Dena baru saja selesai menamatkan novel romance yang menurutnya memiliki alur yang menarik.
Menceritakan perjalanan cinta Ragas dan Viena yang penuh rintangan, dan mendapatkan gangguan kecil dari rival Ragas yang bernama Ghariel.
Sebenarnya Dena cukup kasihan dengan antagonist itu, Ghariel seorang bos mafia besar, namun tumbuh tanpa peran orang tua dan latar belakang kelam, khas antagonist pada umumnya. Tapi, karena perannya jahat, Dena jelas mendukung pasangan pemeran utama.
Tapi, apa jadinya jika Dena mengetahui sekelam apa kehidupan yang dimiliki Ghariel?
Karena saat terbangun di pagi hari, ia malah berada di tubuh wanita cantik yang telah memiliki anak dan suami.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salvador, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34 : Ruang Bawah Tanah?
...****************...
Bruk!
Bunyi dentuman keras menggema di dalam kamar saat sebuah benda menghantam lantai. Nafas Shinta memburu, dadanya naik turun cepat, sementara tatapannya liar, penuh amarah yang meluap-luap.
“ARGHH! SIALAN!”
Teriakan itu menggema, menyatu dengan suara barang-barang yang ia banting tanpa peduli. Meja riasnya kini sudah tak berbentuk, cermin retak dengan pecahan berserakan di lantai, dan berbagai kosmetik berhamburan tak beraturan. Namun, tak ada yang bisa meredakan kemarahannya.
Shinta menggigit bibir, tangannya mengepal erat. Ia tidak boleh kehilangan Sangga. Tidak boleh!
Matanya berkaca-kaca, bukan karena sedih, tapi karena ketakutan. Selingkuhannya baru saja memutuskan hubungan mereka, memilih pergi setelah menjadi sasaran amarah Sangga. Lelaki itu sakit hati, dan sekarang benar-benar meninggalkannya.
Lagipula Shinta hanya gundik, tidak ada hubungan spesial antara Shinta dengan laki-laki yang telah berkeluarga itu selain sesuatu yang saling menguntungkan.
Sial.
Shinta mendengus kesal. Sangga adalah satu-satunya sumber uangnya saat ini. Jika laki-laki itu benar-benar pergi, bagaimana ia akan bertahan? Bagaimana ia akan mempertahankan gaya hidupnya? Tidak, ia tidak boleh membiarkan itu terjadi.
Dengan tangan gemetar, ia meraih ponselnya dan segera mengetik nomor Sangga. Namun, setelah beberapa detik menunggu, yang muncul justru sesuatu yang membuatnya semakin frustrasi.
‘Nomor ini telah diblokir’
Shinta terdiam, jantungnya berdebar tak karuan. Ia mencoba sekali lagi, tetapi hasilnya tetap sama.
“Brengsek!” makinya keras, membanting ponsel ke kasur.
Helaan napas kasar keluar dari bibirnya. Ia berusaha menenangkan diri, mencari solusi, mencari cara agar Sangga kembali. Namun, sebelum pikirannya sempat menemukan jalan keluar, matanya menangkap notifikasi yang menumpuk di layar ponselnya.
“Grup angkatan?” gumamnya pelan.
Beberapa chat dari teman-temannya memenuhi layar, menyuruhnya melihat video yang dikirim seseorang di grup angkatan kampus mereka. Alisnya berkerut, perasaan tidak enak merayapi dadanya. Dengan ragu, ia membuka pesan itu dan menekan tombol putar.
Begitu video mulai berjalan, darahnya seakan berhenti mengalir.
Itu rekaman kejadian di restoran tadi.
Saat di mana Sangga memergokinya. Saat di mana ia dipermalukan di depan banyak orang.
Shinta merasakan perutnya mual. Matanya melebar saat menyadari bahwa seseorang dari kampusnya ternyata ada di sana dan merekam semuanya!
Jari-jarinya mencengkeram ponsel erat. Wajahnya memanas, bukan karena malu, tapi karena kemarahan yang begitu kentara.
“Sialan!” pekiknya, nyaris ingin membanting ponselnya lagi.
Semua usahanya selama ini, kerja kerasnya untuk menjadi primadona kampus—semuanya sia-sia! Sekarang, ia akan dicap sebagai perempuan murahan. Semua orang akan menertawakannya, menghakiminya, menghancurkan reputasinya yang ia bangun dengan susah payah.
Namun, di tengah kepanikan itu, ada sesuatu yang menarik perhatiannya.
Jemarinya buru-buru men-zoom video itu, memperjelas salah satu bagian yang tampak samar. Di meja dekat tempatnya duduk tadi, ada seseorang yang tampak begitu familiar.
