Ziudith Clementine, seorang pelajar di sekolah internasional Lavante Internasional High School yang baru berusia 17 tahun meregang nyawa secara mengenaskan.
Bukan dibunuh, melainkan bunuh diri. Dia ditemukan tak bernyawa di dalam kamar asramanya.
Namun kisah Ziudith tak selesai sampai di sini.
Sebuah buku usang yang tak sengaja ditemukan Megan Alexa, teman satu kamar Ziudith berubah menjadi teror yang mengerikan dan mengungkap kenapa Ziudith memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dfe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tetap meninggal
Mereka bertemu di taman kota. Ada Megan, Arkana, serta dua gadis yang ternyata teman satu kelas Megan. Marlina dan Helanda.
Ketiganya sempat terkejut. Tapi rasa terkejut itu berubah jadi kekesalan luar biasa bagi Marlina serta Helanda. Mereka berpikir jika Megan sedang mengerjai mereka.
"Jangan bercanda dengan ku, Megan. Aku tahu kau hanya menggertak kami kan?" Marlina yang memulai pembicaraan.
"Demi apapun, aku bersumpah jika yang aku katakan itu benar! Tanya saja pada Arkana jika kalian tidak percaya!" Elak Megan tak terima jika dirinya dibilang sedang menggertak kedua gadis angkuh itu.
"Well well.. Sekarang bukan lagi Sammy yang menjadi perisai mu hmmm? Selera mu tinggi juga, Megan! Yang kau incar selalu orang-orang yang punya pengaruh di sekolah. Sammy sang ketua OSIS. Dan sekarang, Arkana si kapten basket Lavente! Waah.. Sepertinya aku harus belajar banyak dari mu agar bisa menaklukkan para lelaki berkelas di sekolah kita." Helanda mencibir keberadaan Arkana yang katanya bisa membantu meyakinkan kedua gadis di depan Megan.
"Bisa diam sebentar? Kalian hanya akan membuang waktu jika terus berdebat seperti ini. Megan, tolong keluarkan buku itu." Perintah Arkana.
The Book ada di depan mereka sekarang. Arkana meminta Marlina dan Helanda membacanya. Membaca kejadian yang menuliskan kematian keenam dan ketujuh. Kematian mereka berdua!
"Kau menyuruh kami mempercayai omong kosong ini? Menjijikan!" Marlina bahkan menutup buku itu kasar.
"Hanya tulisan dari orang yang suka cari perhatian! Aku rasa, aku benar-benar membuang waktu liburan ku yang tinggal beberapa jam karena telah menemui mu di sini, Megan." Sinis Helanda kesal.
"Awalnya aku juga tidak percaya dengan buku ini. Tapi, meninggalnya beberapa orang sebelumnya memang tertulis di sini. Patricia, Nancy, teacher, bahkan Rebecca.. Semua tertulis di buku ini! Kalian harus mempercayai ku. Aku hanya ingin menolong kalian!" Megan mengetuk The Book dengan jari telunjuknya.
"Aku mengetahui apa yang kalian lakukan pada Ziudith juga dari buku ini! Harusnya kalian merasa bersalah atas apa yang kalian lakukan pada Ziudith! Dia tidak pernah berbuat buruk pada kalian, tapi kenapa kalian setega itu padanya?!" Hampir saja Megan berteriak jika tidak ditekuk pundaknya oleh Arkana.
"Sial! Ternyata sudah mati pun jAlang itu tetap membuat kita susah!" Marlina memicingkan matanya pada Megan.
"Kau benar Marlina, jAlang satu itu seperti kuman penyakit yang tidak bisa hilang sepenuhnya meski jasadnya sudah hancur dimakan cacing di dalam tanah! Sungguh menyebalkan! Manusia seperti itu memang pantas untuk mati. Dia hanya mengotori pandangan mata kita saja jika terus berada di bumi!" Ejek Helanda pada Ziudith.
Plaaaak!! plaaaaaaak!!
Dua kali bunyi tamparan terdengar. Megan marah kali ini. Dia menampar Marlina dan Helanda bergantian. Arkana bahkan kaget tak sempat mencegah tangan kecil Megan memberi hadiah pada pipi kedua gadis itu.
"Orang-orang seperti kalian memang pantas mati!! Aku berharap apa yang dituliskan di buku ini benar-benar terjadi!! Semoga saja kalian mendapat kematian paling menyakitkan dan menyedihkan, agar ketika jiwa kalian ditarik dari tubuh yang kalian banggakan ini, kalian bisa merasakan penderitaan yang sama seperti yang Ziudith alami sebelum meninggalkan dunia!!!" Teriak Megan tak terima Ziudith dihina seperti tadi.
"Megan.. Kendalikan dirimu." Arkana mengusap pundak Megan pelan.
