NovelToon NovelToon
Terjerat Pernikahan Kontrak

Terjerat Pernikahan Kontrak

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / CEO / One Night Stand / Nikah Kontrak / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Kumi Kimut

Romantis - Komedi

"Gak bisa Will, kita cuma nikah sementara kan? Bahkan ibumu juga benci sama aku?" -Hania-

"Tapi hamilmu gak pura-pura, Han? Aku bakal tanggung jawab!" -William-

***

Kisah dimulai saat Hania terpaksa menerima tawaran sang bos untuk menjadi istri kontraknya tapi setelah satu bulan berlalu, Hania mabuk karena obat perangsang yang salah sasaran dan mengakibatkan Hania hamil!

Bagaimana kisah ini berlanjut? Akankah Hania menerima pinangan kedua kali dari suami kontraknya atau kembali pada mantan tunangan yang sudah tobat dan ingin membahagiakannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kumi Kimut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 11

Hania dengan sadar justru menenggak minuman yang sama dengan Daniel. Dia dengan berani membalas ciuman itu lebih kuat.

Tiba-tiba, William terdiam. Matanya membelalak, seolah tak percaya pada apa yang baru saja terjadi. Ia sempat berpikir Hania akan menolak, bahkan mungkin menamparnya. Tapi kenyataan berbeda—Hania, yang selalu menjaga jarak, kini meruntuhkan bentengnya sendiri.

Tangannya berpindah, meraih tengkuk William dan menariknya lebih dekat. Ciuman itu bukan lagi sekadar pelarian, bukan lagi karena amarah atau mabuk. Itu adalah jawaban—jawaban yang selama ini Will tunggu tanpa pernah benar-benar berani berharap.

Tubuh William menegang, tapi hanya sesaat. Setelah itu, ia luluh sepenuhnya. Jemarinya menyusuri garis punggung Hania, merasakan betapa rapuh sekaligus kuatnya perempuan itu. Di dalam pelukan mereka, waktu kehilangan arti. Semua kebisuan, semua pertanyaan yang tak pernah terucap, seakan menemukan bahasanya sendiri dalam setiap sentuhan.

Hania membuka sedikit jarak, menatap wajah Will yang kini hanya beberapa sentimeter darinya. Mata pria itu bergetar, seakan mencari penjelasan. Namun Hania tak memberi kata-kata—ia hanya kembali mendekat, menyatu lagi dalam ciuman yang lebih dalam, lebih berani.

Kali ini, William tidak lagi menahan diri. Ia menangkup wajah istrinya dengan kedua tangan, menyalurkan segala rasa yang terpendam selama ini. Rasa cemburu, rasa marah, rasa takut kehilangan, semuanya melebur menjadi satu: cinta.

Napas mereka memburu, dada naik turun tak beraturan. Hania merasakan panas yang menjalar dari bibir ke seluruh tubuhnya, mengguncang segala pertahanan yang selama ini ia bangun. Untuk pertama kalinya, ia tidak lagi berpikir soal kontrak, soal masa lalu, atau masa depan. Yang ada hanya momen ini—saat ia membiarkan hatinya bicara tanpa logika.

“Han…” suara William bergetar di sela napas yang tersengal. “Kamu yakin?”

Hania menatapnya dalam-dalam. Tidak ada keraguan di sana, hanya tekad yang jarang sekali muncul di matanya. “Aku nggak mau pura-pura lagi, Will,” bisiknya.

Ucapan itu membuat dada William seakan diremukkan sekaligus disembuhkan dalam satu waktu. Ia menarik Hania kembali ke pelukannya, kali ini lebih erat, lebih hangat. Mereka saling menenggelamkan diri dalam rasa yang baru saja pecah, membiarkan diri terseret arus yang selama ini mereka lawan.

Hania tahu ini berisiko. Ia tahu besok, mungkin segalanya akan jadi lebih rumit. Tapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia memilih untuk tidak takut. Ia memilih untuk percaya pada perasaan yang kini membara di antara mereka.

William merunduk, menempelkan dahinya di kening Hania. “Kamu nggak tahu… betapa lama aku nunggu momen ini,” ucapnya dengan suara hampir pecah.

Hania menutup mata, membiarkan air matanya jatuh—bukan karena sedih, melainkan lega. “Sekarang kamu nggak perlu nunggu lagi.”

Dan dengan itu, mereka kembali menyatu dalam ciuman yang lebih dalam, lebih jujur, seolah dunia di luar sana sudah tidak penting lagi.

Untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka dimulai, Hania dan William akhirnya menemukan inti dari ikatan yang selama ini hanya sebatas tanda tangan di kertas: cinta yang nyata, meski lahir dari luka dan keraguan.

___

Baik, aku akan melanjutkan sesuai dengan apa yang kamu tulis, dengan gaya dan alur yang sama, sekitar 500 kata.

 

Keduanya melakukan hal itu begitu cepat, seolah waktu mendesak mereka untuk tidak lagi menunda. Nafas William masih memburu, dadanya naik turun dengan tidak teratur. Namun, di tengah gejolak itu, ia menahan diri. Tangannya tetap menangkup wajah Hania, jemarinya gemetar, seakan takut apa yang baru saja terjadi hanyalah ilusi yang akan menghilang jika ia berani melangkah lebih jauh.

