Benjamin ditugaskan kakaknya, menjadi pengawal pribadi Hayaning Bstari Dewi Adhijokso, putri bungsu ketua Jaksa Agung yang kehidupannya selama ini tersembunyi dari dunia luar.
Sejak pertama bertemu, Haya tak bisa menepis pesona Ben. Ia juga dibantu nya diperkenalkan pada dunia baru yang asing untuknya. Perasaannya pun tumbuh pesat pada bodyguard-nya sendiri. Namun, ia sadar diri, bahwa ia sudah dijodohkan dengan putra sahabat ayahnya, dan tidak mungkin bagi dirinya dapat memilih pilihan hatinya sendiri.
Tetapi, segalanya berubah ketika calon suaminya menjebaknya dengan obat perangs*ng. Dalam keputusasaan Haya, akhirnya Ben datang menyelamatkan nya. Namun Haya yang tak mampu menahan gejolak aneh dalam tubuhnya meminta bantuan Ben untuk meredakan penderitaannya, sehingga malam penuh gairah pun terjadi diantara mereka, menghilangkan batas-batas yang seharusnya tidak pernah terjadi di malam itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Katakan Siapa Yang Sudah Menyakitimu?
...•••...
ZRASH...
Petir menggelegar di langit, seolah membelah kegelapan malam. Hujan turun semakin deras, menderu di atas bumi dan atap vila yang sunyi. Di dalam bangunan besar itu, dua manusia terbaring di ruang berbeda, masing-masing terbungkus dalam selimut tebal, tenggelam dalam lamunan yang tak kunjung usai.
Hayaning meringkuk di ranjangnya, menatap langit-langit kamar yang sesekali tersapu cahaya kilat dari luar jendela. Suasana ini selalu membangkitkan sesuatu yang telah lama ia kubur—ketakutan masa kecil yang menyakitkan.
Ia teringat saat dirinya pernah dikurung oleh kakak-kakaknya di ruangan gelap tanpa penerangan, hanya ditemani suara hujan deras dan petir yang saling bersahutan di luar sana.
Namun, ia tidak ingin terlihat lemah. Trauma masa lalunya adalah sesuatu yang hanya ia sendiri yang tahu, dan ia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak membiarkan itu mengendalikan hidupnya. Orang-orang di sekitarnya mungkin tidak peduli, hidup terus berjalan, dan ia harus tetap tegar.
BLAM!
Tiba-tiba, seluruh ruangan tenggelam dalam kegelapan. Listrik padam.
Hayaning menelan ludah. Kepanikan mulai merayap di dadanya meski ia mencoba keras untuk menahannya. Tapi semakin ia berusaha tenang, semakin kenangan buruk itu menghantui—dinding dingin yang menyesakkan, kegelapan pekat yang menelan segalanya, dan suara tawa mengejek dari kakak-kakaknya yang terdengar begitu dekat di telinganya.
Ia meremas selimutnya erat, matanya mulai terasa panas. Ia membenci perasaan ini, membenci betapa lemahnya ia di hadapan ketakutan yang sama bertahun-tahun lalu.
Tidak tahan lagi, Hayaning turun dari ranjang dengan langkah gemetar. Kakinya yang menyentuh lantai kayu yang dingin, membuatnya bergidik. Satu-satunya nama yang terlintas di benaknya saat ini hanyalah...
"Ben..."
Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia meraih ponselnya dan menyalakan lampu senter. Hayaning membuka pintu kamarnya perlahan, berusaha tidak membuat suara. Hujan masih deras di luar, dan dentuman petir terus menyambar.
Ia melangkah menuju kamar di sebelah, berhenti sejenak di depan pintu. Tangannya terangkat, mengetuk perlahan, nyaris tak terdengar di tengah riuhnya hujan.
"Ben..." suaranya lirih, hampir seperti bisikan.
Tak ada jawaban.
Hayaning menggigit bibirnya, ragu untuk mengetuk sekali lagi. Namun, suara gemuruh di luar sana membuatnya tidak punya pilihan. Dengan sedikit keberanian, ia mengetuk lebih keras.
KLIK.
Pintu kamar terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Ben yang berdiri di ambang pintu, mengenakan kaus tipis dan celana panjang santai. Rambutnya berantakan, matanya menyipit menyesuaikan diri dengan cahaya dari ponsel Hayaning. Seketika, ekspresinya berubah saat melihat wajah pucat gadis itu.
“Nona?” tanyanya, suaranya rendah namun penuh perhatian. “Ada apa?”
