Hal yang paling menyakitkan dalam kehidupan kita adalah bertemu dengan orang yang selama ini kita benci akan menjadi seseorang yang menemani hidup kita.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sansus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Anna masih diam di dalam mobil yang di kendarai oleh brutal oleh Aldi. "Al, pelan pelan aku takut." ujar Anna sambil memegang erat sabuk pengaman yang melekat di tubuhnya.
Aldi tak mengindahkan apa yang Anna minta, dia tetap melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Dia tak perduli jika nanti akan kecelakaan.
Karena sekarang, kemarahanlah yang telah menguasai fikirannya.
Jarak antara Restoran Vina dan penthouse Aldi cukup jauh perlu waktu 45 Menit, tapi karena sikap Aldi yang tak terkendali mereka sampai di Penthouse hanya 25 Menit. Aldi turun dari kemudinya dengan cepat, lalu membuka pintu tempat dimana Anna duduk. "Ayo turun." ujar Aldi sambil menarik kasar tangan Anna.
Anna turun dengan langkah tergopoh, dia tak punya keberanian untuk membantah setiap perkataan yang Aldi berikan. "Al, lepas. Sakit." lirih Anna ketika dia sudah sampai di ruang tamu. Aldi menghentikan langkahnya, dia berbalik sambil menatap Anna dengan tatapan membunuh. "Apa hubunganmu dengan lelaki itu?" tanya Aldi sambil melangkahkan kakinya mendekat ke tubuh Anna. Anna membisu tapi tidak membatu. Dia sontak berjalan mundur ketika langkah Aldi semakin mendekat ke arahnya.
"A.. Aldi." ujar Anna terbata karena takut. "Jawab Anna, apa hubunganmu dengannya?" Aldi berkata sambil berteriak tepat di hadapan Anna. Membuat Anna memejamkan matanya. "Di.. Dia temanku Al." ujar Anna dengan suara bergetar.
Plak..
Sebuah tamparan hinggap di pipi Anna. "Kau bohong. Jika dia memang temanmu, kenapa kau membiarkan dia untuk menyentuhmu?" Aldi sekarang tak dapat berfikir dengan jernih. Dia berkata jika dia tak akan menyentuh ataupun menyakiti tubuh Anna walau hanya seujung rambutnya. Tapi kini dia seakan lupa akan ucapannya itu. Dengan tangannya yang kasar dan besar dia menampar Anna. Dia dibutakan oleh rasa cemburunya.
"Aldi.." Anna memegang pipinya yang tadi di tampar oleh Aldi. Matanya berkaca-kaca seakan dia tak mampu untuk menahan tangisnya.
Aldi tersadar jika dia telah menyakiti Anna. "An.. Anna maafkan aku." ujarnya sambil mencoba menyentuh pipi Anna yang biasany putih kini menjadi kemerahan akibat tamparan keras dari tangannya. Anna menghempaskan tangan Aldi. "Jangan pernah kau menyentuhku lagi Al." ucap Anna dengan nada dingin dan juga tegas. "Dan, dia yang kau lihat tidak seperti apa yang kau fikirkan. Andaikan aku tidak menikah denganmu maka aku akan meminta dirinya untuk menikahiku." Anna menjeda ucapannya. "Apa kau fikir aku boneka? Yang tak memiliki perasaan, hm? Kau dengan seenaknya bercumbu dengan Mila di kamarmu. Sedangkan aku? Aku hanya bersentuhan dengan laki-laki yang statusnya hanya sahabatku membuatmu marah seperti ini. Apa yang kau fikirkan Aldi?" Anna membentak Aldi yang masih membisu akibat semua ucapan Anna. Dia ingin menyela dan berkata kalau dia dan Mila tak pernah bercumbu apalagi bercinta. Karena dia dan Mila hanya sekedar berbicara walau hanya di dalam kamarnya. Anna melangkahkan kakinya menuju kedalam kamarnya dan menutup pintunya dengan keras.
