NovelToon NovelToon
Become Mafia'S Wife

Become Mafia'S Wife

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia / Time Travel / Transmigrasi ke Dalam Novel
Popularitas:10.5k
Nilai: 5
Nama Author: Salvador

Dena baru saja selesai menamatkan novel romance yang menurutnya memiliki alur yang menarik.

Menceritakan perjalanan cinta Ragas dan Viena yang penuh rintangan, dan mendapatkan gangguan kecil dari rival Ragas yang bernama Ghariel.

Sebenarnya Dena cukup kasihan dengan antagonist itu, Ghariel seorang bos mafia besar, namun tumbuh tanpa peran orang tua dan latar belakang kelam, khas antagonist pada umumnya. Tapi, karena perannya jahat, Dena jelas mendukung pasangan pemeran utama.

Tapi, apa jadinya jika Dena mengetahui sekelam apa kehidupan yang dimiliki Ghariel?

Karena saat terbangun di pagi hari, ia malah berada di tubuh wanita cantik yang telah memiliki anak dan suami.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salvador, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23 : Kamar Gevan

...****************...

Ghariel pikir perayaan ulang tahunnya telah selesai di Dufan, tetapi ternyata ia salah. Kejutan yang Ghariel dapat belum berhenti di situ.

Saat mereka memasuki mansion, sebuah kejutan lain sudah menunggunya. Di ruang tamu, Bi Laksmi bersama beberapa pelayan berjejer menyambut kepulangan mereka, ada Bastian juga di sana.

Di tengah ruangan, ada sebuah kue coklat besar bertengger di atas meja, dengan lilin-lilin kecil yang sudah menyala.

“Selamat ulang tahun, Tuan Muda,” kata Bi Laksmi dengan lembut, diikuti seruan pelayan lain yang meramaikan suasana.

Mata Ghariel melebar. Ia tidak menyangka akan mendapatkan kejutan lagi setelah seharian bermain di Dufan. Ia melirik mamanya, yang hanya tersenyum penuh arti.

“Ga bisa dong ulang tahun kalau gak ada cake-nya,” Ujar Araya sembari tersenyum.

Anak laki-laki itu berjalan mendekati meja, menatap lilin-lilin yang berkedip di atas kue.

“Make a wish dulu, Sayang,” bisik Araya.

Ghariel menutup matanya sejenak, membuat permohonan dalam hati, lalu meniup lilin itu dalam satu hembusan. Suara tepuk tangan kecil terdengar dari para pelayan yang ikut senang melihat kebahagiaan tuan muda mereka.

Araya lalu menyerahkan pisau kecil padanya. “Ayo, potong kuenya.”

Dengan hati-hati, Ghariel memotong sepotong kecil kue itu. Setelahnya, ia mengambil garpu, menusukkan sedikit bagian kue, dan tanpa ragu menyuapkannya ke mamanya.

“Untuk Mama yang paling cantik,” katanya dengan ceria.

Araya tersenyum, menerima suapan dari putranya yang manis itu.

Sebelum Ghariel bisa mengambil potongan lain untuk dirinya sendiri, tangan lembut mamanya menggenggam tangannya.

“Nah, sekarang buat Papa,” ucap Araya pelan, menuntun tangan putranya ke arah Gevan.

Ghariel menatap mamanya sejenak, lalu melirik papanya yang masih duduk dan hanya diam sedari tadi. Jujur saja, ia agak ragu. Tapi, pada akhirnya, ia menyodorkan kue itu ke arah Gevan dengan sedikit canggung.

Gevan diam sejenak, lalu—dengan sesuatu yang hampir menyerupai senyuman—pria itu menerima suapan dari putranya.

Araya tampak sangat puas melihat interaksi kecil itu.

Ia mengambil hadiah yang sudah ia siapkan sejak pagi. Sebuah kotak berwarna biru tua, dihiasi pita perak yang elegan.

“Ini untuk Ghariel kesayangan Mama,” kata Araya, berjalan mendekat dan menyerahkan kotak itu.

