Eclipse, organisasi dunia bawah yang bergerak di bidang farmasi gelap. Sering kali melakukan uji coba demi mendapatkan obat atau vaksin terbaik versi mereka.
Pada awal tahun 2025, pimpinan Eclipse mulai menggila. Dia menargetkan vaksin yang bisa menolak penuaan dan kematian. Sialnya, vaksin yang ditargetkan justru gagal dan menjadi virus mematikan. Sedikit saja bisa membunuh jutaan manusia dalam sekejap.
Hubungan internal Eclipse pun makin memanas. Sebagian anggota serakah dan berniat menjual virus tersebut. Sebagian lain memilih melumpuhkan dengan alasan kemanusiaan. Waktu mereka hanya lima puluh hari sebelum virus itu berevolusi.
Reyver Brox, salah satu anggota Eclipse yang melawan keserakahan tim. Rela bertaruh nyawa demi keselamatan banyak manusia. Namun, di titik akhir perjuangan, ia justru dikhianati oleh orang yang paling dipercaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
"Jangan bertingkah jika kau masih ingin hidup!"
Peringatan keras dari Robert terdengar menggema memenuhi ruangan pengap yang menjadi tempat Reyver saat ini. Sebuah ruangan berbentuk persegi dengan ukuran yang sempit, dikelilingi jeruji besi yang tak mungkin bisa dibobol, terlebih dengan tangan kosong.
Entah akan berapa lama Reyver di sana. Sekarang tinggal ia sendirian. Robert dan dua orang lainnya sudah hengkang, tampaknya tak peduli meski Reyver akan dibuat mati oleh Carlo.
Lagi pula, siapa yang berani melawan? Semua anggota Eclipse tahu siapa Carlo. Mafia kejam yang tidak pandang bulu. Siapa pun yang menjadi penghalang rencananya, pasti akan dihabisi tanpa ampun. Masih baik Reyver punya kehebatan yang luar biasa di bidang farmasi. Andai tidak, pasti dia sudah ditembak mati sejak beberapa hari yang lalu.
"Francesco, Martha. Aku hanya bisa menggantungkan harapan pada mereka," batin Reyver seorang diri.
Waktu yang tersisa tinggal 28 hari. Cukup singkat, mengingat dirinya yang belum sepenuhnya tahu bagaimana cara menjinakkan virus itu. Ah, bahkan untuk keluar dari ruangan pengap itu pun Reyver belum ada cara yang pasti. Ia sekadar menunggu Francesco atau Martha mendatanginya. Selain pada mereka, Reyver tak percaya pada siapa pun.
"Tapi, aku tidak boleh ceroboh dulu. Orang selicik Carlo, pasti memasang kamera di sini. Tidak mungkin dia membiarkanku di sini tanpa pengawasan. Sekalipun sedikit mustahil untuk bisa keluar dari sini," batin Reyver.
Matanya memindai sekeliling dengan jeli, mencari keberadaan kamera tersembunyi yang ia yakini pasti ada.
Tak berselang lama, batin Reyver mengumpat, memaki, dan melontarkan sumpah serapah. Seperti yang ia duga, ada kamera kecil yang terpasang di sudut atap ruangan.
Carlo benar-benar gila! Sedetik pun ia tak membiarkan Reyver luput dari pengawasan. Walaupun penerangan di tempat itu kurang memadai, tetapi sangat cukup untuk melihat gerak-gerik Reyver dari jauh.
"Jika seperti ini, ruang gerakku benar-benar terbatas. Sialan! Bagaimana caraku menghadapi orang gila itu."
Reyver terus mengumpat dalam hati. Di satu sisi ia tak bisa diam saja sementara detak waktu terus berkurang. Namun, di sisi lain ia juga tak bisa berbuat apa-apa. Benar kata Carlo, dirinya masih terlalu jauh untuk melawan pimpinan mafia kelas dunia itu.
______
Tiga hari tiga malam telah Reyver lewati dengan diam belaka. Tidak ada kesempatan untuk melakukan apa pun. Selain pengawasan dari kamera, seseorang yang ditugaskan mengirim makanan untuknya adalah Robert. Terang saja Reyver tak berani berkutik. Robert adalah orang nomor satunya Carlo, tak mungkin bisa diajak bekerja sama.