Anna Pov
Aku tak habis fikir dengan apa yang di lakukan Aldi. Baiklah, aku salah karena aku menggenggam tangan Indra, tapi apa pantas dia menamparku? Aku istrinya. Aku tak akan beselingkuh. Apalagi jika di tempat umum semua orang tahu aku ini istrinya siapa, jadi mana mungkin aku akan berselingkuh di hadapan orang banyak.
Drrtt.. Drrtt..
Indra, kenapa lagi dia menelponku? Akhh dia pasti tahu jika suasana hatiku sedang tak baik. "Hmm.. Ada apa?" tanyaku yang langsung pada intinya.
"Hmm.. Aku sudah sampai rumah. Kenapa?" dasar aneh. Bagaimana aku nggak samapi rumah dengan cepat, kalau dia tahu bagaimana kemarahan Aldi tadi.
"Ya sudah, aku mau istirahat dulu. Tadi aku udah izin di kantor kalau aku nggak bisa balik lagi." ujarku lalu menutup telfonnya dan mulai membaringkan tubuhku di atas ranjang yang empuk ini.
"Padahal baru 6jam aku meninggalkanmu. Tapi, sekarang aku sudah merindukanmu." lirihku menahan sakit yang aku derita.
Air mataku meluncur begitu saja tanpa terkendali. Aku sadar jika aku tak akan pernah dicintai oleh Aldi, tapi aku tak meminta banyak darinya. Aku hanya ingin dia menghormatiku sebagai Istrinya. Sudah 4bulan kita menikah, tapi dia selalu saja tak menghormatiku.
Dia membawa Mila ke kamarnya, tak menghiraukan sama sekali dengan perasaanku. Dia anggap perasaanku ini apa? Akh, sialan karena semua ini lagi-lagi air mataku harus jatuh seperti ini. Aku ingin sekali membencinya, tapi aku tak bisa. Hatiku benar-benar menolaknya. Seakan hatiku tahu bagaimana caranya untuk meluluhkan sikap dingin Aldi. Padahal, aku saja sudah ingin menyerah lalu pergi jauh dari sisi Aldi. "Biarlah seperti ini. Aku akan mencoba untuk melepaskannya." gumamku lirih sambil dengan menutup mataku. Dan perlahan membawaku ke alam mimpi.
Aldi Pov
Aku benar-benar telah di butakan oleh amarahku. Baiklah, aku memang salah. Aku tahu karena aku terlalu egois. Aku memikirkan diriku sendiri, dan juga amarahku sendiri. Tapi, aku sungguh itu semua di luar kendaliku. Hingga aku menamparnya. Tanganku, tanganku yang seperti ini menampar wajah lugu yang dulu selalu menggodaku. Bahkan wajah yang selalu memandangiku dalam diam.
"Dasar Bodoh." yah, aku memaki diriku sendiri. Kini aku tak dirumah, aku di bar temapt dimana aku dan Vio habiskan ketika fikiranku sedang suntuk. Vio seperti biasa dia sudah berada di sebelahku. Karena dia tahu kalau aku akan kesini.
"Al, hentikan. Kau sudah minum terlalu banyak Al." ucapnya dengan mencegah minuman yang akan aku teguk. Aku tak bisa menghentikan sikapku ini. Jika sedang kesal atau marah aku pasti minum hingga aku tak kuat menahan diriku sendiri.
"Apaan sih? Aku belum mabuk Vio, kamu tahu kan hanya ini yang bisa membantuku.?" tanyaku padanya. Aku rasa aku memang belum mabuk, walau aku sudah minum beberapa botol Bir, Wine dan semacamnya. Aku sudah menghabiskan uangku disini, tapi aku tak bisa melupakan kejadian di mana aku menampar wanita lugu yang kini statusnya adalah istriku. "Vio, aku tahu aku ini brengsek! Tapi apa aku masih bisa di maafkan jika aku meminta maaf kepadanya? Aku tak sengaja Vio menamparnya. Sungguh aku tak sengaja. Aku di butakan oleh amarahku." ucapku dengan jujur. "Menurutmu apa yang harus ku lakukan?" tanyaku sambil memandang Vio dengan tatapan penuh harap. Aku sangat berharap jika aku di berikan solusi yang biasanya dia berikan kepadaku.