Ghariel menatap hadiah itu dengan mata berbinar. Ia pikir pesta dan liburan hari ini sudah cukup, tapi melihat sang mama masih memberinya hadiah lain membuatnya semakin bahagia.

“Terimakasih Mama,” Ujar Ghariel.

Araya tertawa pelan, ia mengusap kepala Ghariel dengan penuh kasih.

“Semoga kamu suka, sayang.” Ucap Araya.

“Hadiah dari Papa akan menyusul,” Ujar Gevan menyela ibu dan anak itu, seolah tak ingin ketinggalan.

Ghariel mengangguk menanggapi Papanya, tak ayal ia cukup penasaran.

Selesai dengan kue ulang tahunnya, Araya menyuruh putranya untuk segera ke kamar, “habis ini kamu bersih-bersih ya, kita baru aja selesai dari luar,”

Ghariel menatap Araya sejenak, “Malam ini… Mama bisa temani El tidur?” tanyanya pelan, hampir berbisik.

Araya tersenyum lembut. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya mengangguk sebagai jawaban. Senang rasanya melihat senyuman kebahagiaan di wajah kecil putranya itu.

***

Araya memasuki kamar Ghariel. Anaknya itu terlihat sudah rapi dengan mengenakan piama tidurnya.

“El sudah mandi, sudah sikat gigi,” lapornya pada sang mama.

“Pintarnya anak Mama.”

“Keren banget, Ma! Aku suka!” seru Ghariel memamerkan benda yang melingkar di pergelangan tangannya.

Ia langsung mencoba memakai hadiah yang di berikan Araya, sebuah jam tangan kulit dengan desain klasik minimalist. Yang tentunya Araya beli dari merk ternama, ia memanfaatkan uang sang suami dengan sangat baik.

Araya tertawa pelan, merasa lega melihat putranya menyukai hadiahnya. “Senang kalau kamu suka,” ucapnya.

“Sekarang sudah jam tidur kamu, kita tidur, ya.” Lanjut Araya.

Ghariel mengangguk. Menarik pelan tangan sang mama agar berbaring di sebelahnya. Araya mematikan lampu kamar dan menyisakan lampu tidur yang temaram di atas nakas.

Araya mengusap-usap puncak kepala anak itu. Ghariel adalah tipe anak yang tidak rewel, ia bisa langsung tidur dalam sejenak.

Araya menghentikan ucapannya saat di rasa putranya sudah mendengkur halus, helaan nafasnya terdengar teratur.

Ia mengeluarkan ponselnya dari saku, berniat scroll media sosial sejenak. Untuk ukuran orang dewasa sepertinya pukul sepuluh ini terlalu cepat untuk terlelap.

Cklek

Ketika pintu kamar tiba-tiba terbuka, Araya buru-buru menoleh. Sosok Gevan muncul dalam kegelapan, melangkah masuk begitu saja tanpa mengetuk.

Araya menatapnya dengan tatapan heran. “Kamu ngapain?” tanyanya pelan, khawatir suara mereka akan membangunkan Ghariel.

“Ayo ke kamar,” ucapnya singkat dengan wajah datar seperti biasa.

Araya mengerutkan kening. “Ghariel minta ditemenin,” jawabnya, tetap menjaga suaranya agar tidak terlalu keras.

Di sebelahnya, Ghariel tertidur lelap, satu tangan mungilnya masih melingkari pinggang sang ibu.

Gevan melangkah lebih dekat, sekilas melirik putranya yang masih terlelap dengan napas teratur. Lalu, dengan suara tenang berucap, “Dia sudah tidur. Tidak akan tahu kalau kamu pergi.”

Araya menggigit bibirnya, masih enggan untuk beranjak. Ia mengelus pelan rambut Ghariel, merasa tak tega meninggalkan putranya begitu saja.

“Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan, Araya.”

Ucapan pria itu yang terus terkesan memaksanya, ia tahu bahwa pria itu tidak akan pergi tanpa dirinya.

Akhirnya, dengan gerakan pelan, Araya menggeser tangan kecil Ghariel dari pinggangnya, lalu turun dari tempat tidur. Ia memastikan selimut masih menyelimuti tubuh kecil putranya sebelum akhirnya bersama Gevan meninggalkan kamar putra mereka.

