Hidup Elena pernah hancur karena Sean, si populer SMA yang menjadikannya bahan hinaan dan meninggalkan luka batin yang begitu mendalam. Ia bersumpah, suatu hari nanti dendam itu harus terbalas.
Lima tahun kemudian, Elena kembali sebagai wanita yang kuat. Namun takdir justru mempertemukannya dengan Damian, ayah Sean, seorang duda mapan penuh wibawa. Di sanalah ia melihat kesempatan manis yaitu dengan menikahi ayah pembully-nya. 
Kini, Elena bukan lagi korban, melainkan ibu tiri Sean. Tapi yang tidak pernah ia duga, Damian terlalu tulus dan membuat hatinya goyah. Antara dendam dan cinta, manakah yang akhirnya akan ia pilih?
Dan bagaimana jika Damian akhirnya tahu bahwa pernikahan mereka hanyalah bagian dari balas dendam pada anaknya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penyuka ungu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35. Pertaruhan Dendam
“Kau…?” ucap Sean dengan pandangan yang menelusuri wajah itu dengan ragu, seolah berusaha memastikan apa yang dilihatnya benar.
Damian menatap keduanya bergantian, “Apa kalian saling mengenal?”
Elena cepat berdehem, bibirnya melengkung paksa dalam senyum, “Tidak, Om. Aku baru melihatnya hari ini,” jawabnya, meski matanya sempat melirik tajam ke arah Sean.
Namun Sean tidak bisa lagi menahan dirinya. Ia maju beberapa langkah, menatap Elena dari atas sampai bawah, memastikan ingatan lamanya tidak salah. Dan ketika kepastian itu datang, tawa getirnya pecah.
“Ha… astaga,” suaranya serak tapi penuh kemarahan yang ditahan, “Aku benar-benar bodoh.” Ia menunjuk Elena dengan telunjuknya, “Kau! Apa yang kau lakukan bersama ayahku?!”
Damian menatap anaknya dengan bingung, sementara Elena tetap berdiri di sana dalam diam, tapi sorot matanya tajam seperti pisau.
Bagi Sean, semuanya kini jelas. Wanita yang akan dinikahi ayahnya adalah gadis culun yang dulu ia rundung tanpa ampun di masa SMA. Dan kini Elena kembali lagi di hadapannya sebagai calon ibu tirinya.
“Sean, apa maksudmu?” suara Damian terdengar tegas. Ia jelas tidak memberi ruang untuk penjelasan yang berputar.
“Sebentar, Ayah.” Sean menahan ayahnya, “Wanita ini memang licik. Dia sengaja mendekatimu untuk melakukan sesuatu padaku!”
Damian memicingkan mata, wajahnya mulai tegang, “Apa yang kau bicarakan? Sadarlah, Sean!” serunya, nada marahnya meninggi.
Sean menggeleng cepat, emosi jelas membakar wajahnya, “Tidak, Ayah! Dia melakukan semua ini dengan sengaja!” Tatapannya menusuk, seperti hendak menelanjangi kebohongan yang diciptakan Elena.
Damian maju satu langkah, tubuhnya tegak, menatap anaknya dengan otoritas penuh, “Bicara yang jelas! Kau mengenal Elena? Apa yang bisa dia lakukan padamu, hah?!”
Elena yang sejak tadi diam hanya bisa menelan ludah. Napasnya pendek, jemarinya saling menggenggam di depan perut, berusaha menutupi ketegangan yang mulai merambat ke seluruh tubuhnya. Ia menatap Damian yang tampak geram, lalu beralih pada Sean yang berdiri di hadapannya dengan rahang mengeras.
Sean tidak menjawab. Matanya menatap kosong sesaat dan pikirannya berputar cepat. Ia tahu, satu kalimat salah saja bisa menghancurkan seluruh reputasinya. Peristiwa itu adalah masa lalunya di sekolah dan tidak pernah diketahui oleh siapa pun. Tidak oleh Damian, tidak oleh Alan dan istrinya, tidak oleh siapa pun kecuali dirinya dan gadis yang kini berdiri di hadapan mereka dengan wajah polos itu. Ia ingat betul bagaimana ia menutup mulut semua guru dengan uang, memastikan tidak ada satu pun laporan yang sampai ke telinga ayahnya.
