Kevin cuma anak SMA biasa nggak hits, nggak viral, hidup ya gitu-gitu aja. Sampai satu fakta random bikin dia kaget setengah mati. Cindy cewek sejuta fans yang dielu-elukan satu sekolah... ternyata tetangga sebelah kamarnya. Lah, seriusan?
Cindy, cewek berkulit cerah, bermata karamel, berparas cantik dengan senyum semanis buah mangga, bukan heran sekali liat bisa bikin kebawa mimpi!
Dan Kevin, cowo sederhana, dengan muka pas-pasan yang justru dipandang oleh sang malaikat?!
Gimana kisah duo bucin yang dipenuhi momen manis dan asem ini selanjutnya!? daripada penasaran, mending langsung gaskan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Proposal, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kunjungan Teman
Sejak operasi pembersihan besar-besaran itu, sekat antara Kevin dan Cindy sedikit terkikis. Meski begitu, jarak mereka tidak menjadi terlalu dekat.
Di sekolah, mereka tetap seperti orang asing. Bahkan sepulang sekolah, mereka hanya bertukar beberapa kata singkat sambil makan malam bersama.
Beberapa hari terakhir, Cindy terus mengingatkan Kevin untuk menjaga kebersihan apartemennya. Meski caranya kasar, Kevin paham bahwa sebenarnya Cindy sangat perhatian.
Berkat reminder tepat waktu dan tips bersih-bersih dari Cindy, apartemen Kevin tetap rapi.
"Wah, keliatannya jauh lebih baik sekarang," komentar Revan begitu menginjakkan kaki di apartemen Kevin di akhir pekan itu. Matanya berbinar takjub melihat transformasi ruangan yang dulu semrawut.
"Aku nggak nyangka bakal serapi ini. Terakhir kali aku bantu bersihin, belum dua hari langsung berantakan lagi."
"Diem lu."
"Aku nggak mau nyeramahin sih, tapi coba inget-inget udah berapa lama sejak terakhir kali kamu naruh barang sembarangan."
"Jangan khawatir, ini rekor baru. Dua minggu berturut-turut."
"Kamu nggak malu ya rekor bersih-bersihmu cuma dua minggu?"
Revan menggeleng-geleng sambil terus mengomel. Kevin cemberut tapi tidak bisa membantah perkataan temannya yang masuk akal itu.
Faktanya, sebelum dibantu Cindy, Kevin sering merepotkan Revan untuk bersih-bersih. Makanya dia tidak bisa marah sekarang.
"Grr..." Kevin memilih diam.
Revan langsung berseri-seri. "Tapi karena tempatmu sekarang bersih, aku jadi pengen ajak Melia main ke sini."
"Jangan. Ngapain juga aku mau liat kalian mesra-mesra di apartemenku?"
"Jangan sok alim deh."
"Jangan jadikan rumahku tempat kencan kalian."
Kevin bergidik membayangkan wajah memelas yang harus dia tahan setiap kali melihat pasangan kekasih itu beraksi. Setelah melihat tingkah mereka setiap hari di sekolah, dia sama sekali tidak tertarik menyaksikan lagi di rumahnya sendiri.
Dia hanya berharap mereka melakukan itu di tempat lain.
"Yaudah, cukup bercandanya. Yang penting sekarang apartemenmu nggak bakal kembali berantakan kan?"
"Aku udah berubah."
"Ya terserah lah. Yang penting biasakan taruh barang di tempatnya setelah dipakai."
"Kamu ibuku apa gimana?"
"Serius Kevin, kamu harus mulai rajin bersih-bersih, tahu?"
Suara Revan yang dibuat-buat itu membuat Kevin merinding. Persis seperti ibunya!
Padahal Revan belum pernah bertemu ibu Kevin, tapi kok bisa mirip banget nada ngomelnya.
Belum lagi rasanya jijik mendengar suara cowok dibuat-buat kayak perempuan. Kevin hampir saja menampar mulut Revan.