Saat menaiki lift, Araya tidak sadar laki-laki itu menekan angka 3. Tau-tau mereka sudah berada di lantai tiga, padahal kamar Araya berada di lantai dua.

Araya menoleh dengan alis mengerut pada Gevan yang sudah menarik tangannya berjalan keluar meninggalkan lift.

“Tidur di kamarku,” kata Gevan singkat.

Araya tidak langsung menjawab, tapi langkahnya tetap mengikuti. Ia sama sekali tak keberatan.

Saat memasuki kamar Gevan untuk pertama kalinya, Araya langsung memperhatikan sekelilingnya.

Ruangan itu cukup luas, dengan dinding bercat abu-abu yang memberikan kesan dingin dan tenang. Meski sedikit lebih luas dari kamarnya sendiri, tata letaknya tidak terlalu berbeda—hanya saja, kamar ini memiliki kesan lebih maskulin dengan furnitur berwarna gelap dan pencahayaan yang sedikit lebih redup.

Di satu sisi, terdapat rak buku dengan beberapa koleksi bacaan yang tertata rapi. Meja kerja di sudut ruangan bersih tanpa banyak barang, hanya ada laptop yang terutup dan beberapa dokumen.

Namun, yang paling menarik perhatian Araya adalah foto pernikahan mereka yang terpampang dengan ukuran cukup besar di salah satu dinding.

Ia terdiam sejenak, menatap foto itu dengan pandangan tak terbaca. Ternyata Gevan memajang foto pernikahan mereka di dalam kamarnya, tepat di depan ranjang pula.

Di dalam foto, ia dan Gevan berdiri berdampingan, mengenakan pakaian pengantin yang elegan. Keduanya hanya tersenyum tipis, jelas sekali bahwa itu senyum formal—sekadar formalitas untuk sebuah pernikahan yang tidak bisa diulang.

Araya menghela napas kecil. Setidaknya, dalam foto itu, dirinya tidak cemberut.

Ia menoleh pada Gevan yang duduk di tepian tempat tidur, “Apa yang mau kamu perlihatkan.”

Laki-laki itu melirik kasur di sebelahnya, mengode agar Araya duduk di sebelahnya. Setelahnya Araya melihat laki-laki itu mengotak atik ponselnya sejenak dan mendekatkannya pada Araya.

“Mah, dia malah pengen memperbaiki hubungan dia sama Gevan! Gimana aku bisa tenang coba?!”

“Tapi kamu jangan gegabah, Shinta! Kalau Gevan tahu selama ini kamu yang mencoba mencelakai Araya, sekalipun Araya mati kamu gak akan dapetin dia!”

“Gevan gak akan tahu, dia itu gila. Skenario dia yang ingin bunuh diri udah di percaya se isi mansion. Dan ewh, dia juga mulai peduli sama anak itu!”

“Terserah, lakuin keinginan kamu dengan sebaik mungkin. Tapi selagi dia masih hidup, kita harus terus meras dia.”

“Oh jelas dong! Aku selalu—“

Rekaman itu berhenti di sana. Araya jelas mengenal suara Shinta di sana dan suara ibu tirinya yang terdengar familiar.

“Aku bayar staff perusahaan tempat ibu tiri kamu bekerja dan memasang penyadap di ruangan dia, karena aku lihat kamu sama sekali gak mempersalahkan ini jadi aku turun tangan, Araya.” Jelas Gevan.

Ia mendapatkan bukti lebih dulu baru mengatakannya pada sang istri karena Gevan khawatir istrinya itu masih membela keluarganya, walaupun Araya sudah melihat bukti kebusukan mereka. Sebab Araya sama sekali tak ada pergerakan.

Araya sendiri terdiam sejenak. Ia memang belum memiliki rencana untuk adik dan ibunya itu, tapi bukan berarti Araya melupakannya begitu saja. Ada dendam yang harus Araya bayarkan.