"Ch, sekarang kau kenapa menjadi seperti ini?" ujarnya dengan datar. "Akui saja Al, jika kau memang mulai mencintainya. Jika tidak, mana mungkin dengan kau menamparnya membuatmu seperti ini." Vio menjeda ucapannya. "Pulanglah, lalu meminta maaflah dengan tulus kepadanya. Perlakukan dia seperti layaknya seorang istri. Aku yakin kau akan di maafkan olehnya." ucapnya dengan penuh ketulusan di setiap perkataannya. Aku tak tahu apa yang dia ucapkan itu benar, atau salah. Tapi aku akan mencoba untuk melakukannya.
Kini aku berada di depan kamar Anna. Selama Sepuluh menit aku hanya diam mematung tak bergerak sama sekali. Aku masih menimbang apa yang akan ku perbuat ini menurutnya benar atau malah salah. "Anna." ucapku sambil mengetuk pintu kamarnya.
Tokk..tokk..tokk..
"Anna." ucapku lagi masih dengan mengetuk pintunya. Masih tak ada jawaban. Ku putar gagang pintu kamarnya.
'Ceklek'.. "Tak dikunci?" gumamku pelan sambil melangkahkan kakiku menuju ke dalam kamarnya. Putih, bau khas seorang wanita. Dan rapi. Aku memandang ke seluruh ruangan ini.
Semuanya tergantung dengan jelas foto pernikahan kita, Kita? Mengucapkan kata Kita membuat hatiku berdesir. Aku tak pernah mengakui dia sebagai istriku tapi kenapa dengan kata Kita membuatku hatiku seperti ini? Ntahlah aku juga tak mengerti.
"Sudah puas melihat isi kamarku?" ucapan ketus itu membuatku berhenti tersenyum. Ku balikkan badanku dan melihat Anna yang baru saja keluar dari kamar mandi. Dengan jubah mandinya dan tetesan air dari rambutnya membuatnya terlihat 'Cantik.' yah dia memang cantik. Kulitnya putih bersih, rambutnya yang lurus dan juga tubuhnya yang ramping. Jadi pantas kan kalau aku cemburu melihatnya dengan pria lain?.
"Tadi melihat isi kamar, sekarang kau
melihat yang punya kamar. Sebenarnya
apa tujuanmu untuk datang kesini?"
tanyanya lagi dengan ucapan kasar dan ketus. Aku berjalan mendekat ke arahnya ku raih pinggangnya dan ku sentakkan agar tubuhnya condong ke depan.
"Maafkan aku." ucapku dengan pelan dan dengan cepat ku kulum bibirnya yang merah. Manis. Inilah awal aku mencium Anna. Selama Empat bulan aku tak pernah melakukannya dan inilah pertama kali bagi kami. Ku pagut bibirnya, ku tahan tengkuknya agar dia tak melepaskan pagutanku. Ku jelajahi seluruh rongga mulutnya, ku hisap dan ku gigit pelan bibir bawahnya agar dia membuka mulutnya.
Sedikit kaku memang, karena aku tahu dia tak pernah mencintai pria lain selain aku. Ku lepas pagutanku dan ku lihat dia memejamkan matanya. Menikmati seluruh perlakuanku tadi. "Maafkan aku Anna. Sungguh aku minta maaf." ucapku lirih sambil melihat matanya. Iris mata kecoklatan itu berkaca-kaca menatap dalam mataku. Dan benar, setetes air mata telah menetes di pipi putinya. Ku usap dan ku peluk dia dengan hangat.
"Jangan menangis lagi, aku mohon. Maafkan aku." ucapku meminta maaf untuk kesekian kali. Aku yang selama ini tak pernah meminta maaf kepada siapapun. Bahkan kepada Mila sekalipun.
"Apa kau mau memaafkanku?" ucapku pelan dan ku lepaskan pelukan Anna. Ku kecup keningnya, matanya, pipinya hingga bibirnya. Ku kecup sekilas bibirnya yang menurutku sangat menggoda itu. Warna merah itu seakan menggodaku.
