Islana Anurandha mendapati dirinya terbangun di sebuah mansion besar dan cincin di jemarinya.
Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan untuk keluar dari rumah istana terkutuk ini. “Apa yang sebenarnya kamu mau dari aku?”
“Sederhana. Pernikahan.”
Matanya berbinar bahagia saat mengatakannya. Seolah-olah dia sudah lama mengenalku. Seakan-akan dia menunggu ini sejak lama.
“Kalau aku menolak?” Aku bertanya dengan jantung berdebar kencang.
Mata Kai tidak berkedip sama sekali. Dia mencari-cari jawaban dari mataku. “Orang-orang terdekatmu akan mendapat hukuman jika kamu menolak pernikahan ini.”
Islana berada di persimpangan jalan, apakah dia akan melakukan pernikahan dgn iblis yg menculiknya demi hidup keluarganya atau dia melindungi harga dirinya dgn lari dari cengkraman pria bernama Kai Itu?
CHAPTER 11
Chapter 11
POV – Kairav Arumbay
Aku melihat dari kejauhan, Islana lari kesana kemari di café tempat dia bekerja. Dia baru saja lulus dari sekolah menengah atas, tapi dia sudah melakukan pekerjaan paruh waktu dari sejak dia masih umur dua belas tahun.
Aku menahan diri dan selalu berjanji pada diriku sendiri aku harus menjaga jarak sebisa mungkin dan belum saatnya untuk memperlihatkan diriku sendiri di hadapannya. Ya, belum saatnya, tapi aku akan selalu melihatnya dari kejauhan.
Apa aku aneh? Apa aku terasa seperti orang gila yang memperhatikan ‘apa yang menjadi miliknya’ setiap hari? Apa hanya aku yang melakukan ini semua?
Aku bohong jika permasalahan saham ArumKorp tidak menjadi alasan kuat aku selalu memantau Islana. Tapi semuanya berubah beberapa tahun terakhir ini. Aku melihat Islana dengan cara yang berbeda. Perempuan muda yang menangis, sedih dan dalam kesulitan tapi punya mental baja yang tidak semua orang memilikinya.
Apa dia akan kuat menjadi istriku nanti? Ketika semua ancaman dan semua orang jahat akan berada di sekeliling dia?
Islana sekarang keluar dari café itu. Café yang punya banyak pelanggan pria nakal yang untungnya karena memiliki orang dalam, aku bisa membuat Islana terhindar dari mereka semua.
Islana memakai sepedanya untuk kembali ke tempat favoritnya. Perpustakaan kota yang berjarak tidak jauh dari café itu. Hamdan membawa mobil dengan jarak yang cukup aman sehingga Islana tidak curiga.
Sesampainya di sana aku menunggu di dalam mobil dan setelah hampir dua jam tidak melihat Islana keluar, aku mendadak cemas. Aku keluar dari mobil dan meminta Hamdan dan pengawal lain untuk berjaga-jaga.
Perpustakaan itu tidak terlalu besar. Aroma buku lamanya yang khas langsung menyapaku begitu aku memasuki lorong-lorong kecil dengan rak-rak yang cukup tinggi. Ketika aku tidak menemukan Islana, aku sadar dia mungkin ada di lantai dua.
Saat sampai di lantai dua, aku menemukan Islana tertidur di atas meja dengan wajahnya tertutup dengan rambutnya. Aku melihat tidak ada orang lain di sana. Hanya ada Islana yang tidur dengan suara kecilnya dan sebuah buku yang masih dia genggam.
Aku menarik kursi persis di sebelahnya. Menatapnya dan menahan tanganku untuk bergerak. Aku tidak pernah menyentuhnya sebelum ini. Kami selalu dibatasi oleh jarak. Jarak yang cukup membuatku kelelahan karena menunggu terlalu lama.
Sedikit saja. Sebentar saja. Aku ingin melihat wajahnya dari dekat.
Tanganku menyentuh rambutnya. Menggerakkannya ke belakang telinganya sehingga aku bisa melihat wajah cantik itu. Lalu aku menarik tanganku lagi. Islana dengan wajahnya yang cantik tapi penuh kelelahan itu akhirnya ada di depanku.
Aku menaruh wajahku di meja. Menempatkannya sejajar dengan wajahnya. Aku bisa sebentar melupakan siapa aku dan hidupku ketika mendengar napasnya dan melihat wajahnya.
Lalu aku tersenyum tanpa sadar. Apa ini yang dinamakan cinta? Bisa membuatmu terlihat tidak normal dan menjadi lemah di saat yang sama? Aku menutup mataku dan mendekatkan lagi wajahku. Menghirup aroma dan napas perempuan yang akan menjadi milikku ini suatu hari nanti….
***
Masa Kini
POV – Islana
Aku tidak tahu sudah berapa lama aku menutup mataku. Tidak tahu siapa saja yang berteriak di sekitarku. Tapi yang jelas aku merasa aku masuk ke sebuah mobil. Karena mendengar suara pintu yang ditutup keras dan kencang.
Aku membuka mataku sedikit saja. Dan benar aku melihat rumah besar itu mulai menjauh detik demi detik. Aku melihat semua pengawal Kai sudah mengeliling rumah itu dan sepertinya siap untuk melindunginya dari serangan lain.
“Shhh….” Suara itu datang dari orang yang sedang memelukku. Aku mendongak dan melihat Kai dengan sebagian wajahnya terdapat darah merah segar. Apa itu darah dia?
Dengan suara terbata-bata aku bertanya. “Apa itu darah kamu?”
Kai melihatku dengan tatapan yang tidak pernah aku liat sebelumnya. Tatapan cemas dan melihatku seperti benda yang siap pecah jika dia lepaskan. “Bukan, ini darah mereka. Maaf, aku nggak bisa nunggu untuk bersih-bersih. Kita harus keluar dan pergi sementara waktu dari Mansion.”
“Apa mereka bakal kejar kita?”
Kai mencium keningku. Hal yang begitu mengagetkan bagiku. Aku tidak pernah sedekat ini dengannya. Tapi ciuman itu begitu menenangkan. Aku sadar dia akan menangkapku jika aku jatuh kemudian hari.
“Tenang aja, kita akan pergi cukup jauh, dan mereka nggak akan bisa datang.”
Aku hanya bisa mengangguk saja. Tubuhku dan pikiranku sudah terlalu lelah. Kenapa aku merasa pelukan dari Kai begitu familiar? Dia seharusnya tidak pernah memelukku kan?
Kai melihat tangan dan kakiku. “Apa kamu sakit? Apa ada yang luka? Dokter bakal datang nanti buat pastiin kamu baik-baik aja.”
Perhatiannya di tengah-tengah mimpi buruk yang menjadi nyata ini terasa begitu menenangkan hati. Kenapa perasaan ini muncul tiba-tiba? Apa karena kami melalui ‘bencana’ tadi bersama-sama?
Mataku adalah organ yang paling lelah. “Aku ngantuk, Kai.”
Kai menangkup wajahku. Melihat wajahku dengan sorot mata yang begitu memuja. Ya, dia melihat seakan-akan aku wanita satu-satunya di dunia ini. “Shhh…tidur sayang, aku ada disini.”
Aku masuk lebih dalam ke pelukan pria itu. Pria yang dipenuhi dengan darah musuhnya tapi memeluknya seakan-akan tidak ada yang bisa mengambilku darinya….