Diusianya yang tak lagi muda, Sabrina terpaksa mengakhiri biduk rumah tangganya yang sudah terajut 20 tahun lebih lamanya.
Rangga tega bermain api, semenjak 1 tahun pernikahnya dengan Sabrina. Dari perselingkuhan itu, Rangga telah memiliki seorang putri cantik. Bahkan, kelahirannya hanya selisih 1 hari saja, dari kelahiran sang putra-Haikal.
"Tega sekali kamu Mas!" Sabrina meremat kuat kertas USG yang dia temukan dalam laci meja kerja suaminya.
Merasa lelah, Sabrina akhirnya memilih mundur.
Hingga takdir membawa Sabrina bertemu sosok Rayhan Pambudi, pria matang berusia 48 tahun.
"Aku hanya ingin melihat Papah bahagia, Haikal! Maafkan aku." Irene Pambudi.
..........................
"Tidak ada gairah lagi bagi Mamah, untuk menjalin sebuah hubungan!" Sabrina mengusap tangan putranya.
Apa yang akan terjadi dalam kehidupan Sabrina selanjutnya? Akankah dia mengalah, atau takdir memilihkan jalannya sendiri?
follow ig @Septi.Sari21
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 13
Haikal semakin menambah kecepatan laju motornya. Dalam keadaan malam seperti ini, jalanan terlihat sepi, apalagi habis terguyur hujan. Haikal semakin mengencangkan gasnya.
Hatinya hancur mendapati kebenaran menyakitkan seperti saat ini. Keluarga yang dianggapnya sehat, rupanya menyimpan racun yang sangat mematikan. Mata nyalangnya memanas, saat teringat sorot mata sang Ibu yang mencoba bersikap baik-baik saja.
'Papah harus menerima rasa sakit itu! Kenapa baru sekarang? Dan kenapa semua itu terjadi pada keluargaku? Siapa wanita itu? Siapa yang sudah berani menghancurkan harapan Mamah?!'
Hati Haikal terus saja bergumam, bahkan jeritan, dan hanya mampu tercekat dalam tenggorokan saja. Angin berhembus lirih, membawa kesan sendu, seakan tahu jika pemuda tampan itu sedang patah hati.
Sementara dilain tempat, tepatnya dirumah pribadi Rangga,
Pria itu, kini baru saja merebahkan punggungnya pada sandaran sofa. Deru nafasnya berangsur membaik, namum tidak dengan hatinya.
"Mbak Nur, apa Ibu belum pulang? Lalu, Haikal juga kemana?" Rangga menoleh kearah dapur, saat melihat pelayannya itu menata barang dikulkas.
"Maaf Pak, tapi Bu Sabrina belum pulang dari tadi! Dan Mas Haikal ... Dia tadi sudah pulang dari futsal, tapi pergi lagi. Saya kira Mas Haikal lagi nyusul Bapak sama Ibu, soalnya tadi sempat tanya sama saya!" jawab Nur segan.
Rangga spontan menarik tubuhnya. Dia lalu bangkit, berjalan menuju ruang tamu. Wajahnya sungguh cemas, takut jika Haikal tau, semua yang Sabrina tau.
Disaat ia akan merogoh saku celana untuk mengambil gawainya, tetiba dari arah depan, terdengar suara motor kawasaki Haikal, yang baru saja memasuki garansi rumah.
Rangga keluar, berniat menyambut kehadiran putranya.
Brak!
Haikal membanting helm miliknya, tepat didepan posisi sang Ayah. Rangga sudah tak enak hati menatapnya. Ia mencoba bersikap tenang, seraya mendekat beberapa langkah.
"Ada apa, Haikal? Kenapa kamu marah seperti ini?! Habis berantem dengan siapa, ha?" Rangga masih menatap bingung putranya.
Dada Haikal bergemuruh hebat. Jika saja pria dihadapanya itu bukan Ayah kandungnya, niscaya wajah Rangga sudah babak belur akibat bogeman tangan Haikal.
Tatapanya nyalang, merasa muak melihat wajah polos sang Ayah.
"Katakan, Papah SELINGKUH dengan siapa?" Sentak Haikal selangkah lebih dekat.
Deg!
Wajah Rangga mendadak pucat pasi tak berdarah. Dia mendekat, sembari ingin mengusap lengan putranya, namun langsung ditepis oleh Haikal.
"Papah tidak pernah selingkuh, Haikal! Siapa yang bilang sama kamu?!" sentak kembali Rangga.
"Papah kira aku nggak tahu, semua kebusukan yang Papah sembunyikan selama ini? Papah kira Mamah juga bodoh, ha?! Papah sudah menghianati Mamah selama 20 tahun, bahkan Papah diam-diam sudah memiliki anak dari wanita lain!" Haikal menggeram, seraya mendorong tubuh Papahnya kebelakang.
Rangga menjaga keseimbangan tubuhnya. Dia tercengang, mengapa putranya tahu masalah ini. Atau ... Mungkin Sabrina telah menceritakan semua itu.
"Haikal, Mamahmu sudah salah paham sama Papah! Papah, Papah nggak pernah-"
"Terus saja, Pah! Terus saja mengelak! Papah sukses ... membuat rasa percaya Haikal sama Papah hancur dalam sekejab! Haikal kecewa sama Papah!" kecam Haikal. Dia langsung melenggang masuk kedalam begitu saja.
Sementara Rangga. Dia meraup frustasi wajahnya. Tanganya menopang satu dipinggang, mencoba mengatur semua masalah yang barusan terjadi.
