"Jangan, Mas! aku sudah bersuami."
"Suami macam apa yang kamu pertahankan itu? suami yang selalu menyakitimu, hem?"
"Itu bukan urusanmu, Mas."
"Akan menjadi urusanku, karena kamu milikku."
"akh!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon N_dafa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
“Ya ampun, bagus banget. Aku udah lama pengen kayak gini. Mas, buat aku boleh nggak logam mulianya?”
Baru saja, 25 gram logam mulia dengan kadar 999,9 itu diserahkan kepada Rendy setelah sebelumnya dibawa oleh Doni, kini langsung direbut oleh Sabrina.
Pertemuan dengan Biantara sudah berakhir. Konten berhasil dibuat, dan mereka juga mendapatkan reward penjualan.
Benar. Logam mulia 25 gram itulah reward untuk usaha private label milik Rendy dan juga Ajeng.
“Tapi, sayang. Itu milik kami. Yang artinya, masih ada hak Dek Ajeng di dalamnya.” Rendy berusaha memberi pengertian.
“Ih, tapi aku pengen banget, Mas. Temen-temenku pada punya itu. Nanti kalau anak kita ileran gimana?”
“Cih.” Tentu saja, Ajeng yang berdecih tak kentara melihat adegan itu.
Sialnya, lelaki tak berpendirian itu langsung goyah saat mendengar Sabrina menggunakan alasan calon anaknya.
“Em, Dek.” Lelaki itu memasang wajah memohon kepada Ajeng. “Boleh ya logam mulianya buat Brina dulu. Nanti, tahun depan kalau dapat lagi dari Mas Biantara baru buat kamu.”
Sakit, tentu saja.
Ajeng sampai harus mengeratkan gigi-giginya untuk menahan diri agar tidak menangis.
“Nggak apa-apa kan, Dek? Atau kamu bisa beli sendiri. Kamu punya aset lebih banyak dari aku. Aset kita selain bidang usaha, sudah dibagi jadi dua kan? Kamu untuk dirimu sendiri, sedangkan aku untuk aku dan juga Brina.”
Tak sampai disana, Ajeng mengepalkan tangannya.
“Atau enggak. Kalau kita narik lagi hasil konten, kamu juga bisa beli sendiri. Kalau bagian Brina kan ditabung untuk anak kami nanti.”
“Ya. Terserah kamu saja.” Ajeng menjawab cepat karena tak ingin Rendy berbicara yang lebih menyakitkan lagi.
Benar bukan, pilih kasih adalah cara menyakiti perasaan orang lain secara halus.
“Yey! Makasih, Mbak Ajeng.” Pekik Sabrina dengan ceria. “Mbak Ajeng baik deh. Nanti anak kami kan juga bakal jadi anak Mbak Ajeng juga.”
“Aku mau ke kamar dulu. Mau istirahat.” Ajeng tak peduli kepada Sabrina yang bersikap manis itu.
“Dek,” tahan Rendy, saat Ajeng hampir pergi.
Ajeng hanya berhenti, tapi tidak menoleh. Jujur saja, sebenarnya dia sudah ingin menangis karena sikap kedua manusia tak punya hati itu.
“Mas ikut kamu ya. Mas mau bicara soal masalah kita. Kayaknya, kamu masih marah sama Mas.”
Ajeng tak bereaksi berlebihan. Wanita itu hanya mengangguk singkat, lalu meninggalkan mereka semua, berjalan lebih dulu.
“Lama ya, kita nggak jalan bareng gini?” Celetuk Rendy saat mereka berjalan santai dalam diam.
“Kamu terlalu sibuk sama Brina.”
Rendy mendadak kikuk, merasa bersalah. Dia sampai menggaruk tengkuknya karena salah tingkah.
“Maaf, Dek. Tapi, Mas sudah bicara apa sebabnya.”
“Aku mengerti.”
Hening.
Karena cara menjawab Ajeng terlalu ketus, Rendy jadi tak punya bahan obrolan lagi yang sekiranya mengasyikkan.
Sampai di kamar penginapan Ajeng, mereka masuk, masih dalam diam. Awalnya semua baik-baik saja, sebelum tiba-tiba Ajeng menyadari seonggok kain memalukan tergeletak manis di atas ranjangnya.
Ranjang yang dia tinggal dalam keadaan tidak dirapikan, karena dia menemui Rendy dan timnya dulu sebelum bertemu dengan orang-orang Biantara.
Memang, Ajeng keluar lebih dulu dibandingkan Biantara. Makanya, Ajeng tak tahu jika lelaki itu masih meninggalkan barang miliknya yang memalukan itu.
Ya, itu cel ana dalam.
Panik karena takut Rendy melihatnya, Ajeng cepat-cepat menutupinya dengan cara membalik tubuh Rendy yang semula menghadap benda laknat itu.
“Ada apa, Dek?” Rendy kebingungan.
Wanita itu menggelengkan kepalanya dengan kikuk, lalu tersenyum aneh.
“A—aku… em, aku…”
Grep.
Ajeng berhenti berbicara saat tiba-tiba Rendy memeluknya.
“Aku tahu, kamu kangen sama aku kan, Dek?”
Sekarang, gantian Ajeng yang kebingungan. “Ee—em… I—iya.” Sahut wanita itu sekenanya.
Rendy melepaskan pelukannya, tapi masih menahan kedua lengan Ajeng.
“Aku juga kangen sama kamu, Dek. Maafin Mas ya, Mas terlalu sibuk dengan urusan Mas sendiri sampai mengabaikan kamu.”
Tiba-tiba, Rendy mendekatkan wajahnya.
