Kodasih perempuan pribumi menjadi gundik Tuan Hendrik Van Der Vliet. Dia hidup bahagia karena dengan menjadi gundik status ekonomi dan sosialnya meningkat. Apalagi dia menjadi gundik kesayangan.
Akan tetapi keadaan berubah setelah Tuan Hendrik Van Der Vliet, ditangkap dan dihukum mati.. Jiwa Tuan Hendrik tidak bisa lepas dari Kodasih yang menjeratnya.
Kodasih ketakutan masih ditambah munculnya Nyonya Wilhelmina isteri sah Tuan Hendrik yang ingin menjual seluruh harta kekayaan Tuan Hendrik
Tak ingin lagi hidup sengsara Kodasih pergi ke dukun yang menawarkan cinta, kekayaan dan hidup abadi namun dengan syarat yang berat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 15.
Kodasih mencoba membuka mata, kelopak matanya terasa sangat berat. Dia hanya mampu membuka sedikit matanya. Dunia di sekelilingnya bergoyang. Lantainya tak lagi rata. Cahaya di loteng terasa terlalu terang, menusuk. Tangannya lemas. Mulutnya ingin bicara, tapi tak ada suara yang keluar.
“Mbok... jaga... bunga... itu jangan dibuang...”
Kalimatnya patah di tengah jalan. Tubuhnya ambruk ke samping. Nampan sesaji tergeser, ayam ingkung nyaris jatuh dari nampan anyaman bambu.
Tiyem menjerit. Sanah membeku.
“Nyi Kodasih!!”
Mbok Piyah berlari, menahan kepala perempuan itu di pangkuannya.
“Tolong... air! Cepat ambilkan air kelapa atau... atau apa saja!”
Tapi sebelum siapa pun sempat bergerak, sebuah hembusan angin tiba-tiba menyapu ruangan.
Hangat. Lembut. Seolah ada tangan tak terlihat yang membelai wajah Kodasih.
Lalu... sesosok bayangan kecil muncul kembali. Tak sepenuhnya nyata, tapi kali ini lebih dekat. Sosok itu berjalan pelan ke arah Kodasih, lalu duduk di sampingnya. Ia menyentuh kening ibunya, dengan gerakan halus yang mengejutkan... tapi penuh kasih.
Seketika, ubin di bawah Kodasih bersinar samar. Bunga-bunga yang tadi menghilang, kini muncul kembali, membentuk lingkaran pelindung di sekeliling tubuhnya.
Suasana hening.
Tiyem dan Sanah menunduk dalam dalam. Mbok Piyah memejamkan mata, berdoa dalam hati.
Tubuh Kodasih tampak mengapung satu jari dari lantai, lalu perlahan turun kembali. Helaan napasnya terdengar lagi, panjang, berat... tapi ada kehidupan di dalamnya.
“Nyi...?”
Suara Mbok Piyah gemetar. “Nyi... njenengan sadar?”
Kodasih membuka mata. Pandangannya bening, tapi tidak sama seperti sebelumnya.
“Aku... bertemu dengannya,” bisiknya.
“Ia... tidak marah. Ia hanya menunggu aku....”
Ia memandang ketiga perempuan yang masih terpaku.
Tangis Tiyem pecah. Ia berlutut, memeluk lutut Kodasih.
“Ampuni kami, Nyi... kalau pernah bicara sembarangan...”
Kodasih menggeleng pelan.
“Tidak ada yang perlu diampuni. Tapi malam ini... semua harus bersih. Termasuk altar. Termasuk hatiku.”
Ia berdiri. Kain jariknya sedikit basah oleh keringat dan air mata.
“Kita bersihkan loji. Kita bersihkan diri. .”
Mbok Piyah menatap wajah Kodasih, ada sesuatu yang berbeda. Matanya tak lagi goyah. Wajahnya tampak lelah, tapi damai.
Dan di belakang mereka, di pojok loteng, sosok kecil itu masih berdiri... tersenyum tipis. Lalu perlahan memudar bersama cahaya senja yang menembus celah kayu tua.
Kodasih perlahan bangkit dari duduknya. Tubuhnya masih lemah, tetapi sorot matanya mulai kembali tajam. Mbok Piyah dan Sanah sigap menopangnya, khawatir perempuan itu akan roboh lagi.
“Mbok, temani aku di kamar malam ini...” ucap Kodasih lirih, menuruni anak tangga yang dingin dan berderit pelan di bawah telapak kakinya.
“Baik, Nyi…” jawab Mbok Piyah pelan, meski detak jantungnya semakin cepat. Ada sesuatu dalam suara Nyi Kodasih yang terdengar berbeda malam ini. Lebih dalam, lebih gelap.
Malam pun menurunkan tabirnya. Angin dari kebun kebun pohon kopi di luar berdesir melalui sela jendela loji yang tua, membawa aroma tanah dan bunga liar. Kodasih dan Mbok Piyah berada di dalam kamar utama, sementara Pak Karto dan para pegawai laki laki tidur berderet di lantai ubin kelabu, berselimut tipis dalam kegelisahan.