Kini semuanya justru berbalik. Wanita itu muncul kembali, tapi bukan sebagai gadis culun yang dulu ia rendahkan, melainkan seseorang yang duduk di sisi pria yang paling ia takuti, sekaligus yang ingin ia kalahkan.
Tatapan Sean menajam, menyiratkan amarah yang diselimuti ketakutan. Ia menatap Elena seolah ingin menembus pikirannya.
“Kau benar-benar tahu cara membalas dendam, ya?” Batin Sean bergemuruh.
Sementara itu, Elena menangkap perubahan kecil di wajah Sean. Gerak mata yang gugup, rahang yang menegang, dan tangan yang tidak henti mengepal. Dalam diam, ia memahami semuanya. Ia tahu betapa keras Sean berusaha menutupi kebenaran itu dari ayahnya. Ia bisa membaca kegelisahan itu seperti buku yang sedang terbuka.
Dalam hati, senyum miring pun mulai muncul. Sejak permainan ini dimulai, ia memang selalu unggul satu langkah. Dengan lembut, ia menyentuh lengan Damian, menatapnya dengan wajah cemas yang tampak tulus.
“Om, sudah… jangan marah,” ucapnya lirih, seolah berusaha mendamaikan.
Elena melirik sekilas ke arah Sean, bibirnya melengkung membentuk senyum samar, “Sepertinya aku ingat anakmu, Om. Aku pernah melalui masa yang cukup sulit bersamanya.”
Damian segera menatap Elena tajam, ekspresi wajahnya menuntut penjelasan lebih jauh.
“Menjauhlah dari ayahku!” sergah Sean tajam sambil melangkah maju. Suaranya dalam dan bergetar oleh amarah. Sedangkan tatapan matanya menancap pada Elena, penuh peringatan dan ancaman yang terselubung. Ia tahu apa yang akan dikatakan wanita itu, dan ia tidak bisa membiarkan hal itu keluar dari mulut Elena, apalagi di depan ayahnya.
Namun Elena tetap tenang. Ia menatap Damian, tidak mengindahkan amarah Sean, “Kami dulu bersekolah di SMA yang sama. Dan dia—”
“Hentikan, wanita murahan!” potong Sean lantang, kali ini suaranya benar-benar meninggi.
Damian langsung berbalik menatap putranya, sorot matanya dingin, penuh ketidaksetujuan, “Jangan pernah menyebutnya dengan sebutan itu,” ucapnya pelan tapi tajam.
Sean memalingkan wajah, rahangnya menegang keras. Ia tahu ayahnya sudah sepenuhnya berada di pihak Elena. Wanita itu memang telah berhasil memikat Damian dengan wajah manis yang ia tampilkan. Dan kebenaran itu membuat darahnya semakin mendidih.
Damian menarik napas dalam, mencoba menenangkan suasana, “Ternyata kalian saling mengenal?” suaranya kini lebih halus saat bertanya pada Elena, seperti hendak memastikan sesuatu.
Elena mengangguk kecil, “Aku baru ingat sekarang. Bahkan kami dulu sekelas, benar kan?” Ia menatap Sean, matanya bersinar seolah menantang.
Sean hanya diam, bibirnya tertutup rapat. Ia sama sekali tidak berniat menjawab. Diam adalah satu-satunya cara untuk tidak memperparah keadaan.
“Sean!” suara Damian tiba-tiba meninggi, kali ini penuh tekanan seorang ayah yang menuntut kejujuran, “Dia bertanya padamu!”
Dengan napas yang berat, Sean akhirnya menatap Elena yang kini menatapnya balik dengan senyum miring penuh kemenangan.
“Kita teman sekelas, bukan?” ulang Elena dengan menekankan setiap katanya.
“Ya,” jawab Sean singkat, dingin, dan hampir seperti geraman.
Damian mendesah lega, ekspresinya perlahan melunak, “Ah, jadi begitu. Kalian sudah saling mengenal rupanya. Syukurlah, aku tidak perlu khawatir lagi untuk memperkenalkan kalian. Dulu… hubungan kalian baik, kan?”
Elena melirik Sean dengan ekspresi lembut yang sepenuhnya pura-pura, “Baik. Bahkan sangat baik.”
Sean mengepalkan tangan sekuat mungkin hingga buku jarinya memutih. Ia bisa merasakan darahnya mendidih mendengar nada manis penuh kebohongan itu.
Elena melanjutkan, seolah tanpa beban, “Kami bahkan sering bekerja kelompok dan belajar bersama. Dia banyak membantuku waktu itu,” ucapnya dengan disertai senyum hangat, walaupun semuanya adalah kebohongan.
