Mengisahkan mengenai Debby Arina Suteja yang jatuh cinta pada pria yang sudah beristri, Hendro Ryu Handoyo karena Hendro tak pernah jujur pada Debby mengenai statusnya yang sudah punya istri dan anak. Debby terpukul sekali dengan kenyataan bahwa Hendro sudah menikah dan saat itulah ia bertemu dengan Agus Setiaji seorang brondong tampan yang menawan hati. Kepada siapakah hati Debby akan berlabuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kondisi Makin Lemah
Hendro terus berteriak dan membuat keonaran di lorong apartemen. Debby merasa malu dan berusaha masuk ke dalam unitnya, namun Hendro dengan cepat meraih tangannya, mencengkeramnya erat hingga Debby meringis kesakitan.
"Kamu tidak akan bisa lari dariku, Debby! Ini belum selesai!" ancam Hendro dengan mata berkilat marah.
Debby mencoba melepaskan cengkeraman Hendro, namun tenaganya tidak sekuat pria itu. "Lepaskan aku, Hendro! Kamu sudah gila!" seru Debby berusaha mendorong tubuh Hendro, namun usahanya sia-sia.
Keributan itu membuat Agus yang baru saja beristirahat di apartemennya kembali keluar. Ia terkejut melihat Hendro mencengkeram tangan Debby dengan paksa. Tanpa ragu, Agus segera menghampiri mereka.
"Hei! Lepaskan Mbak Debby!" tegur Agus tegas, mencoba menarik tangan Hendro dari lengan Debby.
Melihat Agus muncul lagi, kemarahan Hendro semakin memuncak. "Kau lagi?! Jangan ikut campur urusanku!" bentak Hendro, lalu melepaskan tangan Debby dan berbalik hendak menyerang Agus.
Namun, sebelum Hendro sempat menyentuh Agus, seorang satpam apartemen yang mendengar keributan itu datang dengan cepat. Dengan sigap, satpam berbadan tegap itu langsung menahan Hendro dari belakang.
"Maaf, Tuan. Anda membuat keributan. Mari ikut saya," ujar satpam itu dengan nada tegas sambil menarik Hendro menjauh dari Debby dan Agus.
Hendro meronta-ronta dan terus berteriak, "Lepaskan aku! Dia merebut Debby dariku!"
Debby merasa lega melihat Hendro akhirnya ditahan. Ia mengusap lengannya yang terasa perih akibat cengkeraman Hendro. Agus berdiri di samping Debby, memastikan wanita itu baik-baik saja.
"Anda tidak apa-apa, Mbak Debby?" tanya Agus khawatir.
Debby mengangguk lemah. "Terima kasih, Agus. Kamu menyelamatkanku lagi."
Satpam itu terus menyeret Hendro yang masih berteriak-teriak menuju luar apartemen. Beberapa penghuni lain yang menyaksikan kejadian itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
"Orang itu benar-benar sudah gila," gumam salah seorang tetangga.
Setelah Hendro dibawa pergi, suasana di lorong apartemen kembali tenang. Debby merasa sedikit lega, namun juga khawatir dengan apa yang akan dilakukan Hendro selanjutnya. Obsesi pria itu tampaknya semakin berbahaya.
Agus menatap Debby dengan prihatin. "Sebaiknya Anda lebih berhati-hati, Mbak Debby. Orang seperti dia bisa melakukan apa saja."
Debby mengangguk setuju. "Aku tahu, Agus. Terima kasih sudah melindungiku lagi."
Untuk sementara waktu, Debby merasa aman dengan kehadiran Agus di dekatnya. Namun, bayangan teror Hendro masih menghantuinya. Ia berharap pihak kepolisian segera bertindak untuk menghentikan kegilaan mantan kekasihnya itu sebelum ada korban lain.
****
Di rumah kontrakan yang sederhana, Naura berusaha menata kembali kehidupannya. Ia bertekad untuk bangkit dan mandiri demi dirinya, orang tuanya, dan Marcella. Langkah pertama yang ia lakukan adalah mencari pekerjaan. Dengan ijazah SMA dan pengalaman kerja seadanya sebelum menikah, Naura berharap bisa segera mendapatkan penghasilan.
Setiap pagi, setelah memastikan Marcella aman bersama Haryati, Naura keluar mencari lowongan pekerjaan. Ia mendatangi satu per satu toko, warung makan, dan perkantoran kecil di sekitar tempat tinggal mereka. Namun, kenyataan tidak seindah harapannya. Banyak tempat yang tidak menerima karyawan baru, atau kalaupun ada, upahnya sangat kecil dan tidak mencukupi kebutuhan mereka.
Siang itu, dengan langkah gontai dan hati sedikit kecewa, Naura berjalan kembali ke rumah kontrakan. Tiba-tiba, dari arah berlawanan, muncul Fathia. Sepupunya itu tampak terkejut melihat Naura berada di kota ini. Namun, keterkejutan Fathia dengan cepat berubah menjadi seringai kemenangan.
"Naura? Sedang apa kamu di sini? Bukankah seharusnya kamu masih meratapi nasib di desa yang sudah kamu kotori itu?" sapa Fathia dengan nada mengejek, matanya memancarkan kepuasan.
Naura menghela napas, berusaha tidak terpancing emosi. "Ini bukan urusanmu, Fathia."