Hayaning menggenggam erat ponselnya, menunduk sedikit, merasa malu dengan ketakutannya sendiri. “Aku... aku tidak bisa tidur. Gelap..."
Ben menatapnya beberapa detik, membaca kecemasan dalam tatapannya yang gelisah. Ia tidak bertanya lebih jauh.
"Maaf, ternyata harus mati lampu. Tunggu sebentar." Ben ikut menyalakan flash di ponselnya lalu ia mencari sesuatu.
Setelah mendapatkan nya, ia menyampirkan selendang di pundak Haya, "ini milik mendiang ibuku, yang sangat ia sayangi. Nona tenang saja, selendang ini dicuci dua Minggu sekali." Ucapnya lalu ia menggenggam tangan Haya dan membawanya menuju ruang utama. Hayaning didudukan nya diatas sofa.
Haya menatap selendang yang kini melingkari pundaknya, aroma lembut yang khas menguar dari kain itu.
Ben duduk disampingnya, menyalakan lilin di meja kecil di samping mereka. Cahaya lilin yang temaram membuat wajah pria itu terlihat lebih lembut dari biasanya. Hayaning mengalihkan pandangannya, merasa canggung dengan perhatian yang diberikan Ben.
"Terimakasih atas selendangnya Benji, ini menghangatkan."
Ben hanya mengangguk kecil, matanya tetap memperhatikan nyala lilin yang bergoyang pelan diterpa angin dari jendela. "Syukurlah kalau Nona merasa lebih baik," ucapnya dengan suara yang tetap tenang.
Hayaning tersenyum kecil, menggenggam ujung selendang di bahunya dengan lebih erat. "Jangan panggil aku Nona terus, aku bukan majikanmu yang seperti itu," ujarnya pelan, mencoba mencairkan suasana yang terasa terlalu sunyi.
Ben mengangkat alis, sudut bibirnya terangkat samar. "Apa? Nona ini majikan saya—" ucapannya dipotong Haya.
"Hayaning, just call me Hayaning, Benji!" Timpal nya dengan wajah yang berubah garang.
Namun seperkian detik, Hayaning merasakan jantungnya berdetak lebih cepat ketika ia menyadari suaranya mengeras. "Maksudku, kalau berdua seperti ini, ya tidak usah terlalu formal," lanjutnya dengan nada yang sedikit lebih lembut, berusaha meredam kegugupan yang sempat muncul. Ia menatap Ben dengan harapan pria itu mengerti maksudnya.
Ben terdiam sejenak, lalu akhirnya mengangguk kecil. "Baik... Hayaning," katanya yang terucap dengan mudah.
Entah kenapa, saat Hayaning mendengar namanya diucapkan seperti itu, ia merasakan sesuatu yang aneh menjalar di dadanya—sesuatu yang hangat, namun membuatnya sedikit gelisah dan mengguncang hatinya.
"Well, apa kamu takut dengan gelap atau dengan petir?" tanya Ben sembari satu tangannya diletakkan di belakang kepala, bersandar di kepala sofa.
"Entahlah..." jawab Hayaning pelan, suaranya terdengar ragu. "Mungkin keduanya. Gelap membuatku merasa terjebak, sementara petir..." Ia menggigit bibirnya, seolah mencoba menahan sesuatu yang sudah terlalu lama ia pendam. "Petir membawa kembali kenangan yang tidak ingin kuingat."
"Siapa yang menyakiti Nona, katakan saja," ucap Ben santai, tetapi ketika Hayaning menoleh, ia menangkap sorot mata pria itu yang berubah lebih legam.
Hayaning akhirnya menggeleng, entah mengapa ia tiba-tiba merasakan aura Ben yang berbeda—lebih intens, lebih protektif, seolah pria itu siap melakukan apa pun jika ia mengucapkan satu nama saja.
“Bukan sesuatu yang perlu dibahas,” gumamnya, berusaha terdengar santai meskipun hatinya masih berdebar kencang.
Ben tidak segera menjawab. Ia hanya menatapnya dalam diam, menilai ekspresi perempuan di sampingnya. Hayaning merasa gelisah di bawah sorot mata itu.
"Jangan takut, Hayaning," ucapnya dengan rahang yang mengetat. Suaranya terdengar rendah namun penuh keyakinan. Tubuhnya yang kekar perlahan mendekat, menghadirkan kehangatan di antara dinginnya malam.
Hayaning menahan napas sejenak, jantungnya berdebar lebih cepat. "Ben..." suaranya nyaris berbisik, ragu antara ingin menjauh atau tetap di tempatnya.
