NovelToon NovelToon
Rengganis Larang

Rengganis Larang

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Action / Misteri / Hantu / Roh Supernatural / Fantasi Wanita
Popularitas:613
Nilai: 5
Nama Author: Saepudin Nurahim

Warisan darah. Kutukan leluhur. Perburuan yang tak pernah usai.

Di tengah kabut kelam tanah Pasundan, garis batas antara dunia manusia dan dunia gaib mulai menipis. Makhluk-makhluk yang seharusnya tersegel mulai bermunculan kembali, membawa kutukan, kematian, dan kegilaan. Hanya satu nama yang masih ditakuti oleh mereka yang hidup dalam kegelapan: Rengganis Larang.

Sasmita Wibisana, keturunan terakhir dari pemburu siluman, kini memikul beban warisan berdarah keluarganya. Dengan keris pusaka yang haus jiwa dan senjata api yang diberkahi mantra, ia menyusuri lorong-lorong gelap Nusantara untuk memburu entitas yang tak bisa dilawan manusia biasa. Tapi setiap makhluk yang ia bunuh, semakin dekat pula ia pada satu kebenaran yang telah dikubur berabad-abad: sebuah pengkhianatan di dalam garis darahnya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Abu dan pendeta yang tertinggal

Asap merah itu menjalar seperti lidah api, menjilat lantai rumah hitam yang retak. Suara berat menggema dari dalam papan membusuk:

> “Pewaris darah Rafael... akhirnya datang juga...”

Kenan mundur satu langkah. Sasmita, sebaliknya, maju satu langkah—keris Larangnya bersinar samar dalam kabut pekat.

“Aku mencium bau daging anak manusia... dan luka dari masa lalu...”

Sesuatu merayap keluar dari celah lantai. Pertama dua tangan, panjang, berkulit seperti getah kering. Lalu kepala—berbentuk tengkorak babi hutan, bertaring bengkok, dan mata merah yang meneteskan cairan hitam.

Siluman itu berdiri. Tingginya hampir dua meter. Badannya gemuk, tapi kakinya kecil seperti belalang, membuatnya bergoyang setiap bergerak.

“Kenan,” bisik Sasmita, “kalau dia loncat ke arah lo, lo langsung tiarap. Gue urus sisanya.”

Tapi siluman itu tak menyerang. Ia mendesis panjang.

> “Aku diutus... mengantar pesan darah... dari Manglayang Merah...”

Sasmita menajamkan pandangan. “Biasanya yang nganter pesan itu tukang pos. Lo ini bangkai.”

> “Bocah itu... bukan untukmu, Pemburu. Ia... milik tuanku. Warisan iblis dan pendeta yang membangkang.”

Tiba-tiba—si siluman melesat. Lebih cepat dari yang Sasmita duga. Ia melompat ke arah Kenan, cakar siap mencabik—

BLAARRR!

Kilatan cahaya putih menyambar dari langit-langit rumah. Siluman itu menjerit, tubuhnya terbakar dalam kobaran api suci. Suara seperti nyanyian Latin menggema samar dari dalam kilat itu.

Asap merah mencicit dan menghilang. Hanya tersisa abu, dan bau daging terbakar.

Kenan terduduk, terkejut. “Apa barusan... petir? Siapa yang—”

Langkah kaki terdengar dari balik kabut yang masuk dari jendela. Pelan. Mantap.

Lalu muncul sosok lelaki berumur lima puluhan, jubah hitam setengah terbakar, rambut ubanan acak-acakan. Di tangannya, sebuah salib logam besar berkilau dalam cahaya redup. Dadanya berkalung rosario dari besi tua yang berkarat, dan matanya... tajam. Seperti pernah kehilangan terlalu banyak dalam hidupnya.

“Kenan...” suaranya berat, namun hangat.

Anak itu membeku.

“Uncle... Ben?”

Sasmita menyipit. “Tunggu... ini frater? Gaya masuknya kayak Gandalf, tapi bau dupa.”

Frater Bernardus berjalan pelan mendekati Kenan, lalu tanpa kata langsung memeluknya.

Kenan diam. Tapi tubuhnya gemetar. Perlahan ia membalas pelukan itu, dan untuk pertama kalinya sejak keluar dari yayasan... ia menangis.

Tangis tanpa suara, hanya air mata mengalir deras di pipi.