Desas-desus tentang kedatangan tentara Jepang semakin nyata. Ada kabar bahwa mereka sudah sampai di kota seberang.
Di dalam kamar, aroma kemenyan pekat menyelimuti ruangan. Asap dari anglo kecil di altar terus menari pelan, seolah membisikkan mantra yang tak terdengar. Lampu minyak bergoyang pelan ditiup angin, memantulkan bayangan yang menari di dinding. Di atasnya, foto Tuan Menir menggantung dalam bingkai emas. Wajahnya tampak tenang, namun dingin.
Kodasih terbaring di atas ranjang, matanya menatap langit-langit. Mbok Piyah duduk di ujung ranjang, memijat kaki majikannya yang dingin seperti batu.
“Mbok…” bisik Kodasih, suaranya hampir tak terdengar, “...ada empat pilihan berat yang harus kupilih.”
Mbok Piyah menelan ludah, tangannya terhenti sejenak. “Apa itu, Nyi?”
Kodasih menarik napas dalam dalam. “Pertama… aku bisa ke rumah Mbah Ranti. Jika aku ke sana, arwah Tuan Menir akan tetap bersamaku. Kemewahan ini akan tetap menjadi milikku. Bahkan... aku akan mendapatkan cinta baru. Tapi ....”
Mbok Piyah menunduk. Ia tahu siapa Mbah Ranti, perempuan tua yang tinggal di pinggir alas Karang Pulosari.
“Kedua…” lanjut Kodasih, “...aku bisa melakukan ritual kesunyian selama tujuh hari. Tapi dengan syarat, kalian semua harus meninggalkan loji ini. Aku harus sendirian di tempat ini, tanpa suara manusia… hanya aku dan yang tak kasat mata. Atau hanya Arjo yang boleh menemani aku, karena bocah itu sudah menjadi murid Mbah Jati.”
Mbok Piyah meremas tangannya sendiri. “Lalu pilihan ketiga, Nyi?”
“Aku diam saja. Menerima semuanya. Tapi aku tahu, jika aku memilih itu... dan aku akan kesepian sampai mati.”
Keheningan melingkupi kamar. Di luar, lolongan anjing terdengar dari kejauhan, seperti pertanda bahwa sesuatu sedang bergerak mendekat.
Mbok Piyah akhirnya memberanikan diri bertanya, “Lalu yang keempat, Nyi?”
Kodasih menoleh perlahan, matanya yang dulu berbinar kini seperti kolam hitam tanpa dasar. Ia berbisik:
“Yang keempat… aku melepaskan semuanya. Kemewahan, Tuan Menir, bahkan loji ini dan kalian semua ....”
Tiba-tiba, pintu kamar berderit. Sanah berdiri di ambang pintu, wajahnya pucat.
“Nyi... Kang Pono dan Arjo datang. Arjo menanyakan apa Nyi akan melakukan ritual kesunyian malam ini. Kang Pono menanyakan kabar Nyi Kodasih. Katanya tentara Jepang sudah pasti datang ke sini.” Ucap Sanah dengan suara bergetar.
Kodasih tak langsung menjawab. Matanya memejam sejenak, dan di dalam pikirannya, keempat pilihan itu bergema seperti suara gamelan yang ditabuh pelan namun menghantui. Ia merasa seperti wayang yang tak tahu siapa dalangnya, entah leluhurnya, Tuan Menir, Mbah Jati, Mbah Ranti, atau kekuatan yang lebih purba dari semua itu.
“Bawa mereka ke ruang tengah, Sanah,” ucap Kodasih akhirnya. “Aku akan menemui mereka… sebentar lagi.”
Sanah ragu sejenak, namun anggukan pelan Kodasih membuatnya menunduk patuh dan segera pergi.
Mbok Piyah masih duduk membatu di sisi ranjang. “Nyi… jika boleh hamba bertanya, apa Nyi akan melakukan ritual kesunyian malam ini?”
Kodasih bangkit perlahan, menepis selimut tipis yang menutupi tubuhnya. Rambutnya tergerai, mata sayunya menyiratkan beban yang tak bisa dibagi.
Kodasih menoleh, samar tersenyum. “Aku tidak akan memilih malam ini, Mbok. Aku akan menemui mereka… dan mendengarkan. Mungkin... keputusan akan datang bukan dari pikiranku, tapi dari apa yang terjadi nanti.”
Ia berdiri, mengenakan selendang hitam yang biasa dipakai untuk sembahyang leluhur. Cahaya lampu minyak menyentuh wajahnya, mempertegas gurat lelah dan luka yang tak kasat mata.
Dengan langkah ringan tapi tegas, Kodasih keluar dari kamar. Mbok Piyah dan Sanah dengan tubuh gemetar ikut melangkah di belakang Kodasih..
...
Kodasih pilih yang nomor berapa ya? Apa pilih nomor ke lima 🙈🙈🙈🙈
nahh dag dig duga lah kau tiyemm
ada apa ini yaaa
apa yg terjadi coba
jangan melihat ke cermin
krn yg ada nnti lihat yg bening2 segwr rekk