Seseorang yang ia kenal dengan sangat baik.
Shinta menahan napas. Matanya membulat saat akhirnya melihat wajah itu lebih jelas.
“Araya?!”
***
Araya menatap puas laporan yang diterimanya. Semuanya berjalan dengan lancar sesuai yang ia perkirakan, Shinta dan ibunya tak hanya ia berikan balasan sepadan, tapi juga sanksi sosial yang membuat mereka bahkan malu untuk menampakkan wajah di khalayak ramai.
Tinggal menunggu kemarahan gadis itu menyadari Araya adalah dalang semuanya. Keduanya pasti akan datang menemui Araya sesegera mungkin.
“Maaf ya Shinta, habisnya kalian duluan, sih.” Gumam Araya. Ia tahu kelakuannya cukup jahat, tapi merekalah yang membuatnya bertindak seperti sekarang ini.
Pandangan Araya yang tadinya fokus ke ponselnya kini beralih ke depan. Sore ini, ia menemani putranya yang tengah berlatih memanah di taman belakang mansion mereka yang luas. Ia duduk di gazebo taman, mengamati setiap gerakan Ghariel yang begitu fokus membidik sasaran.
Baru hari ini Araya mengetahui bahwa Gevan mulai memberikan beberapa kelas tambahan untuk putra mereka. Ghariel juga bercerita bahwa sebelumnya sang ayah beberapa kali mengajaknya memanah, sehingga ia sudah memahami dasar-dasarnya.
Saat langit mulai gelap, Araya memanggil Ghariel yang juga telah menyelesaikan latihannya. Pelatihnya undur pamit diri, sementara Ghariel segera menghampiri sang Mama dengan busur yang masih di tangannya.
“Keren banget anak Mama,” puji Araya dengan tulus. Baginya, memanah memang olahraga yang keren.
Ghariel tersenyum senang mendengar pujian dari sang ibu.
“Ayo, Mama temani bersih-bersih,” ajak Araya sambil menggandeng tangan putranya memasuki mansion.
Setibanya di kamar, Ghariel langsung berlari ke kamar mandi untuk mandi, sementara Araya menyiapkan pakaian bersih untuknya. Araya sebelumnya sempat beberapa kali menawarkan untuk memandikan putranya itu, toh Ghariel masih berusia tujuh tahun. Namun, anak itu selalu menolak dengan alasan malu.
Setelah putranya selesai mandi dan sudah rapi, mereka menuju ruang makan untuk makan malam.
Namun, hingga makanan terhidang di meja, Gevan tak kunjung menampakkan diri. Padahal, Araya tahu laki-laki itu sudah pulang sejak sore tadi, tetapi ia belum melihatnya lagi setelah itu.
“Papa kamu ke mana, ya?” gumam Araya sambil melirik putranya.
“Kalau nggak salah, Papa tadi ke ruang bawah tanah, Ma,” jawab Ghariel santai, mengingat bahwa ia sempat melihat sang Papa sebelumnya.
Mendengar itu, Araya terdiam. Sudah cukup lama ia penasaran dengan ruang bawah tanah di mansion ini. Gevan beberapa kali menyebutnya, tetapi ia sendiri belum pernah melihatnya secara langsung.
Setelah memastikan Ghariel kembali ke kamarnya, Araya akhirnya melangkah menuju pintu yang ia ketahui mengarah ke ruang bawah tanah. Tidak ada penjagaan di sana, berbeda dengan bagian luar mansion yang selalu diawasi ketat oleh anak buah Gevan.
Dengan hati-hati, ia membuka pintu dan menuruni anak tangga. Udara di dalam lorong terasa lebih dingin, dengan pencahayaan temaram yang menciptakan suasana misterius. Di sepanjang dinding lorong, berderet berbagai macam senjata, mengingatkannya pada ruang kerja Gevan yang juga memiliki koleksi serupa.
Araya menelan ludah, jantungnya berdegup lebih kencang. Lorong itu lurus, dengan sebuah pintu besar di ujungnya. Perlahan, ia meraih gagangnya dan membukanya pelan tanpa menimbulkan suara sedikit pun.
Dan saat itulah, Araya terpaku melihat apa yang terjadi di dalam sana.
...****************...
tbc.
like dulu sebelum lanjut!!!
semangat terus ya buat ceritanya Thor
ga smua laki2 bs kek dy
bner2 kasih istri tahta tertinggi di hatinya
anak aja nmr 2
cb di konoha
istri mah media produksi anak aje
semangat terus ya buat ceritanya Thor