Begitu Rangga akan berbalik masuk, baru sampai diambang pintu, dia sudah melihat putranya berjalan keluar dengan ransel yang berada di gendongannya.
"Haikal ... Kamu mau kemana? Dengarkan Papah dulu, Haikal!" pekikan itu, tak ada rasanya dalam telinga Haikal. Rangga hanya dapat meluapkan teriakannya, walaupun terbawa angin lalu saja.
Haikal kembali melajukan motornya, dan perlahan meninggalkan kediamannya.
Disaat yang bersamaan, mobil civic milik Revan baru saja tiba didepan gerbang sang Kakak. Dia urungkan niatnya untuk turun, disaat melihat Haikal sudah pergi kembali dengan laju motor yang sangat kencang.
Drtt.. Drtt..
Ponsel Sabrina bergetar. Ia saat ini tengah mondar mandir didalam ruang tamu, merasa cemas akan diri sang putra.
Mendapati panggilan itu dari Revan, Sabrina dengan cepat mengangkatnya.
📞 "Mbak, Haikal pergi lagi! Sepertinya dia baru saja selesai berdebat dengan Mas Rangga. Mbak tunggu saja, mungkin Haikal akan pulang kesana!" pungkas Revan sambi menyetir.
"Mbak cemas sekali, Revan! Haikal sebelumnya tidak pernah marah dengan siapa pun! Mbak takut jika dia berkendara dalam keadaan emosi berat seperti saat ini," suara Sabrina terdengar lirih, tidak mampu lagi menahan air matanya.
📞 "Ya sudah, Mbak tenang saja! Tunggu Haikal pulang, karena ini Revan juga dalam perjalanan pulang."
Panggilan terputus, Sabrina langsung menjatuhkan tubuhnya diatas sofa depan. Pikiran serta hatinya terasa tidak enak, takut terjadi sesuatu dengan putranya.
*
*
*
Motor Haikal berhenti disebuah rumah dua lantai.
Dint!
Pemuda tampan itu menghidupkan klakson motornya, dan seketika seorang Pemuda dari dalam langsung bergegas keluar membukakan gerbang.
Dia adalah Haris.
"Bentar! Silahkan masuk, Tuan Haikal terhormat!" Haris memasang wajah masam, memutar jengah bola matanya.
Haikal segera masuk kedalam, dan langsung melepas helmnya dengan keras.
Haris yang baru menutup pagarnya, kini tersentak, dan cepat-cepat mengikuti langkah Haikal duduk diteras.
Haikal duduk termenung, menatap kosong kedepan, tampak mengatur nafasnya.
Haris yang sudah duduk disebrang, tampak menyerongkan duduknya, menatap sang sahabat dengan dahi mengkerut. "Kal ... Lo ada masalah? Sumpah, Lo nggak biasanya kayak gini!"
Haikal masih terdiam, perlahan menunduk menyembunyikan air matanya. Hingga isakan kecil berhasil keluar dari bibirnya.
Kedua mata Haris tercekat begitu melihat tangisan sang sahabat. Pikiranya langsung tertuju pada kisah percintaan Haikal. Apa mungkin sahabatnya itu baru putus cinta? Karena tidak biasanya Haikal menangis, apalagi sampai terisak?!
"Kal, lo ada masalah apa? Ceritain sama gue! Apa ini ada hubungannya dengan Irene?" Haris menepuk pelan punggung sahabatnya, menatap dengan sorot mata iba.
Haikal menggelengkan kepala lemah. Dia mengangkat wajahnya perlahan, "Rumah tangga Mamah hancur, Ris!" lirihnya.
Haris tersentak. Dia semakin menggeser kursinya, untuk mendekat kearah tempat duduk Haikal. Tatapanya begitu intens, merasa tak percaya dengan pernyataan sang sahabat barusan.
"Hancur bagaimana, Kal? Jangan ngaco ah! Orang Papah dan Mamahmu selalu adem ayem begitu," sanggah Haris mencoba menepis ucapan Haikal.
"Papah sudah berselingkuh 20 tahun lamanya! Dan kebusukan itu baru Mamah tahu akhir-akhir ini. Dan yang lebih sakit, Papah diam-diam sudah memiliki anak, yang bahkan umurnya sama persis denganku. Kamu bisa bayangkan, bagaimana hancurnya menjadi Mamah!" suara Haikal terdengar miris, menatap lurus, seakan harapanya baru saja musnah.
Haris terdiam. Demi apa, dia juga tak kalah percaya. Padahal selama ini, keluarga Haikal selalu menjadi keluarga favoritnya, karena hubungan kedua orang tuanya selalu harmonis, meskipun termakan usia.
Tatapan Haris beralih pada ransel yang kini masih melekat dipunggung sahabatnya.
"Lo sudah menghubungi Tante Sabrina?"
Haikal menggeleng kembali. Tatapanya masih sayu, tak berselera apapun.
"Sekarang masuklah, tadi gue udah masak. Makan dulu! Nanti biar gue yang telfon Tante Sabrina!"
Haikal perlahan bangkit, lalu berjalan masuk kedalam. Sementara Haris, pemuda itu masih tampak shock. Dia terdiam beberapa menit, hingga memutuskan masuk kedalam rumah.
Tidak lupa dia mengabari Sabrina, agar parubaya itu tidak terlalu cemas memikirkan putranya.
...lanjut thor 💪🏼
di tunggu boncapnya thor lanjut.
lanjut thor💪🏼