“Hania…” suaranya parau, nyaris putus. “Aku… aku nggak mau kamu merasa terpaksa. Katakan, kalau kamu nggak mau, aku berhenti sekarang juga.”

Hania menatapnya. Mata mereka bertaut, lama, dalam. Seakan hanya dengan satu kedipan, semua keraguan akan runtuh atau kembali membangun tembok di antara mereka. Tapi Hania tidak berkedip. Ia mengangkat tangannya, menggenggam pergelangan tangan William yang masih menahan wajahnya. “Aku yang mau, Will. Aku.”

Jawaban itu menghantam William dengan kekuatan yang tak pernah ia bayangkan. Bertahun-tahun ia menahan, bertahan di balik topeng dingin, menutupi luka dengan sikap keras kepala. Tapi malam ini, semuanya runtuh. Malam ini, ia merasa benar-benar dimiliki—dan memiliki.

William meraih tubuh istrinya, mendekapnya lebih erat, seolah takut jika ia lepaskan, Hania akan hilang begitu saja. “Aku cuma… nggak mau nyakitin kamu. Aku nggak mau kamu nyesel nanti.”

Hania tersenyum samar, meski pipinya basah oleh sisa air mata. “Kamu nggak ngerti, ya? Dari awal pernikahan ini, aku selalu takut. Takut salah langkah, takut berharap, takut jatuh hati. Tapi sekarang… aku lebih takut kalau harus terus pura-pura.”

Kata-kata itu menghantam William seperti dentuman keras yang meluluhkan semua pertahanan terakhirnya. Ia menunduk lagi, mencium Hania dengan lembut kali ini—bukan karena amarah, bukan karena desakan. Ciuman itu seperti janji: bahwa ia akan berhati-hati, bahwa ia akan mendengar, bahwa ia akan menunggu jika memang dibutuhkan.

Hania membalasnya dengan sama lembutnya, meski di balik setiap sentuhan ada api yang membakar. Mereka terseret dalam pusaran rasa, namun keduanya tahu, bukan sekadar hasrat yang memimpin mereka malam itu. Ada cinta—cinta yang tumbuh dari luka, dari pertempuran panjang, dari kontrak yang dulu terasa dingin namun kini justru mengikat mereka lebih erat dari apa pun.

William menarik diri sebentar, menempelkan keningnya pada kening Hania. “Aku butuh dengar sekali lagi… kamu yakin?”

Hania menutup mata, menarik napas panjang. Lalu, dengan suara yang hampir berbisik, ia menjawab, “Aku yakin, Will. Malam ini… aku milih kamu.”

Dan dengan itu, semua keraguan lenyap. William tidak lagi menahan dirinya. Ia mencintai istrinya dengan segenap hati, dengan cara yang hanya bisa lahir dari penantian panjang. Setiap gerakan, setiap belaian, penuh dengan penghormatan sekaligus kerinduan yang akhirnya menemukan rumahnya.

Bagi Hania, semua ini bukan sekadar penyerahan diri. Ia merasa bebas, seakan beban yang selama ini menindihnya runtuh satu per satu. Ia membiarkan dirinya hanyut, percaya bahwa kali ini, ia tidak lagi berjalan sendirian.

Di antara kejujuran yang akhirnya terucap tanpa kata, mereka bersatu—bukan hanya sebagai sepasang suami istri karena kontrak, tapi sebagai dua hati yang memilih untuk saling percaya.

___

 

Satu jam berlalu…

Uap tipis masih menempel di udara kamar. Hania baru saja selesai mandi, rambutnya masih basah, meneteskan air yang membasahi bahu tipisnya. Begitu juga William, yang kini hanya mengenakan kaos santai dan celana panjang. Mereka duduk di tepi ranjang, saling membelakangi, seakan tak berani menatap satu sama lain setelah apa yang terjadi.

Keheningan terasa aneh. Jantung Hania berdetak cepat, lebih karena gugup daripada lelah. Tangan mungilnya memainkan ujung handuk kecil yang ia taruh di pangkuan. Sementara William menatap kosong ke arah jendela, berusaha mengatur pikirannya yang masih penuh dengan momen satu jam lalu.

Akhirnya, William memberanikan diri. Suaranya pelan, hati-hati, seakan takut kata-katanya melukai. “Han...."

"Ya Will? Ada apa?"

"Tadi kamu agak ... Hm, apa itu sakit?"

***

Bersambung ...

1
Eva Karmita
Andra kamu harus nya bersyukur punya teman seperti Dani yg selalu bisa menasehati kamu supaya hidup dijln yang lebih baik lagi, plisss dengerin nasehatnya..,, jarang sekali ada sahabat sebaik Dani mau jadi teman curhat yg baik.. dan biarkan Hania hidup bahagia dan tenang bersama William
KumiKimut: iya nih kak, awas saja kalau kebanyakan ganggu
total 1 replies
Eva Karmita
lanjut thoooorr
Eva Karmita
Tom and Jerry ini namanya lanjut thoooorr 🔥💪🥰
KumiKimut: iya kak, mas mksih udah mampir ya
total 1 replies
Eva Karmita
lanjut thoooorr 🔥💪🥰
Eva Karmita
❤️
Eva Karmita
mampir otor 🙏😊
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!