Prolog:
Claretta Fredelina Beryl adalah seorang wanita dewasa yang belum juga menikah di usianya yang ke 28 tahun.
Dan karena itu Letta sering kali di teror dengan pertanyaan "kapan nikah?" Bahkan keluarga besarnya sampai mengatur sebuah perjodohan dan kencan buta untuknya, tapi dengan tegas Letta menolaknya namun tetap saja keluarganya menjodoh-jodohkannya.
Tanpa keluarga Letta ketahui, sebenarnya Letta mencintai seorang pria namun sayangnya pria itu bukanlah pria yang berstatus lajang. Yah, Letta mencintai seorang pria yang sudah menjadi seorang suami. Meskipun Letta mencintai pria itu Letta tidak pernah memiliki niat untuk menjadi orang ketiga dalam hubungan pria itu.
Lalu bagaimana jika tiba-tiba Letta berubah pikiran? Apa yang menyebabkan Letta berani menjadi orang ketiga di rumah tangga yang harmonis itu? Yuk simak ceritanya!
Selamat Membaca Guy's!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leo.Nuna_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 11 (Tiga Hari Menuju Kehancuran)
Happy Reading (。•̀ᴗ-)✧
⋇⋆✦⋆⋇
Keesokan paginya, Letta duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptop yang menampilkan sederet laporan perusahaan. Namun fokusnya tak benar-benar berada di sana. Matanya kosong, menerawang jauh melampaui angka-angka dan grafik yang terpampang.
Ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya. Etan masuk dengan wajah serius, membawa sebuah map cokelat di tangannya.
“Ini data yang Nona minta,” ucapnya sambil menyerahkan map tersebut.
Letta menyambutnya dengan anggukan singkat dan membuka map itu perlahan. Di dalamnya terdapat berkas berisi informasi lengkap tentang Zidan Ardiansyah—pekerjaan, riwayat keluarga, kondisi ekonomi, hingga detail tentang pernikahannya dengan Delina Felicia.
Lembar demi lembar dibacanya dengan teliti, hingga matanya berhenti pada bagian tentang Felicia. Ia mengernyit saat melihat data yang tertulis: riwayat pendidikan hanya sampai SMA, hanya ibu rumah tangga biasa, dan memiliki beberapa catatan kredit aktif yang tampak mencurigakan.
Letta terdiam cukup lama. Semakin dalam ia membaca, semakin jelas gambaran utuh yang selama ini belum ia pahami.
Perlahan, potongan-potongan sikap Zidan mulai menyatu dalam pikirannya—tatapan lelahnya, sikap tenangnya yang dipaksakan, dan beban tak kasatmata yang seolah selalu menekannya.
“Ternyata dia menyembunyikan banyak luka,” gumam Letta pelan.
Etan yang masih berdiri di dekat pintu, memiringkan kepalanya sedikit. “Maaf, Nona?”
Letta menutup map itu dan menarik napas. Senyum tipis muncul di bibirnya, tapi matanya tak mampu menyembunyikan kegelisahan.
“Tidak apa-apa. Terima kasih, Etan.”
Etan mengangguk dan hendak melangkah keluar, namun Letta kembali memanggilnya.
“Etan, satu hal lagi.” Suaranya lebih tenang, tapi mengandung makna dalam. “Tolong selidiki aktivitas Felicia belakangan ini. Aku ingin tahu lebih banyak… bukan untuk menghakimi, tapi mungkin, untuk membantu.”
Etan menatapnya sejenak, lalu menjawab, “Baik, Nona. Akan saya urus.”
Setelah Etan meninggalkan ruangan, Letta bersandar di kursinya. Hatinya tak tenang. Ada sesuatu yang menggeliat pelan dalam dadanya—bukan sekadar simpati, tapi kekhawatiran… dan mungkin, sebuah perasaan yang lebih dari itu.
Ia sadar, dirinya mulai melibatkan hati terlalu dalam dalam urusan Zidan. Dan ia juga tahu, semuanya bisa menjadi jauh lebih rumit dari yang ia perkirakan.
Namun anehnya, Letta tidak ingin mundur.
“Mencintai memang tidak harus memiliki…” bisiknya lirih, menatap jendela yang memantulkan bayangannya sendiri. “Tapi kalau aku bisa melindunginya dari kejauhan, walau tanpa digenggam… mungkin itu sudah cukup.”
Hari ini, Letta hanya dijadwalkan untuk mengunjungi kantor cabang. Ia memang sengaja tidak datang ke lokasi proyek pembangunan hotel, meski biasanya ia selalu meluangkan waktu untuk memantau langsung perkembangan di lapangan.
Keputusan Letta itu rupanya berdampak pada suasana hati Zidan. Ketidakhadiran wanita itu menciptakan kekosongan yang tak bisa dijelaskan, membuatnya merasa gelisah sejak pagi.
"Apa dia sengaja nggak datang karena kejadian kemarin?" batin Zidan, resah. Ia mencoba bekerja seperti biasa, tapi pikirannya terus melayang pada insiden kemarin—kemunculan Felicia secara tiba-tiba dan permintaannya yang memalukan di depan banyak orang, termasuk Letta.
Zidan mulai menghubungkan segala kemungkinan. Apakah Letta kecewa? Apakah ia merasa tak nyaman dengan kemunculan Felicia? Atau... apakah Letta sedang menjaga jarak?