Ben tidak memberinya ruang untuk mundur. Mata gelapnya masih terkunci pada wajah Hayaning, mencari sesuatu di balik tatapan gugup perempuan itu. "Saya di sini, diperkerjakan Papamu untuk melindungi kamu. Tak perlu takut pada apa pun," ucapnya, tangannya terulur perlahan, sekadar menyentuh pundaknya dengan lembut.
Hayaning menggigit bibirnya, mencoba meredakan kegelisahan yang menyelimuti dadanya. Namun, kehadiran Ben terlalu nyata, terlalu dekat. "Aku... aku baik-baik saja," katanya akhirnya, meski jelas nada suaranya bergetar.
Ben menyipitkan mata, seolah tak yakin dengan jawaban itu. "Hayaning..." Ia menjeda lama sebelum akhirnya bertanya, "Siapa yang sudah melukaimu sampai perutmu terdapat bekas luka kuratan?"
Hayaning terdiam. Matanya membesar. "Apa...? Ma-maksudmu?" tanyanya gelagapan.
Tangan Ben terangkat menyentuh pipinya dengan lembut. "Malam itu, malam ketika dirimu dijebak," bisik Ben, netranya tetap menatap lekat Hayaning. "Saya melihat ada bekas luka, di bagian letak organ hatimu."
Hayaning menutup mulutnya ketika akhirnya tangisnya luruh. Ia menggeleng pelan, matanya berkilat oleh air mata yang tak mampu ia tahan lagi.
Ben ternyata melihatnya, pria itu melihat bekas lukanya. Haya kira Ben hanya akan menikmati saja percintaan mereka tempo lalu, tanpa memperhatikan detail sekecil itu. Tapi nyatanya, Ben memperhatikan.
Hayaning menggigit bibirnya kuat, mencoba menahan isakan yang sudah terlalu sulit dikendalikan. Tangannya gemetar saat ia mencoba menyeka air mata yang jatuh tanpa bisa dicegah. "Aku... aku tidak ingin membahasnya, Ben," suaranya lirih, hampir tenggelam di tengah suara hujan yang menderu di luar.
Ben semakin mengetatkan rahangnya, kedua tangannya terkepal kuat.
"F*ck!" gumamnya kesal, lebih kepada dirinya sendiri. Ia juga tak mengerti mengapa perasaannya bisa seperti ini, mengapa profesionalitasnya seakan runtuh hanya karena perempuan ini.
Ben sangat membenci sorot perempuan yang kesakitan—ia sangat benci.
"Seharusnya saya tidak bertanya," gumamnya, napasnya berat dan ia meremes tengkuknya dengan kesal. "Maaf, Hayaning. Saya keterlaluan."
Hayaning tidak menjawab, namun tangisannya semakin lirih.
Ben menarik napas panjang, mencoba meredam emosinya. "Kalau begitu, bolehkah saya mendekap Nona?" tanyanya, kembali menggunakan panggilan formal seperti sebelumnya, tak ingin lagi bersikap lancang.
Hayaning mengangkat wajahnya perlahan, matanya yang sembab menatap Ben dengan penuh kebingungan. Ada keraguan di sana, tapi juga keinginan untuk merasakan sedikit kenyamanan di tengah ketakutannya. Ia tidak menjawab, hanya menggigit bibir bawahnya dengan ragu.
Ben menghela napas, lalu dengan gerakan hati-hati, ia merentangkan lengannya sedikit, memberikan Hayaning pilihan. "Biar saya di sini, hanya sampai Nona merasa lebih baik."
Hayaning akhirnya mengangguk kecil, tubuhnya bergerak mendekat tanpa banyak kata. Ia merasakan kehangatan saat Ben merengkuhnya perlahan, lengannya yang kokoh terasa begitu protektif di sekelilingnya. Hayaning menutup matanya, membiarkan dadanya yang bergetar karena tangis perlahan mereda dalam dekapan Ben.
Ben tidak berkata apa-apa lagi, hanya merapatkan pelukannya sedikit lebih erat.
"Maaf..." gumam Ben penuh penyesalan atas kelancangannya. Setelah itu, ia tidak lagi mengucapkan sepatah kata pun, hanya mempererat pelukannya, membiarkan kehangatannya meredakan kegelisahan Hayaning. Ia tetap diam, mendekapnya dengan sabar hingga tangis Hayaning mereda, dan akhirnya, kelelahan membuatnya terlelap dalam dekapannya.