Harta keluarganya sudah habis oleh Shinta dan ibunya untuk berfoya-foya, sehingga kini ibunya bekerja menjadi manager di salah satu perusahaan. Yang mana membuatnya cukup sibuk dan jarang pulang ke rumah, karena itu Gevan memilih menyusupkan mata-mata di sana.

Araya mendengus kesal, “gimana bisa dia seberani itu buat rencana pembunuhan?” gumamnya.

Menurut Araya, Shinta masih terobsesi pada Gevan. Sebab, dulu ayah mereka menginginkan Gevan menikah dengan Shinta, dan sepertinya sejak saat itu Shinta menyimpan dendam padanya dan melabelinya sebagai perebut.

Padahal di depannya gadis itu berlagak seperti membenci Gevan seolah ingin membunuhnya, tidak tahu saja di belakangnya ternyata malah mengincar.

“Aku gak tahu apa yang akan dia rencanain selanjutnya. Tapi di mansion ini orangnya sudah aku bersihkan, kamu gak akan terancam lagi,” Ujar Gevan. Tak mungkin ia memelihara orang-orang itu di rumahnya lebih lama.

“Itu berarti, Shinta sadar kalau kelakuannya ketahuan?” Tanya Araya.

Gevan menggeleng, “Ponsel dari dua orang yang dia selundupkan di sini ada sama Bastian. Jadi dia akan memberi laporan seolah dia anak buah adik kamu.”

“Adik tiri,” Ralat Araya cepat. Ia benar-benar kesal.

“Jadi, Aku boleh nyingkirin mereka sekarang?” Tanya Gevan.

Buktinya sudah kuat dan Araya jelas percaya padanya. Gevan ingin segera menghabisi para pengganggu seperti mereka.

Araya menggeleng pelan, sebenarnya ia terpikir untuk membereskan Shinta dan ibunya sendiri. Tapi, kalau Gevan bisa ia pergunakan, bukankah lebih memudahkan rencana yang akan ia buat?

Gadis itu tersenyum miring di wajah cantiknya, “Mereka harus di singkirin pelan-pelan.” Ia menerawang apa yang akan diberikan untuk kedua manusia keji itu.

Gevan mengerjap, bukan karena mendengar jawaban sang istri. Tapi, bolehkah ia mengatakan jika Araya terlihat sangat cantik sekarang?

...****************...

tbc.

agak telat ya upnya hehe, but ini 1.5k kata

jangan lupa jejaknya♡♡

1
sipuuttt
lagiii, banyak² thorr 😍
Darmanto Atok
next Thor
semangat ya buat ceritanya Thor 💪😊👍
Lay's
Araya jadi jahat, Gevan pun makin terjerat wkwkwk
Putra Satria
next lagi Thor semangat terus ya Thor up x slalu d tunggu jadi gpl/Determined//Angry//Determined//Angry//Smirk//Smirk/
Darmanto Atok
next Thor 💪😊👍
Lay's
OMG, INI MAH SWEET ABIZZZZ
Sulati Cus
tambah berwarna lg geril jika tar adikmu launching 😂
Diyah Pamungkas Sari
seperti batu..... 😑😑🤣🤣🤣🤣
Lay's
Akhirnya Araya berhasil menghindari kematian sesuai alur novel
Darmanto Atok
next Thor 💪😊👍
Ida Rohani
🤩up lagi 🤩donk😍thor😘🤗
Ida Rohani
🤩lagi🤩donk 😍thor😘🤗
sipuuttt
Luar biasa
sipuuttt
kukira marga bapaknya 🥲
Sulati Cus
nah baru bener Araya
Zeana
tanggung ihh uppppp lagiii
IndraAsya
👣👣👣👣👣
Putra Satria
/Whimper//Sob//Whimper/author nich terlalu pagi pagi malahan di kasih Uwu uwu/Facepalm//NosePick//Determined//Angry//Determined/
Lay's
Bagus, terus tingkatkan hubungan kalian agar Ghariel ga jadi korban
Lay's
Bastian jadi keseringan terlibat sama Araya. Bisa-bisa si Gevan kepanasan ini
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!