Dia menjulurkan lidah dengan ekspresi jijik, membuat Revan tertawa terbahak-bahak.
"Jadi ibumu suka begini ya Kevin? Ibuku sih nggak ikut campur."
"Aku malah iri sama kamu. Ibuku tipe yang bawel banget."
"Itu kan karena dia sayang sama anaknya."
"Sayang yang bikin sesak napas."
"Bukan, kamu aja yang keterlaluan joroknya sampai ibumu nggak tega ninggalin kamu sendiri."
"Diem lah. Dia emang terlalu khawatir sama anaknya."
Sebagai anak tunggal, Kevin mendapat perhatian berlebih dari ibunya. Meski tidak dimanja, ibunya selalu ikut campur dan khawatir berlebihan. Kevin tidak membencinya, tapi menghadapinya memang melelahkan.
Waktu memutuskan tinggal sendiri dekat sekolah, ibunya sering mampir untuk mengecek keadaannya. Sungguh menyebalkan.
"Ya, setidaknya itu artinya kamu penting buat dia."
"Cintanya terlalu berat."
"Pasrah aja. Nanti kamu juga bakal ngerti betapa berharganya itu."
"Kamu yang dulu anak bandel sekarang jadi bijak banget ya."
"Hahaha. Nggak ada hubungannya kalau urusannya sama Melia."
Revan sendiri sebenarnya punya masalah dengan ayahnya karena hubungannya dengan Melia. Jadi nasihatnya terdengar tidak meyakinkan, tapi cukup masuk akal untuk didengar.
Kevin menghela napas panjang. Revan memang punya masalah sendiri, tapi tetap terlihat optimis. Pernah dia bilang akan menabrak siapa pun yang menghalanginya dengan Melia.
Pokoknya, aku akan urus ayahku sendiri. Kamu jalani saja hidupmu baik-baik, Kevin," kata Revan sambil tersenyum lebar.
"Aku tahu itu tanpa kamu ngomong," balas Kevin kesal. Tiba-tiba dia sadar kalau perkataan Revan persis seperti ucapan seseorang. Senyum kecut muncul di wajahnya.
Sebenarnya Revan datang bukan untuk mengkritik kebiasaan Kevin, tapi main game. Topik bersih-bersih pun berakhir, dan mereka segera memulai permainan.
Mereka seharusnya belajar untuk ujian minggu depan, tapi tanpa sadar malah asyik bermain video game.
"Hey, jangan sembarangan pake item healing. Nanti kita kehabisan."
"Yaudah cari sendiri."
"Bukan gitu, levelmu belum cukup. Nanti bakal susah."
Ketika Kevin sedang memikirkan cara membalas ulah Revan yang suka cari sensasi itu, bel pintu tiba-tiba berbunyi.
"Hm? Ada tamu?"
Revan menjeda permainan dan menatap Kevin penasaran.
Dia tahu Kevin jarang memberi tahu alamatnya pada orang lain. Hampir tidak ada teman yang berkunjung. Kalaupun ada, pasti akan dihentikan di gerbang apartemen dulu.
"Aku nggak tahu. Mungkin tetangga. Bisa jadi ada pengumuman penting." ujar Kevin
"Oh gitu."
"Aku cek sebentar." ujar Kevin
Kevin menahan ekspresi wajahnya agar tidak berkedut saat berusaha melakukan serangan kilat ke Revan sebelum bergegas ke pintu.
Untungnya si tamu tidak menekan bel lagi.
Dia membuka pintu sedikit, berjaga-jaga kalau-kalau Revan mengintip, lalu menyelinap keluar dan menutup pintu.
Seperti dugaan, Cindy berdiri di luar. Matanya berkedip melihat tingkah Kevin yang tidak biasa. "Sst," Kevin memberi isyarat dengan jari telunjuk di bibir.
"Jangan berisik. Ada Revan di dalam."
"Revan?" ujar Cindy
"Temanku. Dia lagi main game."