Sean berdecih pelan, menahan amarah yang hampir meledak. Wanita itu memang ular berbisa. Tapi sekarang Elena justru menyelamatkannya dari kebenaran yang selalu ia tutup-tutupi.
Namun di balik semua itu, Elena hanya tersenyum samar. Permainan ini baru dimulai, dan ia tahu, semakin Sean berusaha menutupinya, semakin dalam pria itu akan terjebak dalam jaring yang ia anyam dengan sabar.
“Astaga... dunia memang sempit,” ucap Damian sambil tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana yang masih tegang, “Aku tidak menyangka ternyata kalian berdua adalah teman lama.”
Elena tersenyum, menatap Damian dengan lembut, “Aku juga tidak menyangka, Om. Kupikir nama Sean Evans bukan hanya dimiliki oleh anak Om saja, jadi aku tidak menanyakan lebih jauh sebelumnya.”
Damian mengangguk, wajahnya mulai terlihat lega, “Tidak apa-apa. Aku justru senang akhirnya kekhawatiranku hilang sepenuhnya.” Ia kemudian mengalihkan tatapannya pada Sean, nada suaranya berubah sedikit lebih tegas, “Dan kau, Sean. Untuk apa kau terbawa emosi tadi? Bahkan sampai menuduh Elena yang tidak-tidak.” Ia menatap anaknya tajam, berusaha mengingatkannya, “Apa kau lupa dengan perbuatanmu terakhir kali? Minta maaf padanya sekarang juga.”
Sean terdiam, rahangnya masih menegang. Tatapannya mengarah pada arah lain. Ia sama sekali tidak berniat menatap Elena, apalagi meminta maaf.
Elena menatap Damian dan menaruh tangannya lembut di lengan pria itu, “Sudah, Om,” ucapnya dengan senyum menenangkan, “Mungkin tadi Sean hanya terkejut. Melihat temannya dulu ternyata akan menjadi ibunya, tentu bukan hal mudah untuk diterima seketika. Aku tahu betul bagaimana perasaan itu.”
Nada suaranya terdengar tulus, tapi mata Elena menatap sekilas ke arah Sean. Tatapannya halus tapi menusuk, seolah berkata bahwa ia kini memegang kendali penuh atas situasi saat ini.
Damian tersenyum lembut, lalu mengelus punggung tangan Elena di lengannya, “Kau memang wanita yang pengertian,” ujarnya tulus, “Aku semakin yakin sudah membuat keputusan yang tepat.”
Kemudian ia menatap Sean sebentar, berharap anaknya menenangkan diri, “Oh ya, kalian mengobrol lah dulu. Aku akan ke dapur dan memeriksa hidangan makan malam untuk kita bertiga.”
Elena mengangguk, sementara Sean tetap diam di tempat.
Sepeninggal Damian, suasana ruang keluarga berubah drastis. Api unggun di perapian masih menyala, tapi sinarnya kini hanya menyoroti dua sosok yang berdiri saling berhadapan dengan aura permusuhan yang jelas terasa.
Sean melangkah mendekati Elena dengan langkah perlahan tapi mantap, setiap gerakannya memancarkan emosi yang berusaha ia kendalikan. Sorot matanya tajam, menusuk, seperti sedang berusaha membaca niat tersembunyi di balik senyum tenang wanita di depannya.
Sementara Elena berdiri tegak, tangannya terlipat di depan dada, dagunya sedikit terangkat. Ia tidak menunjukkan tanda-tanda gentar sedikit pun. Justru ada ketenangan angkuh di wajahnya, seolah ia sudah menyiapkan diri untuk konfrontasi ini sejak lama.
Sean menyeringai sinis, matanya menyapu penampilan Elena dari ujung rambut hingga kaki, “Kau terlihat sangat berniat sekali,” ucapnya dengan nada mengejek, “Bahkan mengganti penampilanmu. Mana Elena culun lima tahun lalu?”
Elena menatapnya tenang, lalu tersenyum tipis, “Dia sudah mati.”
Sean menggeleng perlahan, senyum sinis tersungging di bibirnya, “Kau memang sudah gila.”
Elena membalas dengan tatapan dingin, “Ya, aku memang gila,” ucapnya tegas.
