Blurb:
Mia meyakini bahwa pernikahan mereka dilandasi karena cinta, bukan sekadar perjodohan. Christopher mencintainya, dan ia pun menyerahkan segalanya demi pria itu.
Namun setelah mereka menikah, sikap Chris telah berubah. Kata-katanya begitu menyakitkan, tangannya meninggalkan luka, dan hatinya... bukan lagi milik Mia.
Christopher membawa orang ketiga ke dalam pernikahan mereka.
Meski terasa hancur, Mia tetap terus bertahan di sisinya. Ia percaya cinta mereka masih bisa diselamatkan.
Tapi, sampai kapan ia harus memperjuangkan seseorang yang terus memilih untuk menghancurkanmu?
Note: Remake dari salah satu karya milik @thatstalkergurl
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Phida Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Christopher terdiam di tempat. Matanya membelalak seolah tak percaya atas keberanian Mia yang baru saja mempertanyakan kehadirannya bersama Lusy.
"Apa… kau berani menuduhku sekarang?" ucapnya perlahan, tapi nadanya tajam seperti cambuk.
Ia melangkah satu langkah lebih dekat membuat Mia secara refleks mundur selangkah. Tatapan matanya begitu dingin dan menyala oleh amarah.
"Mia, kamu pikir kau itu siapa?!" suaranya meninggi. "Aku sudah memintamu untuk bercerai sejak lama, tapi kau terus menempel padaku seperti parasit!"
Kata-kata itu menghantam Mia seperti badai. Tubuhnya membatu, tak mampu bergerak sedikitpun. Wajahnya memucat, bibirnya bergetar, dan sorot matanya perlahan kehilangan cahayanya.
'Jadi… aku memang tidak pernah berarti apa-apa untuknya…' Gumamnya dalam hati dengan rasa pedih.
Kakinya mulai goyah. Ia mencoba berdiri tegak, tetapi tubuhnya kembali lunglai. Air mata yang sejak tadi ditahan tidak kuasa lagi dibendungnya. Pandangannya mulai kabur, dan dunia seakan berputar tak karuan.
"Cukup, Chris!" suara Daniel tiba-tiba memecah ketegangan itu.
Ia berdiri dari kursinya, wajahnya memerah karena amarah. Tatapannya menatap Christopher dengan tajam.
"Jangan bicara seolah kau adalah suami yang hebat! Mia mengalami hidup seperti di neraka saat setelah menikah bersamamu! Dan sekarang kau malah mempermalukannya di depan umum?"
Daniel melangkah ke sisi Mia, tangannya hendak meraih gadis itu dengan penuh rasa empati.
"Kalau kau tak bisa menghargainya, biar aku yang akan melakukannya!"
Christopher mencibir dan matanya menyipit tajam.
"Oh?" hanya satu kata tetapi mengandung seribu makna.
Daniel sedikit menunduk, memperhatikan Mia yang nyaris tak sanggup untuk berdiri.
"Mia, apakah kau baik-baik saja?" tanyanya lembut.
Mia menggeleng pelan sambil menepis tangan Daniel dengan sopan. "Aku tidak apa-apa… hanya sedikit lelah."
Namun tubuhnya yang gemetar dan wajahnya yang pucat membuat Daniel semakin khawatir.
"Wajahmu sangat pucat. Biar aku antar pulang, ya?" tawarnya dengan penuh perhatian.
Sebelum Mia sempat menjawab, suara Christopher kembali terdengar, kali ini lebih rendah, tapi sarat akan ejekan.
"Kau memang hebat, Mia. Pandai sekali berpura-pura lemah dan polos."
Ia menyeringai. "Pantas saja kau dikenal sebagai pencuri simpati yang handal."
Daniel mengepalkan tangannya, ia berusaha menahan emosi.
"Chris, hentikan." ujarnya tajam. "Aku yang mengajaknya keluar hari ini. Jika aku menyukainya, lalu kenapa? Bukankah kalian sedang dalam proses perceraian? Mengapa kau masih peduli dengan siapa dia pergi?"
