Irish kembali, membawa dua anak kembar dan luka lama yang telah berubah menjadi kekuatan. Ethan, pria yang dulu mengabaikannya tanpa rasa, kini tak bisa mengalihkan pandangan. Ada yang berbeda dari Irish, keteguhan hatinya, tatapannya, dan terutama... anak-anak itu. Nalurinya berkata mereka adalah anaknya. Tapi setelah semua yang ia lakukan, pantaskah Ethan berharap diberi kesempatan kedua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EP: 26
“Kalau kamu sudah tahu, kenapa masih bertanya? Dan kenapa menuduhku semena-mena!” Irish berusaha menahan suaranya tetap tenang.
Meskipun dalam hati dia sudah sangat dongkol, kenapa Ethan marah saat dia memberikan uang itu pada orang lain.
Bukankah, dia punya hak untuk memberikan uang itu pada siapapun, karna itu sudah menjadi haknya.
“Memang benar kamu pernah memberiku uang, tapi itu uang yang sebenarnya adalah hakku juga, karena kamu masih berutang padaku. Aku hanya mengambil kembali milikku, setelah itu kita tidak akan ada urusan lagi. Jadi, untuk apa kamu mencampuri hidupku sekarang?”
Begitu kata-katanya selesai, Irish tiba-tiba menyadari sesuatu. Dahinya berkerut, tatapannya tajam.
“Ethan, dari mana kamu tahu aku mengirim uang itu ke seseorang bernama Jeremy? Jangan bilang... kamu menyelidikiku?”
Ethan terdiam di ujung telepon, hanya terdengar helaan napasnya. Memang benar, dia menyelidikinya, dan saat tahu Irish mengirim uang untuk pria lain, kemarahannya langsung meluap.
Irish menegaskan dengan suara geram, “Ethan, jawab aku! Kamu menyelidikiku?”
Ethan tak tahan lagi, suaranya meninggi, “Iya, aku menyelidikimu! Kenapa? Aku pikir kamu memberikan uang itu ke laki-laki lain! Aku khawatir kamu tertipu! Apa kamu tidak sadar betapa bodohnya kamu selama ini?!”
Irish hampir tak bisa menahan emosi, napasnya terengah. “Hei, aku... ya, selama ini aku bodoh, dan karena kebodohan itu aku pernah menyukai pria brengsek sepertimu!” namun seketika Irish terdiam, lalu ia menatap kosong ke depan sambil berpikir. Perlahan, seulas senyum tipis muncul di wajahnya.
“Ethan, jangan bilang... kau peduli padaku?”
Ethan di seberang telepon langsung terdiam kaku, nadanya bergetar sedikit. “Siapa yang peduli padamu? Jangan merasa penting.”
Irish justru terkekeh, nada bicaranya penuh ejekan. “Hah, kamu jelas peduli padaku! Kamu takut aku salah langkah. Wah, kalau istrimu tahu, pasti dia marah besar! Pasti dia akan mengira cintamu padanya sudah pudar.”
Di dalam hatinya, Irish sendiri juga tak yakin Ethan benar-benar peduli padanya. Mungkin hanya karena harga dirinya terusik. Tapi kesempatan untuk mencemooh Ethan tidak boleh disia-siakan, meski harus terlihat percaya diri berlebihan.
“Cukup omong kosongmu!” Ethan membalas dingin, lalu langsung menutup sambungan telepon.
Irish hanya menatap layar ponselnya dan menghela napas, sedikit tersenyum. Teleponnya diputus begitu saja, tapi kali ini ia merasa seolah menang atas Ethan.
Belum sempat menenangkan pikirannya, ponselnya kembali berdering. Nama Jessi muncul di layar. Irish menduga pasti soal uang, jadi ia menarik napas panjang sebelum menjawab.
“Jessi, ada apa?”
Suara Jessi di seberang sana terdengar cemas. “Irish, uang itu dari mana? Suamiku bilang kamu mentransfer uang.”
Irish menahan tawanya, pura-pura tenang. “Aku pinjam dari Hanna,” bohongnya. Ia tidak mungkin mengaku mendapatkan uang itu dari Ethan, Jessi pasti akan merasa bersalah atau bahkan marah jika tahu sumber sebenarnya.
Jessi terdiam sesaat, lalu suaranya terdengar lega. “Irish, nanti setelah semua ini beres, aku pasti kembalikan uangnya.”
“Tenang saja, Hanna orang kaya, uang segitu bukan apa-apa baginya,” Irish menimpali santai, menyesuaikan ceritanya.
“Baiklah…” kata Jessi pelan. Mendengar nada suara Irish yang tenang, Jessi sedikit merasa lega, lalu menutup telepon setelah berbincang sebentar.
Setelah menutup sambungan, Jessi kembali berjalan ke ruang rawat. Ia memandang ibu mertuanya, Yunita, yang terbaring lemah. Wajahnya pucat, tubuhnya tampak rapuh, rambutnya menipis, bahkan tak mampu lagi mengunyah makanan sendiri.
Begitu Jessi masuk, Yunita langsung menunjukkan wajah tidak senang.
“Kamu ke mana saja? Lama sekali. Jangan bilang kamu sengaja meninggalkan aku sendiri di sini?”
Jessi menahan napas, berusaha bersabar. “Bu, aku hanya sebentar menelpon untuk mengurus jadwal operasi. Kami sudah meminjam uang untuk biaya Ibu. Nanti setelah Ibu minum obat, kami akan diskusikan dengan dokter.”
Namun nada Yunita semakin keras, napasnya tersengal. “Meminjam uang?! Bukannya sudah kubilang, suruh orang tuamu jual rumah mereka saja? Apa maksudmu menambah hutang? Tetap saja, nanti kamu pasti akan membayar hutang dengan uang anakku!”
Kata-kata Yunita menusuk Jessi dalam-dalam. Ia merasa darahnya mendidih, tetapi berusaha tetap diam. Orang tuanya sudah mengorbankan banyak untuk membantu biaya pengobatan ibu mertuanya, dan kini ia harus mendengar ucapan sekejam itu?
Jessi menahan air matanya, menunduk. Dengan pelan, ia membantu Yunita berbaring lagi, lalu berbalik meninggalkan ruang rawat tanpa sepatah kata pun.
Di belakangnya, Yunita terus memaki dengan suara serak, namun Jessi memilih tidak mendengarkan. Ia berlari keluar menuju koridor rumah sakit, napasnya terengah, dadanya sesak.
Ia berdiri di sana, menatap orang-orang berlalu-lalang. Ada yang sakit, ada yang bahagia karena sembuh, ada juga yang pasrah dengan nasib. Jessi mendadak merasa hampa. Untuk apa ia berjuang sampai seperti ini? Ia mencintai keluarganya, ingin berbakti pada ibu mertua, tetapi justru terseret dalam pusaran rasa bersalah dan penolakan.
Air matanya jatuh juga akhirnya. Jessi berjalan terus ke taman rumah sakit, mencoba menenangkan diri. Sinar matahari musim dingin yang lemah membuat taman tampak suram. Pasien di kursi roda berjemur, beberapa tertidur, beberapa berusaha berdiri.
Di sudut taman, Jessi menyeka air matanya dengan punggung tangan. Ia perlu berpikir jernih, apa yang harus dilakukan, bagaimana ia akan bertahan menghadapi semua ini.
Baru saja ia menarik napas, tiba-tiba terdengar suara berteriak mencarinya.
“Jessi! Kamu ke mana?!”
gemessaa lihatnya