"Oh, tentu saja urusanku! Aku sudah berhasil membuatmu terusir dari sana. Sekarang kamu mengungsi ke sini? Kasihan sekali," lanjut Fathia sambil tertawa sinis. Ia merasa dirinya telah menang telak atas Naura.
"Apa maumu, Fathia?" tanya Naura dengan suara tertahan. Ia tidak ingin berdebat dengan sepupunya yang penuh kebencian itu.
"Aku hanya ingin melihat betapa menyedihkannya hidupmu sekarang. Dulu sok alim, sok suci, padahal..." Fathia sengaja menggantungkan kalimatnya, menatap Naura dengan tatapan merendahkan.
"Kamu tidak tahu apa-apa tentang hidupku," balas Naura mencoba menjauh, namun Fathia menghalanginya.
"Tentu saja aku tahu! Kamu itu wanita tidak benar! Pantas saja semua kesialan menimpamu dan keluargamu! Aku sudah bilang dari dulu, jangan sok suci!" Fathia berteriak, menarik perhatian beberapa orang yang melintas.
Naura merasa malu dan marah. Ia tidak mengerti mengapa Fathia begitu membencinya. "Apa salahku padamu, Fathia? Kenapa kamu begitu jahat padaku?"
Fathia tertawa lebih keras. "Salahmu? Salahmu adalah... kamu selalu lebih baik dariku! Kamu selalu dipuji, selalu dianggap suci! Aku muak melihatnya! Sekarang, lihatlah dirimu! Terusir, miskin, dan menyedihkan!"
Air mata Naura hampir tumpah. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat, berusaha menahan emosinya. Ia tidak ingin meladeni Fathia.
"Aku tidak akan membuang waktuku untuk berdebat denganmu," ucap Naura akhirnya, lalu berusaha melewati Fathia.
Namun, Fathia kembali menghalanginya. "Ingat ini, Naura. Aku tidak akan pernah membiarkanmu bahagia. Kamu akan terus menderita!" ancam Fathia dengan tatapan penuh dendam sebelum akhirnya pergi dengan tawa kemenangan yang menusuk hati Naura.
Naura hanya bisa terdiam, hatinya kembali terluka. Ia tidak menyangka kebencian Fathia begitu mendalam. Namun, ia bertekad untuk tidak menyerah. Ia akan membuktikan bahwa ia bisa bangkit dan bahagia, meskipun Fathia terus berusaha menjatuhkannya. Ia harus kuat demi keluarganya.
****
Kabar dari rumah sakit semakin memilukan. Dokter menyampaikan kepada Reksa bahwa kondisi Nirmala terus menurun. Jantungnya melemah, dan semangat hidupnya seolah ikut meredup seiring dengan kepedihan yang ia rasakan akibat ulah Hendro. Reksa berusaha tegar, namun hatinya hancur melihat istrinya semakin tak berdaya.
Setiap kali Reksa mencoba membujuk Hendro untuk menjenguk ibunya dengan tulus, hasilnya selalu nihil. Hendro tetap dingin dan acuh tak acuh. Baginya, yang terpenting saat ini hanyalah bagaimana caranya mendapatkan kembali Debby. Obsesi itu telah membutakannya dari rasa sayang dan hormat kepada ibunya sendiri.
"Hendro, Ibu semakin lemah. Bisakah kamu menjenguknya? Sekadar menemaninya sebentar saja," pinta Reksa dengan nada memohon saat Hendro datang ke rumah sakit bukan untuk menjenguk Nirmala, melainkan untuk menanyakan informasi tentang Debby kepada resepsionis.
Hendro menghentikan langkahnya, menoleh sekilas pada ayahnya dengan tatapan datar. "Aku sibuk, Ayah. Debby lebih penting."
Jawaban Hendro bagai tamparan keras bagi Reksa. Ia tidak menyangka putranya bisa menjadi sebegitu egois dan tidak berperasaan. "Debby lebih penting daripada ibumu sendiri yang sedang sakit parah?" tanya Reksa dengan nada kecewa.
"Ya," jawab Hendro singkat, lalu melanjutkan langkahnya tanpa menghiraukan tatapan terluka ayahnya.
Reksa hanya bisa menghela napas berat. Ia merasa percuma berbicara dengan Hendro. Pikiran putranya sudah sepenuhnya tertutup oleh obsesi yang tidak sehat. Setiap kali Reksa menceritakan kondisi Nirmala yang semakin memburuk, Hendro selalu menanggapinya dengan acuh tak acuh.
"Itu urusan Ibu," katanya singkat, seolah tidak ada ikatan emosional sama sekali antara dirinya dan ibunya.
Nirmala sendiri semakin merindukan kehadiran Hendro, meskipun ia tahu putranya telah berubah. Ia berharap, meskipun sedikit, masih ada sisa kebaikan di hati Hendro. Namun, kenyataannya justru semakin menyakitkan. Setiap kali mereka berdebat melalui telepon, Nirmala selalu berakhir dengan kondisi fisik yang menurun drastis hingga kembali pingsan.
Reksa semakin khawatir dengan kondisi Nirmala. Dokter sudah memperingatkannya bahwa tekanan emosi bisa memperburuk keadaan istrinya. Namun, ia tidak tahu bagaimana cara menghentikan Hendro dari menyakiti ibunya.