Christopher tertawa pelan.
"Daniel, kau sungguh orang yang tidak tahu malu. Dulu kau mengejarnya dengan sekuat tenaga. Tapi hasilnya apa? Nihil, kan? Mia lebih memilih menempel padaku seperti seekor anjing."
Suaranya meninggi penuh dengan penghinaan.
"Sampai-sampai aku muak dan tidak bisa menyingkirkan anjing sialan ini!"
Tamparan kata-kata itu menghantam keras hati Mia. Air matanya menetes jatuh tanpa suara.
Dengan suara gemetar menahan emosi, ia berteriak,
"Pergilah!"
Christopher menatapnya penuh rasa jijik, lalu mengalihkan pandangan ke arah Lusy.
"Terserah. Aku sudah cukup melihat pertunjukan menjijikkan kalian."
Ia berbalik tanpa menunggu respons dari mereka berdua, lalu berjalan keluar bersama Lusy yang sejak tadi menikmati kehancuran itu dari balik bahunya.
Keheningan menyelimuti dalam restoran itu. Daniel masih berdiri di sisi Mia, siap menangkapnya jika gadis itu jatuh sewaktu-waktu. Napas Mia memberat. Tubuhnya gemetar dengan hebat. Tapi kali ini bukan karena takut. Melainkan karena luka yang perlahan berubah menjadi amarah yang membara.
Mia berdiri mematung di depan kursinya. Jemarinya gemetar saat meraih mantel yang tersampir di sandaran kursi. Ia bahkan tidak sanggup untuk menatap Daniel yang masih berdiri di sampingnya.
"Aku tidak tahu..." bisik Daniel. "Aku benar-benar tidak tahu kalau dia bisa berkata sekejam itu. Seandainya saja aku datang lebih awal..."
Mia tidak menjawab. Ia hanya mengeratkan mantel ke tubuhnya, seolah sedang membungkus hatinya yang mulai retak lagi. Matanya basah, tetapi ia menolak membiarkan air matanya jatuh di hadapan siapa pun.
"Aku... aku harus pulang sekarang." Suaranya pelan dan datar. "Tolong... jangan hubungi aku lagi, Daniel."
Langkahnya terhenti saat Daniel dengan cepat berdiri dan menghalangi jalannya.
"Mia, kau jangan pergi sendirian. Setidaknya biarkan aku untuk mengantarmu pulang. Tolong... lupakan semua kata-kata Christopher tadi. Bagiku, kau tetap yang paling berharga."
Ucapan itu membuat Mia terdiam sejenak. Lalu, tiba-tiba, suaranya meninggi.
"Cukup!"
Suara teriakannya memantul di antara dinding restoran dan mengejutkan beberapa pengunjung lain. Daniel membeku. Mia menutup matanya sejenak, lalu menarik napas panjang untuk menahan amarah dan air mata yang hendak tumpah bersamaan.
Ia membuka matanya perlahan, lalu menatap Daniel dengan pandangan yang tak lagi goyah.
"Daniel... aku tahu kau pria yang baik. Kau selalu memperlakukanku dengan penuh hormat dan penuh kasih. Tapi... satu-satunya orang yang kucintai hanyalah Christopher."
Nadanya lembut, tapi begitu tajam. Seolah setiap katanya adalah pisau yang tertanam ke dalam hati Daniel.
"Hanya dia, dan selamanya hanya dia."
Daniel menunduk. Kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Ia tidak sanggup menatap Mia lagi, tidak sanggup menghadapi kenyataan bahwa meski luka Mia begitu dalam, cintanya tetap pada pria yang telah mencabik perasaannya.
Mia menunduk sejenak, lalu menarik senyuman pahit.
"Maafkan aku, Daniel."
Dengan langkah perlahan, ia melewati Daniel dan meninggalkan aroma lavender samar di udara yang kini terasa berat dan dingin.
