya, tolong sampaikan terima kasih kepada Mbak Claudia."
Adhan kembali mengangguk. Sementara itu, Serena pun melangkah pergi tanpa menoleh lagi.
Adhan tetap berdiri di tempatnya. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengusap tengkuknya.
Kenapa dia merasa seperti ini?
"Ingat, Adhan. Dia sudah punya pasangan. Masih banyak perempuan lain di dunia ini. Fokus saja pada bisnismu sekarang." Adhan terus mengingatkan dirinya sendiri dalam hati.
Sekali lagi ia menepis pikiran yang mengganggu, dan mulai menyeduh secangkir kopi panas untuk menjernihkan isi kepalanya.
Bersambung
Sabtu, 23 Agustus 2025