Ia kemudian mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, suaranya lebih rendah namun penuh tekanan, “Dan ini semua berawal dari perbuatanmu, Sean. Aku tahu, kau takut ayahmu tahu apa yang kau lakukan padaku dulu. Kira-kira bagaimana ya, reaksinya saat tahu anak yang ia banggakan ternyata hanya seorang remaja brengsek?”
“Tutup mulutmu!” bentak Sean, rahangnya mengeras dan urat di lehernya menegang.
Elena tersenyum dingin, matanya menyipit, “Kau yang harus menutup mulut.”
Beberapa detik hanya diisi oleh keheningan. Suara napas berat dan gemeretak api di perapian samar terdengar. Keduanya seperti dua hewan buas yang menahan diri sebelum menyerang.
“Katakan,” desis Sean akhirnya, nadanya rendah tapi menekan, “Apa rencanamu sebenarnya? Kau ingin menghancurkan keluargaku?”
Elena terkekeh kecil, suara tawanya terdengar meremehkan, “Kau memang selalu bodoh,” ucapnya lembut, tapi penuh sindiran, “Kalau aku punya rencana, tentu tidak akan kuceritakan padamu. Tapi aku akan beri sedikit petunjuk…” Ia mendekat sedikit, menatap langsung ke mata Sean, “Selama kau menghormatiku, rahasiamu akan tetap aman.”
Sean memicingkan mata, “Aku tidak setuju!” suaranya meninggi, emosinya mulai lepas kendali.
Elena berdiri tegak lagi, lalu meniup kuku-kukunya yang baru dikutek, seolah tidak peduli dengan kemarahan Sean, “Ah, sayang sekali kau menolak tawaran bagus dariku,” ujarnya santai, nyaris seperti sedang berbincang ringan, bukan ancam-mengancam.
Sean mengertakkan gigi, lalu mendekat beberapa langkah hingga jarak mereka hanya sejengkal, “Aku yang akan mengeluarkanmu dari rumah ini,” ucapnya dingin, “Kupastikan kau akan menyesal dan keluar dari rumah ini dengan kakimu sendiri.”
Elena menaikkan satu alis, matanya menatap lurus ke arah Sean tanpa gentar, “Sangat menarik,” jawabnya tenang, “Tapi aku yakin, kau yang akan pergi dari rumah ini.”
Sean menyeringai sinis, menunduk sedikit lalu menatap Elena lagi dengan tatapan tajam penuh tantangan, “Kita lihat saja nanti.”
Setelah itu, langkah kaki yang mendekat terdengar semakin jelas. Sean segera mundur beberapa langkah, menyembunyikan sisa amarah di balik wajah datarnya.
Tidak lama, Damian muncul di ambang pintu dengan ekspresi heran menatap mereka berdua.
“Om,” sapa Elena cepat, berusaha menenangkan suasana sambil melangkah mendekat ke arah Damian.
Tatapan Damian bergantian, berpindah antara keduanya, seolah mencoba membaca apa yang sebenarnya baru saja terjadi di ruangan itu.
“Apa yang kalian bicarakan?” tanyanya, suaranya tenang namun penuh selidik.
Elena tersenyum tipis, mencoba terdengar santai, “Hanya kenangan saat SMA, Om.”
Damian menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk pelan, “Makanannya hampir siap, tapi sepertinya kita masih harus menunggu sedikit lagi.”
“Tidak apa-apa, Om,” jawab Elena lembut.
Namun sebelum suasana bisa mencair, Sean bersuara datar, “Aku tidak lapar. Dan aku sudah menuruti perintahmu untuk bertemu dengannya, jadi sekarang aku akan pergi.” Ia kemudian melangkah menuju pintu tanpa menoleh lagi.
“Sean!” panggil Damian dengan nada tegas, namun anaknya sama sekali tidak berhenti.
Damian mengembuskan napas berat, rahangnya mengeras, “Anak itu…” geramnya pelan.
Elena menyentuh lengan Damian dengan lembut, “Sudahlah, Om. Sudah kubilang, dia hanya butuh waktu. Mungkin untuk sementara, biarkan dia sendiri dulu. Mm… bagaimana kalau Om mengajakku berkeliling rumah ini sambil menunggu makan malam?”
Senyum tipis terbit di wajah Damian, amarahnya langsung mereda, “Ide bagus.”
Dengan gerakan lembut, Damian menggenggam tangan Elena dan menuntunnya keluar dari ruang keluarga.