Daniel berdiri di sana tidak bergerak sedikitpun. Matanya menatap kosong ke arah tempat Mia berdiri tadi. Suara pelayan yang kembali sibuk di kejauhan, denting gelas, dan tawa dari meja lain tidak mampu untuk mengusir kesunyian yang menusuk di dalam dadanya.
Di ruangan yang ramai, Daniel tetap sendiri. Bersama hati yang baru saja patah… sekali lagi.
***
Mia masuk dengan langkah terburu-buru, napasnya memburu dan wajahnya pucat serta matanya sembab.
"Nona, Anda sudah pulang?" suara Bibi Im terdengar panik dari ruang tamu. "Nona, Anda kenapa berlari seperti itu? Apa yang terjadi, Nona Mia?"
Namun Mia tak menjawabnya. Ia hanya melewati pelayan tua itu tanpa sepatah kata pun, ia langsung menuju kamarnya dan menutup pintu dengan suara dentuman keras yang menggetarkan seluruh rumah itu.
Di dalam kamar yang sunyi, Mia berdiri membeku sejenak. Lalu, dengan gerakan gemetar, ia melepas pakaiannya satu per satu dan melemparkannya ke tempat sampah seolah benda itu telah mengandung kutukan. Ia jatuh terduduk di atas ranjangnya, tubuhnya lunglai, kedua lengannya menutupi wajahnya.
"Aku seharusnya tidak ikut pergi bersama Daniel tadi..." bisiknya lirih.
Keheningan menyelimuti kamar itu, namun di dalam kepalanya, suara dan bayangan tadi di restoran terus berputar. Tatapan Christopher... dingin, kejam, dan jijik. Tatapan yang menusuk lebih dari seribu kata umpatan.
"Tatapan itu..." Mia menggigit bibir bawahnya dan suaranya tercekat. "Seolah-olah aku makhluk paling menjijikkan di dunia ini..."
Tiba-tiba, suara dering ponsel memecah keheningan kamar itu. Mia melirik layar dengan malas.
"Dokter Jaesuk?" gumamnya tidak percaya.
Ia ragu sejenak, ia tidak ingin menjawabnya. Namun dering itu kembali memanggil dan kali ini lebih lama.
Dengan enggan, Mia mengangkat telepon itu.
"Halo, Dokter?" suaranya lemah.
"Mia, kamu tidak datang ke rumah sakit hari ini. Aku sangat khawatir dengan kondisimu," suara pria di seberang terdengar cemas.
Mia menarik napas dalam-dalam sebelum menjawabnya, "Maaf, Dokter. Untuk sementara waktu... aku tidak ingin pergi ke rumah sakit dulu. Aku tahu ini bukan keputusan yang bijak untuk kesehatanku, tapi... aku merasa tidak sanggup melanjutkan perawatannya untuk sekarang."
Ia menelan ludah dan berusaha menahan getaran di ujung suaranya.
"Aku harap Dokter bisa memahami keputusanku."
Tanpa menunggu tanggapan, Mia memutuskan sambungan telepon itu. Tangannya gemetar saat membuka daftar kontak. Hanya ada beberapa nama yang tertera disana. Tidak ada yang terasa dekat dengannya. Tidak ada satu pun.
"Sejak menikah..." suaranya bergetar, matanya memandangi layar kosong. "Aku tidak punya siapa pun lagi..."
Ia menatap ke langit-langit kamar yang luas namun terasa begitu sempit dan mencekik. Cahaya lampu yang temaram tidak mampu menghangatkan hatinya yang sekarang terasa membeku.
"Tidak ada yang tahu..." katanya pelan dan matanya mulai memerah. "Betapa banyak yang telah aku korbankan demi tetap berada di sisi Christopher..."
Tangisnya tertahan di tenggorokan.