"Kau tahu? Jika kau sudah menyakitiku. Jika kau tak mencintaiku kenapa kau tak bicarakan saja kepada keluarga kita? Agar mereka bisa memproses perceraian kita?" ucapnya lirih tapi menusuk tepat di jantungku. Aku memang ingin menceraikannya, tapi sekarang aku takut. Aku tak mau dia meninggalakanku. Aku ingin dia selalu ada di sampingku, disisiku, dan di belakang ku untuk membantuku.
Ku tangkup wajahnya dengan kedua tanganku dan ku tatap lagi iris mata kecoklatannya itu. "Apa kau tak lagi mencintaiku?" ntahlah apa yang ada di fikiranku sekarang. Mungkin aku terlalu mabuk, tapi aku merasa sadar sepenuhnya dengan ucapanku. Dia menatapku dengan tatapan bertanya. "Aku tidak bercanda Anna. Aku tanya dengan serius, apa kau masih mencintaiku?" tanyaku lagi. Jika dia berkata iya, maka akan kuputuskan untuk memilihnya. Tapi jika tidak! Ya mungkin kita harus pisah. Bukan cerai atau apa. Tapi pisah rumah. Aku akan kembali ke dalam apartemenku dan dia bisa tinggal di sini sesukanya.
Aku masih menunggunya. Dia menatapku masih sama. Tapi aku tak tahu apa yang ada di dalam otak dan fikirannya. Apa dia masih mencintaiku atau tidak. Dia memegang tanganku dan menurunkannya tepat di dadanya. "Jika kau merasakan detakan jantungku sekarang, maka rasa cintaku masih utuh untukmu." ucapnya. Aku tersenyum puas menatap Anna. Walau aku masih bimbang akan perasaanku tapi aku tahu jika dia akan selalu mencintaiku.
Ku kecup lagi dan lagi seluruh permukaan wajahnya, ku angkat tubuhnya dengan ciuman di bibir yang masih menyatu. Aku tak mengerti kenapa aku bisa senafsu ini kepadanya. Ku rebahkan dirinya di bawahku, ku lepas ciumanku dan menatapnya dengan tatapan sendunya. Aku sekarang merasa orang paling bodoh di dunia. Aku memiliki istri yang seperti ini. Tapi aku campakkan. "Kenapa memandangiku seperti itu?" tanyanya yang membuyarkan seluruh lamunanku. Aku menggelengkan kepalaku lalu kembali menciuminya. Dia dengan perlahan telah bisa membalas ciuman yang aku berikan kepadanya. Tanganku yang sedari tadi diam, kini sudah melepas ikatan jubah mandi yanga dia kenakan. Hanya dengan satu hentakan jubah nadi yang dia kenakan telah lepas dari tubuhnya. Kini yang tersisa hanya bra dan celana dalam yang warnanya sepadan yang sedang melekat di tubuhnya.
Ku remas pelan kedua bukit kembar yang menantang itu secara bergantian.
Ciumanku turun di leher jenjangnya yang putih, ku hisap, gigit hingga terdapat beberapa tanda Kissmark terjejer rapi di sana. Aku menyunggingkan senyumanku puas. Dengan tanda yang aku berikan maka laki-laki yang akan mendekatinya akan berfikir dua kali untuk mendekat ke arahnya. Jemariku masih lihai untuk meremas kedua bukit kembarnya secara bergantian. Dan ciuman ku semakin turun hingga ke dua bukit kembarnya. Lagi-lagi ku beri beberapa tanda
kemerahan di sekitar bukit kembarnya. "Ahh.." dia mendesah dan sesekali menggigit bibir bawahnya. Tanganku sudah berada di titik sensitifnya. Ku mainkan di sana, ku tekan, dan sesekali ku masukkan jariku kedalam sensitif miliknya. Dia semakin mendesah, dan menutup matanya erat. Ku cium lagi bibirnya ku hisap, ku gigit, dan ku mainkan lidahku di dalamnya. Ciumanku turun legi ke dua bukit yang indah itu, lagi-lagi ku hisap puntingnya yang keras dan memberikan tanda kemerahan. "Aldii.." ucapnya setengah mendesah. Aku suka desahannya, desahan karena jemari dan juga bibirku.
