Setelah sepuluh tahun berumah tangga, akhirnya Sri Lestari, atau biasa di panggil Tari, bisa pisah juga dari rumah orang tuanya.
Sekarang, dia memilih membangun rumah sendiri, yang tak jauh dari rumah kedua orang tuanya
Namun, siapa sangka, keputusan Tari pisah rumah, malah membuat masalah lain. Dia menjadi bahan olok-olokan dari tetangganya.
Tetangga yang dulunya dikenal baik, ternyata malah menjadikannya samsak untuk bahan gosip.
Yuk, ikuti kisah Khalisa serta tetangganya ...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muliana95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kemarahan Amar
Rohani pulang dengan perasaan campur aduk, dia sedikit ragu dengan ucapan Sarip. Namun, kala mengingat anaknya yang semakin jauh dan berani membantah, dia juga semakin yakin, jika Amar terkena guna-guna, ataupun dikendalikan oleh keluarga Tari.
Saat di perjalanan, karena kurang fokus. Akhirnya Rohani menabrak salah satu penyebrang jalan. Dan dia langsung di amankan oleh warga setempat. Takut-takut dia kabur.
Dan pada akhirnya, Amar mengetahui jika emaknya kembali datang ke rumah Sarip.
Dan lagi-lagi Amar dibuat jengkel dengan sifat serta sikap emaknya itu.
"Sekarang mau menyalahkan siapa? Keluarga bang Azhar dan juga Tari?" beruntun Amar, kala menemani emaknya di puskesmas.
Rohani hanya bisa diam, dia bahkan tidak berani menatap wajah Amar.
"Udah lah, mak ... Jangan lagi, datang ke mbah Sarip itu, orang-orang disini bahkan udah gak percaya lagi, sama lelaki itu, dia itu stress mak, dia gila," ujar Amar dengan suara yang sedikit keras.
"Maaf, emak hanya ingin meminta sedikit obat untukmu, agar kamu patuh pada emak," ungkap Rohani jujur.
Amar hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak habis pikir dengan apa yang di pikirkan oleh emaknya.
Sebelumnya, Amar sudah memberitahu jika semua pikiran yang dan rasa curiga terhadap Azhar, tumbuh di otak dan hati emaknya, karena emaknya memiliki sifat iri dan dengki. Namun, saat mendengar alasan emaknya kembali ke mbah Sarip, pikiran Amar benar-benar buntu.
"Terserah emak, tapi emang sebaiknya aku tidak lagi memikirkan emak, dan mulai sekarang semua hutang piutang yang di tinggalkan oleh abang, emak yang menanggungnya," cetus Amar.
"Amar, maafkan emak ..." isak Rohani takut.
Takut, jika Amar benar-benar meninggalkannya.
...****************...
Hari ini, Amar dan Rohani, berkunjung ke rumah sakit, tempat dimana orang yang di tabrak oleh Rohani, di rawat.
Orang itu, sedikit lebih muda dari Rohani. Dan karena keadaannya lebih parah, alhasil orang itu harus di rawat.
"Saya Amar, anak bu Rohani, yang menabrak kakak tempo hari," ungkap Amar memperkenalkan dirinya. "Jadi, kami kesini, ingin meminta maaf pada anda, dan juga semua keluarga anda," lanjut Amar.
"Iya, saya ngaku salah, karena dimana hari itu, saya melamun saat berkendara," sesal Rohani, dengan suara yang lirih.
"Dan ini, sedikit rasa tanggung-jawab dari ku, dan emak ku, barang kali bisa menutupi sedikit untuk kalian berobat jalan nantinya," Amar menyerahkan sebuah amplop coklat, yang berisi uang tiga juta lebih.
Rohani yang menatap amplop itu lebih tebal dari kesepakatan awal, mencubit paha Amar.
"Kamu isi berapa?" bisiknya.
"Tiga setengah juta," balas Amar.
Rohani membelalakkan matanya, tidak ikhlas uangnya hilang begitu saja.
Setelah berbincang-bincang dan sedikit basa-basi. Akhirnya mereka mohon undur diri. Namun, sebelum mereka benar-benar pergi, seorang kerabat dari pihak pasien memasuki ruangan. Dan dia sedikit terkejut, melihat Rohani disana, begitu juga sebaliknya.