"Kupikir... dengan menikah dengannya, itu sudah cukup bagiku. Aku tidak pernah meminta yang lebih. Aku bahkan tidak berani berharap dia akan mencintaiku..."
Air matanya jatuh membasahi pipinya.
Namun malam tetap diam. Tidak ada yang menjawab kesedihan itu dan tidak ada juga yang memeluknya. Ia merasa sendirian… di rumah yang dulunya disebutnya 'tempat pulang.'
Di tengah keheningan kamar, suara notifikasi ponsel tiba-tiba terdengar.
Ting!
Mia membuka matanya yang nyaris terpejam dan meraih ponsel dari sisi bantal. Ada sebuah pesan yang masuk. Nama pengirimnya terpampang jelas di layar: Daniel.
Ia menatap layar sejenak, jantungnya terasa mengencang. Lalu dengan hati-hati, ia membuka isi pesan itu.
> Kelinci kecil, apakah kau sudah sampai di rumah?
Mia terdiam. Belum sempat berpikir lebih jauh pesan berikutnya kembali menyusul.
> Mia, aku minta maaf. Aku benar-benar menyesal telah menyeretmu ke dalam masalah ini.
Aku seharusnya tidak mengatakan hal-hal seperti itu. Aku tahu bahwa kau hanya mencintainya… Tapi aku tidak sanggup untuk menahan perasaanku.
Lalu satu pesan lagi datang.
> Sejak pertama kali aku melihatmu di kelas musik, aku langsung jatuh cinta padamu.
Dan sejak itu… mataku tidak pernah lepas darimu.
Setiap kali kau menangis karena Christopher, aku selalu ingin membelamu seperti melawan dunia.
Sekarang, aku bisa bertemu denganmu lagi… dan itu membuatku merasa sangat beruntung.
Jari Mia gemetar. Ia membaca pesan itu berulang-ulang, seperti ia sedang mencari kepastian bahwa itu memang hanya tertuju padanya.
"Kenapa dia harus setulus ini padaku…?" bisiknya lirih.
Ia mulai mengetik sebuah balasan. Namun sebelum sempat menekan tombol kirim, satu pesan lagi masuk.
> Cintaku padamu tidak kalah dalam dibandingkan cintamu untuk Christopher.
Aku tidak peduli jika kau tidak akan pernah membalasnya sepanjang hidupmu.
Selama aku bisa melihat senyummu… itu sudah cukup bagiku.
Aku tidak menginginkan yang lain lagi.
Mia membeku. Matanya seketika memburam karena air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia tidak tahu bahwa saat Daniel menulis pesan itu, tangan pria itu gemetar hebat. Berkali-kali ia menghapus, lalu menulis ulang dan mencari kata yang paling jujur tanpa menyakiti perasaan Mia.
Dan Mia, yang kini memegang ponselnya erat-erat, membalas dengan kalimat pendek, karena ia tahu, jika ia membiarkan hatinya berbicara, ia tidak akan pernah bisa jujur kepada siapa pun, termasuk pada dirinya sendiri.
> Aku sudah sampai di rumah. Dan aku tidak marah kepadamu. Terima kasih, Daniel.
Balasan dari Daniel datang hanya beberapa detik kemudian.
> Aku pikir kau tidak akan mau berbicara lagi denganku. Sekarang, aku sangat lega
(dengan emoji menangis)
Mia membaca pesan itu sambil menghela napas dalam. Ia menggelengkan kepalanya pelan, kemudian tersenyum… getir.
"Aku tidak bisa memaksakan diriku untuk menolaknya..." gumamnya dalam hati.
"Karena setiap kali aku melihat Daniel… rasanya seperti aku melihat diriku sendiri. Yang juga mencintai, tanpa pernah dimiliki."
.
.
.
.
.
.
.
- TBC -
Mia Mia cinta butamu membuat dirimu terluka kamu jg sangat goblok ,, wanita kaya kamu tuh ga bisa move on ga bisa sukses terlalu myek2 kamu ,,so enjoy lah