Deru nafas Megan terdengar jelas. Dia benar-benar emosi saat ini. Bahkan ketika Marlina dan Helanda pergi, Megan tak mau mencegahnya sama sekali. Biarkan saja!
"Apa kau sudah berubah pikiran? Kenapa kau tak berjuang lebih keras untuk meyakinkan mereka Megan? Kau sendiri yang bilang jika ingin menyelamatkan orang-orang yang menjadi target The Book, kan?"
"Sudahlah Ar, aku rasa aku terlalu naif. Mungkin benar kata Samuel, aku harusnya tetap abai dan jangan pernah memperdulikan apapun! Kau lihat sendiri kan apa yang mereka katakan tentang Ziudith tadi? Meraka bahkan tidak merasa bersalah sedikitpun dengan tindakan mereka yang membuat Ziudith menderita. Jadi.. Aku putuskan untuk menyerah. Aku sudah lelah dengan semua ini, Ar. Biarkan saja mereka mati. Mereka memang pantas mendapatkan itu. Mereka lah yang sebenarnya menjijikan dan mengotori bumi! Bukan Ziudith. Tapi mereka!"
Sedang dalam keadaan emosi seperti itu, mau diajak bicara pun percuma. Arkana mengajak Megan pulang saja. Megan butuh istirahat untuk menenangkan pikirannya.
.
.
.
Ini adalah malam hari di Lavente. Sejak tadi pagi sekolah sudah kembali di buka dan melakukan aktifitas seperti sedia kala. Mereka seperti telah melupakan tragedi mengerikan dua minggu yang lalu, dimana banyak terjadi kematian kematian tidak wajar di sekolah kebanggan mereka.
"Malam ini akan ada badai, Megan. Apa kau sudah memperingatkan Marlina dan Helanda untuk tidak meninggalkan asrama mereka? Kau ingat apa yang tertulis di buku itu kan? Kedua teman sekelas mu itu akan meninggal tertimpa pohon beringin di depan sekolah kita."
Megan hanya membaca saja pesan dari Arkana tanpa berniat membalasnya. Jika mengingat bagaimana Marlina dan Helanda mencaci maki tanpa ada penyesalan dalam diri mereka terhadap Ziudith, rasanya sepadan dengan nyawa yang akan mereka lepaskan untuk menebus dosa mereka kepada Ziudith. Meraka terlalu sombong!
Dan benar saja. Angin kencang membuat pihak sekolah mematikan aliran listrik. Sangat berbahaya jika menyalakan listrik di saat angin bertiup seperti ingin melahap siapa saja di hadapan seperti ini.
Lamat-lamat Megan bisa mendengar suara derap kaki yang menuruni tangga. Megan bisa menebak jika itu adalah Marlina dan Helanda. Dua gadis itu kan takut kegelapan! Semua sudah tertulis dalam buku yang Megan baca. Sesaat suara petir begitu menggelegar, memunculkan sinar putih terang seperti langit di siang hari. Tentu saja semua orang terkejut. Tak terkecuali Megan.
Dan Megan bisa mendengar jeritan ketakutan Marlina dan Helanda di luar sana. "Kalian pantas menerima balasan dari apa yang kalian lakukan!" Ucap Megan penuh amarah.
Sedangkan di luar sana, Marlina dan Helanda pergi keluar kamar karena mencari keberadaan pengelola asrama, ketika jatah lilin dibagikan tadi sore, kamar Marlina dan Helanda dalam keadaan terkunci jadi mereka tidak mendapatkan jatah lilin. Dan jika sudah seperti ini, mereka sendiri yang kerepotan.
"Kau ingat, apa yang Megan katakan.. Kita dilarang mendekati pohon beringin itu." Marlina memberi tahu Helanda yang sudah menggigil kedinginan karena tidak membawa jaket atau sweater untuk menghangatkan tubuhnya.
"Omong kosong! Kau pikir aku percaya dengan tipuan gadis sok tahu itu? Kau lihat kan, pengelola asrama sedang ada di sana. Kita harus menemuinya dan meminta lilin padanya jika ingin kamar kita layaknya kamar manusia! Tidak gelap gulita seperti goa! Aku tidak bisa tidur jika gelap seperti itu!" Helanda sudah berjalan ke arah pengelola asrama yang ada di bawah pohon beringin besar di depan sekolah.
"Mrs. Anna, saya ingin meminta lilin untuk penerangan di kamar, Mrs. melewati kamar kami ketika membagikan lilin tadi sore." Pinta Helanda.
"Sebentar. Aku sedang membersihkan saluran air di sini.. Saluran ini ternyata tersumbat. Kau tunggu saja di sana." Ucap pengelola asrama menerangkan.
"Tapi saya butuh lilin itu sekarang Mrs!" Helanda bahkan membentak orang yang lebih tua darinya.