"Tinggal dua puluh lima hari lagi. Sisa waktuku benar-benar singkat. Tapi sialnya, aku masih belum bisa keluar dari tempat sialan ini."
Reyver nyaris mengamuk karena kekesalannya sendiri. Ada bencana yang mengintai di luar sana. Namun, dia malah terkurung seperti orang dungu. Sungguh, andai Carlo sudah berhasil menjual virus itu dan menyebabkan banyak kematian, Reyver tak akan bisa memaafkan dirinya sendiri. Karena bagaimanapun juga, dialah yang menciptakan virus itu.
Akibat terlalu tenggelam dalam beban pikiran, Reyver tak menyentuh makanan yang dikirim untuknya. Sejak siang tadi sampai kini telah larut malam, makanan itu dibiarkan teronggok di sudut ruangan. Bahkan, minumannya pun tidak ia teguk barang setetes. Untuk saat ini, tak ada kata lapar atau haus di dalam kamus Reyver.
"Arghh!" Reyver menggeram sambil mengepal, entah sudah keberapa kalinya. Sama halnya dengan umpatan dan makian, entah sudah berapa kali ia lontarkan.
Sampai kemudian, beban pikiran Reyver sedikit terpecah karena samar-samar mendengar suara langkah yang perlahan mendekat. Namun, sangat pelan. Mungkin, orang itu sedang mengendap-endap.
"Siapa itu? Apa mungkin Francesco?" batin Reyver.
Detak jantung pun berpacu dengan sendirinya, demi menunggu siapa gerangan yang datang—orang yang akan membantunya atau justru memberatkan hukumannya.
Seiring detik yang terus berjalan, suara itu kian mendekat. Namun, Reyver belum melakukan gerakan apa pun. Ia sekadar diam dan waspada di sudut ruangan.
Tak berselang lama, mata Reyver menangkap sosok dengan pakaian serba hitam mendekati pintu jeruji.
"Rey!"
Reyver tersentak saat namanya dipanggil. Sontak, ia pun bangkit dan bergegas mendekati orang tersebut.
"Martha."
"Rey, cepat keluar! Kita tidak punya banyak waktu." Martha menyahut sambil membuka kunci. Wajah cantiknya terlihat sangat tegang, bahkan sampai basah karena keringat dingin.
"Di mana Francesco? Kenapa bukan dia saja yang ke sini? Ini terlalu berbahaya jika kau melakukannya sendiri, Martha."
"Francesco sudah tidak bisa diharapkan. Dia sekarang berpihak pada Tuan Carlo."
"Apa?" Reyver sangat terkejut, nyaris tak percaya. Bagaimana mungkin sahabat terdekatnya malah berpihak pada orang gila itu.
"Rey, jangan banyak bertanya! Kita keluar saja dulu. Orang yang meretas keamanan di sini hanya memberiku waktu setengah jam. Lebih dari itu, semua keamanan akan kembali normal. Kita akan tertangkap jika tidak memanfaatkan waktu dengan baik."
Mendengar penuturan sang kekasih, Reyver pun menurut. Ia tak banyak bertanya lagi meski dalam pikirannya malang melintang bermacam pertanyaan. Tentang Francesco, juga tentang peretas yang bekerja sama dengan Martha.
"Rey, aku sudah menyiapkan laboratorium di pinggiran kota. Tempatnya terpencil dan sulit diakses. Nanti gunakan tempat itu untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Virusnya sudah ada bersamaku sekarang," ucap Martha sambil melangkah cepat menaiki anak tangga.
"Kau ... berhasil mencurinya?"
Martha hanya mengangguk sambil melangkah lebih cepat lagi. Di belakangnya, Reyver turut mengimbangi, sembari menatap waspada ke sekeliling, memastikan bahwa tak ada pasang mata yang melihat mereka.
Karena jika virus itu sudah ada di tangan Martha, berarti perjuangan terberat mereka hanyalah keluar dari laboratorium Eclipse. Jika berhasil, maka harapan untuk menggagalkan rencana Carlo pun akan lebih besar. Pun sebaliknya.
"Siapa di sana!"
Bersambung...