Ajeng tahu apa mau Rendy. Tapi, entah kenapa dia merasa keberatan menuruti kemauan suaminya.
Hanya saja, akan menjadi masalah jika dia tidak menuruti Rendy. Apalagi, sudah seharusnya dia melayani Rendy dibandingkan Biantara yang hanya lelaki haram.
Akhirnya, Ajeng menerima ciu man Rendy.
Ya, ada secuil hatinya yang memang merindukan suaminya itu. Tapi, saat mereka saling membalas mencari kenikmatan, tiba-tiba Ajeng membandingkan permainan Rendy dengan cara Biantara.
Ciu man mereka, sama-sama terasa nik mat bagi Ajeng. Tapi, di waktu yang berbeda.
Jika dulu Ajeng menyukai ciu man Rendy, sekarang otaknya mengakui kehebatan Biantara. Kalau Ajeng tega, dia akan berkata jika rasa Rendy sudah expired, kalah dari keahlian Biantara.
‘Dasar pemain wanita.’
Dalam permainan lidahnya dengan Rendy, Ajeng malah mengumpati Biantara karena lelaki itulah yang terbayang di kepalanya.
Meskipun isi kepala Ajeng sedang oleng antara Rendy dan Biantara, tapi wanita itu tetap berusaha mengimbangi suaminya.
Sampai disini, semua baik-baik saja sebelum akhirnya, dering ponsel Rendy mengacaukan semuanya.
“Tunggu sebentar, Dek.” Rendy menghentikan permainan mereka, yang masih berdiri di samping ranjang.
Ajeng menurut. Saat Rendy lengah, dia menarik selimut, agar barang berharga milik Biantara tidak terlihat.
“Baiklah… Aku kesana sekarang. Udah ya, jangan nangis lagi. Tunggu aku sebentar lagi.”
Dari suara Rendy, Ajeng sudah bisa menyimpulkan segalanya.
Benar, tak hanya sekali dua kali dia mendapatkan perlakuan seperti ini. Sabrina banyak menggunakan dramanya untuk mengambil Rendy saat sedang bersamanya.
“Dek.” Panggil Rendy sungkan, saat ponselnya sudah masuk kantong lagi.
“Ya. Aku sudah tahu. Kembalilah ke Brina lagi.”
Tentu saja, Rendy merasa bersalah. “Maafin Mas, Dek. Mas janji akan tepatin janji. Setelah kita pulang, Mas akan sama kamu selama seminggu full.”
“Hem…” hanya itu balasan Ajeng. “Cepatlah kembali ke istri mudamu, Mas. Sebelum dia ngamuk dan nggak ngasih jatah lagi.”
“Dek…”
“Aku nggak apa-apa. Pergilah!”
Ajeng mendorong Rendy keluar dari kamarnya. Rendy terlihat berat, tapi dia juga menurut. Setelah lelaki itu ada di luar pintu, Ajeng langsung menutup pintu dan menguncinya.
Di balik pintu yang sudah tertutup rapat itu, Ajeng menepuk-nepuk dadanya sendiri yang terasa sesak.
“Aku capek, ya Tuhan. Aku capek. Aku harus ketemu notaris setelah ini.” putus Ajeng dengan keyakinan penuh.
Drrrttt drrrttt drrrttt.
Kegalauan Ajeng buyar seketika saat ponsel di kantong jaketnya bergetar. Wanita itu langsung mengambilnya dan melihat siapa yang sedang mengiriminya pesan.
[Baby, cel ana dalamku ketinggalan di kamarmu. Bagaimana, kalau aku mengambilnya nanti malam?]
Ajeng mendengus kesal membaca pesan bernada ejekan itu.
[Anda tidak akan kekurangan uang hanya untuk membeli cel ana dalam, Pak. Tidak perlu repot-repot kesini karena celana anda sudah saya buang] balas Ajeng.
Rupanya, tak sampai semenit, balasan dari Biantara datang lagi.
[Waduh! Jangan dong, Baby. Itu celana dalam kesayanganku. Ada kenangan kita di dalamnya. Biar aku ambil lagi. Kamu membuangnya dimana? Kalau kamu nggak mau menyimpannya, biar aku museumkan tanpa mencucinya lebih dulu]
"Hiiih!"
Saking kesalnya, Ajeng sampai melempar ponselnya sendiri tanpa menjawab pesan lelaki itu.
“Dasar gila!” Ajeng bergidik jijik mengingat pesan Biantara.
Yang pasti, reaksinya berbanding terbalik dengan Biantara yang tertawa girang di kamarnya. Ya, lelaki itu jelas hanya sedang menggoda Ajeng saja.
“Kayaknya lo udah bener-bener gila karena istri orang, Bi.” Wisnu berdecak karena ulah atasan sekaligus sahabatnya itu.
Mendengar suara sarat sindiran dari Wisnu, Biantara terpaksa menghentikan tawanya.
“Sepertinya begitu.” Alih-alih tersinggung, Biantara justru membenarkan.
“Sinting lo, Bi. Inget! Apa yang lo lakuin ini bisa berpotensi menjadi masalah buat lo.”
“Oke, gue tahu. Tapi, kalau gue harus melupakan Ajeng, kayaknya nggak bisa deh, Nu.” Sahut Bian enteng.
“Kenapa? Apa percintaan kalian semalam sungguh memabukkan?” Lagi-lagi, Wisnu terdengar mengejek.
“Ya. Dia nikmat sekali.”
“Harusnya lo udah nggak penasaran lagi dong.”
“Entahlah… tapi, dia punya pesona yang nggak bisa gue biarin gitu aja."