"Apa kau tidak pernah diajari sopan santun?? Aku bilang tunggu di sana. Aku akan memberikan apa yang kau mau setelah menyelesaikan tugas ku dulu!"
Pengelola asrama menyuruh Helanda menepi, bukan merecoki pekerjaannya. Tapi ketika Helanda ingin menuju ke arah Marlina, dia dikejutkan dengan bunyi kilat yang menyambar. Marlina meneriaki sahabatnya agar segera berlindung dari derasnya hujan. Pun rasa takutnya muncul ketika melihat kilat tadi. Dia takut apa yang Megan katakan benar-benar terjadi!
"Kau lihat kan, tidak terjadi apa-apa.. Kita masih hidup meski ada di luar kamar! Aku bahkan berada di bawah pohon itu tadi. Tapi lihat--- Akuu-- Aaaaaakh.."
Marlina menjerit dibarengi dengan semburan darah dari mulut Helanda. Gadis itu terpeleset karena lantai yang licin. Naas.. Dia jatuh tepat menimpa cangkul lancip. Dadanya tertembus cangkul itu.
Suara petir kembali terdengar. Kali ini lebih kencang dari yang sudah sudah. Marlina ketakutan. Dia melihat genangan darah milik sahabatnya membasahi sandal bulu yang dia pakai. Marlina bisa melihat mimik wajah kesakitan Helanda dengan mata melotot tajam seperti tidak rela dengan kematian yang telah dia alami.
"Aku tidak mau mati! Aku tidak mau mati!!!" Marlina berteriak seperti orang gila.
Ketika dia ingin berlari meninggalkan jasad sahabatnya, dia tersandung kaki Helanda. Sepertinya Helanda tidak terima jika meninggal seorang diri!
"Awas!"
Megan menarik tangan Marlina saat gadis itu akan berlari berusaha menjauhi jasad Helanda tapi malah hampir terhuyung jatuh menimpa badan sahabatnya. Jika itu terjadi, bukankah Marlina juga akan mengalami nasib yang sama seperti Helanda?
"Kau lihat! Hanya Helanda yang mati!! Aku masih hidup kan!? Aku masih hidup. JAlang sialan dan buku terkutuknya itu tidak bisa membuat ku mati!! Aku masih hidup!!"
Rasanya sungguh Megan ingin menyumpal mulut Marlina saat itu juga. Dia ingin membalas ucapan Marlina, tapi sebelum dia mengucapkan sesuatu hal mengejutkan terjadi... Dahan pohon besar itu tersambar petir. Mengeluarkan percik api dan membuat dahan lebat itu tumbang.
"Hahahaha... Bahkan petir saja tidak mampu membunuhku! Lihat kan?? Semua yang kau ucapkan omong kosong!! Kau penipu!! Kau dan si jAlang sialan itu pe---ni---pu..."
Marlina yang congkak dan jumawa berdiri di dekat dahan patah akibat sambaran petir. Ingin menunjukkan pada Megan jika dia tidak bisa terbunuh hanya karena pohon beringin tua itu saja.
"Aaaaakkkhh!" Suara pekikan Marlina.
Tapi semua belum selesai. Lumpur yang bercampur air hujan membuat tanah yang dipijak Marlina menjadi sangat licin. Dia tergelincir dan jatuh mendarat pada dahan yang patah oleh sambaran petir tadi. Seperti sudah siap untuk menerima tubuh Marlina, dahan itu menampakkan serat kayu runcing yang tertancap pada mulut dan tubuh bagian depan siswi Lavente itu. Begitulah akhir si sombong dan sahabatnya. Megan bahkan tidak mendengar suara lain. Semua terasa hening. Bahkan ketika pengelola asrama menepuk-nepuk pipinya. Dia diam tak menjawab.
"Ar, ternyata semua tetap terjadi... Mereka tetap mati, Ar.."
Kan Megan pemeran utamanya
tadinya kami menyanjung dan mengasihaninya Krn nasib tragis yg menimpanya
tapi sekarang kami membencinya karena dendam yg membabi-buta
dikira jadi saksi kejahatan itu mudah apa?
dipikir kalo kita mengadukan ke pihak berwajib juga akan bisa 'menolong' sang korban sebagaimana mestinya?
disangka kalo kita jadi saksi gak akan kena beban moral dari sonosini?
huhhhh dasar iblissss, emang udh tabiatnya berbuat sesaddddd lagi menyesadkannn😤😤😤
karna kmn pun kamu pergi, dia selalu mengikutimu
bae² kena royalti ntar🚴🏻♀️🚴🏻♀️🚴🏻♀️
Megan tidak pernah jahat kepada ziudith,tapi kenapa Megan selalu di buru oleh Ziudith???!
Apakah Megan bakal kecelakaan,smoga enggak ah.. Jangan sampe
mau diem, diteror terus.. mau nolong, ehh malah lebih horor lagi juga🤦🏻♀️