Orang itu juga merupakan pasien dari Sarip. Namun, bedanya dia baru sekali datang sudah sadar, bukan seperti Rohani.
Dan kebetulan, dia bertemu Rohani sebelum insiden kecelakan yang menimpa Rohani dengan kerabatnya itu. Makanya, mereka masih saling mengingat wajah, satu sama lain.
Wanita itu, memperhatikan Amar, baginya Amar terlihat patuh dan juga baik.
"Maaf, ibu ini yang tempo hari pergi ke mbah Sarip kan?" tanya wanita itu.
Rohani memicingkan matanya, dia berharap wanita itu tidak melanjutkan perkataannya, dengan membongkar apa yang Sarip katakan tempo hari.
Karena semenjak kejadian itu, di rumahnya. Sepeda motornya, telah di bawa ke bengkel oleh Amar.
Jadi, dia belum pernah bisa berkunjung kembali ke tempat mbah Sarip.
"Iya," sahut Rohani lirih.
Karena percuma saja bilang tidak. Karena Amar pun, sudah tahu pasti kemana dia hati itu.
"Jangan pergi lagi bu, dia itu sesat," larangnya tiba-tiba.
Amar mengernyit, dan tidak jadi pamit pulang.
"Sesat bagaimana? Bukannya, kamu juga kesana?" cibir Rohani, tidak terima Sarip dikatakan sesat.
"Iya, dan itu pertama dan juga terakhir kalinya aku kesana," lanjutnya, tidak peduli dengan tatapan tajam yang di layangkan Rohani. "Kenapa aku katakan dia sesat, kamu lihat aja, masak air yang kamu bawa, dia beri ludahnya, dan tak hanya itu, dia meminta celana dalam yang kita pakai dalam waktu satu minggu, untuk obat, bukan kah, itu sesat? Dan dia, dia anak yang kamu beri air ludah, mbah Sarip itu?" tunjuk wanita itu pada Amar.
Muka Amar memang sudah memerah sejak tahu, emaknya meminta air obat untuk dirinya dari mbah Sarip. Apalagi, saat mengetahui jika obat itu, di beri air ludah.
Rasa mual pun, menjalar di ulu hati Amar.
"Mak, aku nggak nyangka emak tega," lirih Amar.
Amar bangkit, meninggalkan emaknya yang masih berada di ruang rawat.
Rohani pun, bangkit dia berjalan tergopoh-gopoh mengejar langkah Amar yang terlihat sangat lebar.
Namun, Rohani bernapas lega, kala melihat Amar yang masih menunggunya di parkiran, tepatnya di sepeda motor.
Sepanjang perjalanan, Amar tidak membuka suara. Hatinya masih sakit, kala tahu kenyataan yang di lakukan emaknya.
Hatinya hancur, dan rasa kecewa perlahan tumbuh di hatinya.
"Dengarkan emak dulu," pinta Rohani kala mereka tiba di rumah.
"Aku mau ke bengkel dulu, sepeda motor emak nanti aku kirimkan, karena aku gak pulang," Amar memutar balikkan sepeda motornya, tanpa menoleh lagi.
...🍁🍁🍁...
Seminggu telah berlalu, Amar belum juga kembali. Dan walaupun sepeda motornya sudah ada di rumah, Rohani tidak lagi ada minat untuk ke rumah mbah Sarip.
Karena nyatanya, melihat anaknya yang terluka jauh lebih sakit, di bandingkan dengan Amar yang diguna-guna oleh Azhar.
"Bu Rohani, ini titipan berkat dari bu Yanti, katanya tadi gak ada orang di rumah," Daffa menyerahkan sekotak makanan titipan dari tetangga jauh.
"Makasih Daffa," sahut Rohani lirih.
Daffa, pun meninggalkan rumah Rohani. Namun, sebelum Daffa membuka pagar, Rohani kembali memanggilnya, dia menyerahkan kembali kotak tersebut, karena sekarang dia tidak berselera sedikit pun.
"Amar, emak sakit, tubuh mak terasa lemah," Rohani mengirimkan Amar pesan.
"Ke mbah Sarip aja, bukan kah, mbah Sarip lebih hebat dibandingkan dokter?" Amar membalasnya setelah beberapa saat.
Ya, Amar tidak lagi mempercayai emaknya. Namun, dia diam-diam menyuruh Juli untuk menjenguk emaknya, setiap hari.