Frater Ben memejamkan mata. “Maaf, Nak. Harusnya Om datang lebih cepat.”

Sasmita berdiri di sudut, bersandar di dinding. Ia tak berkata apa-apa, hanya memperhatikan.

Setelah beberapa saat, Frater Ben melepaskan pelukan. Ia menatap Sasmita.

“Kau pasti Pemburu itu. Rengganis Larang.”

Sasmita mengangguk. “Dan lo frater yang katanya gila. Gak nyangka, ternyata masih bisa bedain siluman sama anak kecil.”

Frater Ben tersenyum tipis. “Saya gila, tapi belum buta.”

Ia duduk di lantai kayu. “Kalian harus tahu. Tentang Rafael. Tentang apa yang benar-benar terjadi di Gunung Gede... tahun 1999.”

“Waktu itu... dunia gak tahu apa-apa,” suara Frater Ben serak, tapi tegas.

“Kami... aku, Pastor Rafael, dan beberapa eksorsis dari Vatikan... datang ke Jawa untuk menangani peningkatan kasus kerasukan. Tapi itu cuma permukaan. Yang sebenarnya terjadi—ada energi kuno bangkit di Gunung Gede. Entitas darah yang disebut Bayang Abang... mulai merasuk ke tubuh manusia.”

Sasmita menyela, “Manglayang Merah.”

Frater Ben mengangguk. “Iya. Tapi waktu itu, dia belum sekuat sekarang. Rafael... mengambil keputusan berat. Kami harus menyegel entitas itu. Tapi itu bukan eksorsisme biasa. Dibutuhkan pengorbanan besar. Tiga imam mati malam itu. Dua eksorsis terbakar hidup-hidup. Dan Rafael...”

Ia menunduk.

“...dia mengikat jiwanya ke dalam segel. Membuat tubuhnya jadi wadah terakhir. Itu sebabnya... tubuhnya ditemukan hangus seperti bunuh diri. Tapi yang gak orang tahu, dia masih bertarung... bahkan setelah mati.”

Kenan menatap Frater Ben, matanya merah. “Ayahku... mengorbankan dirinya?”

“Iya, Kenan. Tapi dia bukan hanya eksorsis. Dia ayahmu. Dan dia... sayang padamu lebih dari siapa pun.”

Frater Ben menoleh pada Sasmita. “Dia pernah bilang padaku... ‘Jika aku mati, pastikan anak itu tidak tumbuh dalam ketakutan. Pastikan dia tahu bahwa iblis takut pada hati yang bersih, bukan suara yang keras.’”

Sasmita menahan napas sebentar. Kalimat itu menggema dalam pikirannya.

Kenan pelan-pelan berdiri. “Jadi... semuanya ini... karena aku?”

Frater Ben menggenggam bahunya. “Bukan karena kamu. Tapi karena darah yang kamu warisi. Kamu bukan monster, Kenan. Tapi kamu juga bukan anak biasa. Dan sekarang... Manglayang Merah tahu kamu hidup.”

Sasmita berdiri. “Lo punya rencana?”

Frater Ben mengangguk. “Ada satu tempat lagi. Sebuah altar tua di Cikuray. Di sana... Rafael menyimpan fragmen Injil Gelap. Kita harus ke sana. Sebelum Manglayang membangkitkan tubuh penuhnya.”

Sasmita menyipit. “Gue gak suka jalan ke gunung. Terakhir kali naik, gue digodain pocong.”

Frater Ben tertawa kecil. “Tenang. Kali ini pocongnya di pihak kita.”

Tapi sebelum mereka sempat bergerak, suara gemeretak terdengar dari lantai bawah. Retakan di dinding mulai muncul. Rumah berdinding hitam itu... mulai bergetar.

Kenan memeluk salib kecil di lehernya. “Apa itu...?”

Frater Ben menatap ke arah lantai.

> “Segelnya... mulai pecah. Kita harus pergi sekarang—”

BRAAAKKKKK!!!

Lantai rumah runtuh, dan dari bawah... muncul mata merah. Enam pasang. Diiringi suara tawa pelan yang menggaung seperti suara ratusan anak kecil menangis bersamaan.

> “Terlambat... Pewaris... sudah masuk ke tanah darah.”

Sasmita langsung berdiri di depan Kenan.

Frater Ben menggenggam salib besinya.

Dan dari lubang hitam... muncul makhluk baru.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!