Jemariku masih berada di sisi sensitifnya, memainkannya sesuka hatiku. Ku lihat Anna sudah tak berdaya, dia sudah pasrah akan semua yang akan ku lakukan kepadanya. Jemari tangannya membuka kemeja yang sedang ku pakai dan juga celana yang masih melekat di tubuhku. Aku mengerang ketika jemri lentiknya memegang punyaku yang ntah sejak kapan sudah menegang. Aku terdiam merasakan elusannya, merasakan jemari lentiknya menyentuh punyaku dengan lembut. Aku semakin cepat memainkan sisi sensistifnya hingga dia setengah berteriak sambil memejamkan matanya. "Aldii... Ahh.." dan disitulah aku tahu jika dia telah mengalami orgasme pertamanya. Ku kecup keningnya secara dalam.
Dia menatapku "Al.." ucapnya dengan nafas yang setengah memburu. Aku mencondongkan tubuhku ke arahnya. Mendekatkan kmtelingaku ke mulutnya. "Aku mencintaimu." ucapnya dengan lembut. Seketika hatiku menghangat, aku kembali mencium keningnya, dan kembali menjelajahi seluruh tubuh yang ada di hadapanku. "Apa kau siap?" tanyaku saat aku sudah memposisikan diriku dia antara tubuhnya. Dia mengangguk pelan. Mungkin ini sudah saatnya memberikan Mama dan Papa seorang Cucu. Pikirku. Aku mendorong sedikit punyaku agar bisa masuk kedalam miliknya yang masih sempit. Jelas saja lah masih sempit, pacaran saja tidak pernah. Aku mendorongnya lagi, ku lihat dia mengernyitkan dahinya. "Apa sakit?" ucapku setengah berbisik ke telinganya. Dia hanya menggelengkan kepalanya sambil menggigit bibirnya. "Bertahanlah, ini akan sakit. Tapi tak akan lama." ucapku menenangkannya. Walau aku sudah pernah melakukannya ke Mila tapi aku merasa tak sesulit ini. Aku mencoba merangsangnya kembali, meraba yang bisa ku raba, meremas yang bisa ku remas dan aku mencium bibirnya dengan sangat lembut. Tapi dengan menciumnya ku hentakkan punyaku ke dalam miliknya. Dia menggigit bibir bawahku. Dapat ku lihat setetes air mata jatuh di ujung matanya. Bahagia tentu saja. Aku telah dia jadikan yang pertama kali menyentuh tubuhnya dan dia jadikan aku yang pertama kali mengambil keperawanannya. Setelah dia kurasa sedikit tenang aku mulai menggerakkan badanku. Dengan tempo pelan. Aku tak mau menyakitinya. Ini pertama baginya dan aku tak ingin membuat permainan ini kasar. Pelan-cepat-pelan-cepat. Begitu seterusnya.
Dia memejamkan matanya, mencoba menikmati permainan yang aku berikan kepadanya. Selama tiga puluh menit aku melakukannya dengan gaya konvesional, yang dia berada di bawahku. Dan kini aku lihat dia sudah tak tahan lagi. "Kita sama-sama." ujarku setengah berbisik kepadanya. Aku sudah tak bisa menahan lagi diriku yang ingin mengalami orgasme ku sedangkan Anna sudah dua kali dia berogasme. "Aku sudah tak tahan." ucapnya dengan nafas terengah-engah. "Aku sampai." ucapnya lagi. Dan aku yang merasa sudah di ujung tanduk pun juga menyerah. "Akh, Anna." ucapku saat telah sampai pada kenikamatan yang selama ini ku teguk dengan Anna. Ku kecup keningnya, pipinya, hingga bibirnya. "Terimakasih. Terimakasih. I Love You More." ucapku di sela-sela ciuman kami. Dapat ku lihat Anna hanya tersenyum dengan ucapanku itu, ku lepas kan diriku dari tubuhnya dan tidur di sampingnya dengan memeluk pinggangnya dengan erat. Tak lama ku dengar dengkuran halus darinya. Yang artinya dia telah tertidur karena kelelahan. Dan itu menggodaku untuk menutup mataku agar sama menuju malam mimpi.
BERSAMBUNG