"Oh, aku ngerti." ujar Cindy
Cindy langsung paham kenapa Kevin bersikap diam-diam. Dia mengangguk lalu menyerahkan wadah Tupperware seperti biasa.
Sepertinya dia sudah menyiapkannya sejak pagi. Isinya Mie kuah makanan sempurna untuk musim dingin yang semakin dekat.
Kevin menerimanya dengan senang hati, lalu menghela napas sambil menatap Cindy yang tampak seperti sudah tahu reaksinya.
"Em, aku selalu bersyukur atas semua ini, tapi aku nggak pernah bisa bilang terima kasih dengan benar. Maaf."
"Aku nggak melakukan ini untuk dapetin ucapan terima kasih. Tapi lumayanlah, apartemenmu sekarang cukup layak buat menerima tamu."
"Aku harus sujud hormat gitu?" ujar Kevin
"Jangan. Tolong jangan lakukan itu."
Cindy terlihat kaget. "Berhenti bikin aku keliatan kayak gadis jahat."
Kevin tersenyum kecut. Dia benar-benar berhutang budi pada Cindy. Bahkan sujud hormat mungkin belum cukup membalas semua kebaikannya.
Makanan yang dibawa Cindy selalu dalam porsi besar. Kevin sering merasa bersalah terus-terusan menerima. Dia berniat membicarakan soal biaya makan suatu saat nanti.
"Karena ada temanmu, aku nggak akan lama. Permisi."
"Makasih buat semuanya. Aku nggak akan cerita tentang kamu ke Revan." ujar Kevin
"Silakan saja."
"Yah, bahkan kalau aku cerita, dia nggak bakal percaya."
"Sepertinya." ujar Cindy
Kevin bingung melihat Cindy menyetujui begitu saja. Tapi dari sudut pandang Revan, pasti terdengar seperti omong kosong kalau Kevin bilang Cindy yang selama ini masak untuknya.
Lagi pula, Cindy adalah "malaikat" yang tidak terjangkau oleh orang biasa.
Kalau Kevin tampan dan berbakat mungkin masih masuk akal. Tapi untuk seorang pemalas tidak berguna seperti dia? Mustahil.
"Boleh tanya sesuatu?"
"Apa?" ujar Cindy
"Kamu masak untukku setiap hari... ada maksud tertentu?"
Menyiapkan makanan butuh biaya dan usaha. Kevin tahu makanan gratis seperti ini tidak biasa. Dia sendiri tidak akan melakukannya kalau posisinya terbalik. Meski peluang Cindy menyukainya mungkin satu banding sejuta, rasa penasarannya tak tertahankan.
Cindy mengangkat kepala sebentar, berpikir. "Cuma buat kepuasan pribadi," jawabnya datar.
"Nggak susah kok. Masak dua porsi lebih mudah daripada satu porsi. Aku juga lebih suka masak untuk orang lain."
"Jadi kamu emang suka masak aja?" ujar Kevin
"Mungkin itu salah satu alasannya. Aku juga lega kamu nggak punya pikiran aneh-aneh, terus terang aja ngomong apa yang dipikirin. Setiap kali liat makananmu, aku khawatir. Jadi ini buat kepuasan diri sendiri."
"Gitu ya?"
"Tentu. Kamu nggak perlu khawatir. Anggap aja rejeki nomplok." ujar Cindy
"Ya udah deh."
Cindy jelas tidak berniat menjelaskan lebih lanjut. Dengan membungkuk sopan, dia kembali ke apartemennya.
"Beneran cuma itu alasannya?"
Kevin bergumam ragu sambil kembali ke dalam. Rasanya alasan Cindy kurang cukup untuk membenarkan semua makan malam gratis ini.
"Siapa tadi?" tanya Revan.
"Cuma tetangga ngasih makanan. Aku taruh di kulkas dulu. Jangan lanjutin game tanpa aku."
"Ah maaf, aku udah ngebunuh bosnya."
"Kurang ajar!"