Di tempat lain, Letta pun tak tenang. Meskipun tubuhnya berada di kantor cabang, pikirannya tertinggal di lokasi proyek. Ia memikirkan Zidan—keadaannya, beban yang ia pikul, dan bagaimana pria itu tetap bertahan dalam segala tekanan.
Tanpa keduanya sadari, hari itu mereka sama-sama dipenuhi kekhawatiran. Namun yang membedakan adalah alasan di balik kecemasan mereka.
Letta khawatir pada Zidan karena melihat betapa berat beban hidup yang harus ditanggung pria itu, terutama dengan kondisi ekonominya yang kian menipis. Sementara Zidan khawatir Letta merasa tidak nyaman karena kehadiran Felicia dan segala masalah pribadinya yang tak sengaja tersingkap.
Dua hati yang berbeda, namun sama-sama terpaut. Tak saling tahu, tapi saling peduli—dengan cara masing-masing.
Waktu terus berjalan hingga senja perlahan menelan langit. Hari ini, meski pikirannya terpecah antara urusan keluarga dan—entah kenapa—sosok Letta, Zidan berhasil menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Lelah tetap terasa, tapi ia bersyukur masih bisa bertahan.
Dengan langkah berat, Zidan pulang ke rumah kecilnya. Namun, baru saja mendekati gang menuju rumah, kerut di dahinya langsung dalam. Suara gaduh terdengar dari kejauhan, dan semakin dekat, ia melihat sekelompok orang berkumpul di depan rumahnya. Para tetangga tampak berbisik-bisik, sebagian menunjuk, sebagian lainnya menatap iba.
Perasaan cemas langsung mencengkeram dada Zidan. Ia tak menunggu lebih lama dan segera menerobos kerumunan. Sesampainya di depan, matanya langsung menangkap pemandangan yang membuat napasnya tercekat.
Ibu Zidan berdiri di dekat pintu rumah, tampak gemetar, sementara Aya, adik perempuannya, memeluk erat sang ibu dengan wajah penuh ketakutan.
Namun perhatian Zidan segera beralih ke sosok yang menjadi pusat keributan—Felicia.
Istrinya itu tampak sedang berseteru dengan seorang wanita asing yang berpakaian mencolok, dengan ditemani beberapa pria kekar berjas gelap. Mereka tak terlihat seperti keluarga atau tamu biasa—lebih menyerupai pengawal pribadi.
Suara wanita itu terdengar lantang, menusuk malam yang tenang.
“Kamu janji minggu lalu, Felicia. Tapi sampai sekarang, tidak ada uang sepeser pun masuk ke rekening saya!” Suaranya tegas, dingin, dan penuh ancaman.
Felicia tampak panik. Ia melirik kanan-kiri, lalu mencoba tersenyum kaku. “Aku... aku bisa jelasin. Minggu ini suamiku baru gajian, aku pasti bayar!”
Wanita itu mendengus pelan, lalu menatap tajam ke arah Felicia. “Kamu pikir saya ini siapa? Tempat kredit barang sembarangan? Saya kasih kamu waktu karena saya anggap kamu bisa dipercaya.”
Felicia menunduk, menggigit bibir. “Tolong beri aku waktu tiga hari saja…”
“Tiga hari?” Wanita itu melipat tangan di dada. “Kamu udah minta waktu tiga kali. Jangan bikin saya kirim anak buah saya ke tempat kerja suami kamu. Kamu tahu saya bisa.”
Zidan langsung melangkah cepat ke arah mereka. “Ada apa ini?” tanyanya lantang.
Felicia refleks berbalik, wajahnya pucat. “Mas, tolong aku, ” ucap Felicia langsung menghampiri Zidan, seakan-akan meminta perlindungan dari suaminya itu.
Menyadari ada yang tidak beres Zidan pun menoleh ke arah wanita asing itu. “Maaf, Ibu. Saya Zidan, suami Felicia. Apa yang sebenarnya terjadi?”
Wanita itu menatap Zidan dengan sorot menghitung. “Istri Anda sudah meminjam uang pada saya. Dan sudah lewat tenggat, belum dibayar juga. Saya sudah cukup sabar untuk itu.”
Zidan mengatupkan rahangnya, matanya beralih pada Felicia yang kini hanya bisa menunduk. “Berapa jumlahnya?”
Wanita itu menyebutkan nominalnya. Jumlah yang cukup untuk membuat Zidan menghela napas panjang dan menunduk lemas.
Felicia berbisik lirih, “Aku bisa jelasin, Mas…”
Zidan hanya menggeleng, wajahnya penuh kecewa. “Kamu bohong lagi, Fel... Berapa banyak lagi yang kamu sembunyikan dari aku?”
Wanita itu menatap mereka berdua. “Saya beri waktu tiga hari terakhir. Kalau tidak, kami akan bertindak. Ini bukan ancaman kosong.”
Setelah berkata demikian, wanita itu melangkah pergi, diikuti dua pria yang mengawalnya. Sementara Zidan dan Felicia masih berdiri diam di depan rumah, terbungkam oleh kenyataan yang baru saja meledak di hadapan mereka.
Zidan memandang istrinya, matanya berkaca. “Kamu pinjam uang ke rentenir, Fel… tanpa bilang apa-apa?”
Felicia tak sanggup membalas. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar tak punya alasan.
TBC...