Naya, gadis kaya raya yang terkenal dengan sikap bar-bar dan pembangkangnya, selalu berhasil membuat para dosen di kampus kewalahan. Hidupnya nyaris sempurna—dikelilingi kemewahan, teman-teman yang mendukung, dan kebebasan yang nyaris tak terbatas. Namun segalanya berubah ketika satu nama baru muncul di daftar dosennya: Alvan Pratama, M.Pd—dosen killer yang dikenal dingin, perfeksionis, dan anti kompromi.
Alvan baru beberapa minggu mengajar di kampus, namun reputasinya langsung menjulang: tidak bisa disogok nilai, galak, dan terkenal dengan prinsip ketat. Sayangnya, bagi Naya, Alvan lebih dari sekadar dosen killer. Ia adalah pria yang tiba-tiba dijodohkan dengannya oleh orang tua mereka karna sebuah kesepakatan masa lalu yang dibuat oleh kedua orang tua mereka.
Naya menolak. Alvan pun tak sudi. Tapi demi menjaga nama baik keluarga dan hutang budi masa lalu, keduanya dipaksa menikah dalam diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Di kamar hotel yang sunyi, hanya terdengar dengungan halus dari pendingin ruangan. Arya duduk di sisi ranjang, rambutnya masih basah usai mandi. Tubuhnya tampak tenang, tapi wajahnya menyiratkan badai kecil yang sulit diredakan.
Ia menunduk, menatap lantai kosong seolah di sana ada jawaban atas segala kegelisahan yang menumpuk.
Tangannya mengepal.
Mata terpejam, napas berat ditahan.
"Aku nggak boleh mikirin dia... dia udah jadi istri orang. Titik."
Tapi sekuat apa pun logika menahan, kenangan tak bisa dibungkam begitu saja. Tatapan mata Naya saat mereka tertawa di taman kampus, saat gadis itu mengeluh soal skripsi, atau hanya sekadar tertidur di ruang baca karena bosan—semua itu kini terasa jauh.
Ia mendongak, menatap langit-langit.
"Kenapa sih... kenapa rasanya sesak banget padahal aku tahu ini nggak seharusnya?"
Arya bangkit perlahan, membuka jendela besar di kamar hotel. Angin malam Bali masuk, membelai wajahnya.
"Kamu bahagia, kan, Nay?"
Ia menggumam lirih, nyaris tak terdengar oleh siapa pun.
Di balik dinding, ia tahu kamar itu milik Alvan dan Naya.
Dan meski tak ada suara apa-apa dari balik tembok itu, imajinasinya sudah cukup untuk melukai dirinya sendiri.
"Nggak semua perasaan harus diperjuangkan. Kadang... cukup disimpan, terus pelan-pelan dilepas."
Ia memejamkan mata lagi, mencoba menenangkan diri. Tapi saat itu, satu suara mengetuk pelan dari pintu.
Tok tok tok.
"Arya..."
Suara Sarah dari luar.
Arya menoleh.
"Kenapa?"
"Kalau belum tidur... mau ngobrol sebentar aku bosan di kamar?"
Arya menghela napas sebentar, lalu tersenyum kecil.
"Ok."
____
Jalan setapak di taman hotel remang oleh cahaya lampu taman berwarna kuning keemasan. Sarah dan Arya berjalan beriringan. Angin laut menyapa tenang, membawa suara ombak dari kejauhan.
“Terima kasih ya... udah mau nemenin aku cari angin malam-malam begini.”ucap sarah
“Yah... kamu selalu punya cara aneh untuk ngajak ngobrol.”
mendengar itu Sarah nyengir dan menampilkan gigi putih dan rapi.
“Aku? Nggak aneh kok. Cuma... penasaran sama isi kepala kamu yang akhir-akhir ini mendung terus.”
“Isi kepala aku... nggak sejernih langit Bali.”
Beberapa langkah lagi, mereka tiba di bangku taman. Sarah duduk duluan, Arya menyusul. Suasana malam terasa menenangkan, tapi hati mereka masih sedikit bergetar.
“Kamu sadar nggak? Kamu lebih banyak diem sekarang.”ucap Sarah lagi
“Daripada ngomong tapi malah nyakitin orang.”
“Jangan terlalu lama ngebatin semuanya sendiri, Ry.”
Hening sejenak.
Arya menoleh perlahan
“Tadi pas kita jalan ke sini... kamu sering liat aku diam-diam.”
Sarah terdiam. Matanya berkedip cepat.
“Hah? Nggak... aku cuma—”sarah berusaha untuk nengelak
Arya menyela dengan tenang
“Aku sadar, Sar.”
Sarah terbelalak kecil. Matanya menatap Arya seperti baru disambar petir pelan.
“Aku tahu kamu nyimpan rasa. Dari dulu mungkin. Tapi kamu simpan rapi banget... sampai aku pura-pura nggak ngerti.”
Sarah benar-benar tak bisa bicara. Mulutnya terbuka sedikit, tapi tak ada suara yang keluar. Sorot matanya jelas—terkejut, malu, dan juga lega.
“Aku belum siap, Sar. Tapi kamu—... selalu ada. Dan aku... nggak buta.”
“Kamu tahu selama ini?”gumam Sarah pelan.
“Cuma... terlalu sibuk mikirin orang yang bahkan nggak pernah bener-bener liat aku.”
“Aku nggak minta kamu balas perasaan aku. Aku cuma... pengen kamu tahu. Itu aja udah cukup.”
“Aku tahu. Dan aku... nggak mau kamu pergi.”
Hening lagi. Tapi kali ini bukan canggung melainkan hangat.
"Makasih dan maaf Ar. Aku gk bisa ngendaliin perasaan aku"ucap Sarah sambil menunduk.
"Seperti yang kamu bilang kita gak bisa maksain hati kita"Arya menatap Sarah sedikit lama.
Keduanya kini saling diam dan menatap langit malam yang penuh dengan bintang.