Galuh yang baru saja diterima di universitas impiannya harus menerima kenyataan bahwa ia akan tinggal di kos campur karena kesalahan administratif. Tidak tanggung-tanggung, ia harus tinggal serumah dengan seorang senior wanita bernama Saras yang terkenal akan sikap misterius dan sulit didekati.
Awalnya, kehidupan serumah terasa canggung dan serba salah bagi Galuh. Saras yang dingin tak banyak bicara, sementara Galuh selalu penasaran dengan sisi lain dari Saras. Namun seiring waktu, perlahan-lahan jarak di antara mereka mulai memudar. Percakapan kecil di dapur, momen-momen kepergok saat bangun kesiangan, hingga kebersamaan dalam perjalanan ke kampus menjadi jembatan emosional yang tak terhindarkan.
Tapi, saat Galuh mulai merasa nyaman dan merasakan sesuatu lebih dari sekadar pertemanan, rahasia masa lalu Saras mulai terungkap satu per satu. Kedekatan mereka pun diuji antara masa lalu Saras yang kelam, rasa takut untuk percaya, dan batasan status mereka sebagai penghuni kos yang sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 11 Luka yang Tersembunyi
Suasana di klinik kampus begitu sunyi. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar bersaing dengan napas berat Galuh yang berdiri di sisi ranjang, menatap Saras yang masih belum sadar.
Tubuh Saras tampak lemah. Wajahnya pucat, bibirnya kering. Dokter kampus bilang, Saras kelelahan dan mengalami syok ringan. Tapi Galuh tahu ini lebih dari sekadar kelelahan biasa. Pesan di amplop merah yang tergenggam erat di tangan Saras menjadi bukti bahwa tekanan psikologis yang dialami cewek itu semakin besar.
Galuh duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan Saras dengan lembut. “Gue nggak bakal biarin lo sendiri, Sar,” bisiknya lirih.
Tak lama, Saras mulai menggerakkan kelopak matanya. Pelan. Lalu membuka mata sepenuhnya.
“Galuh?” suaranya serak.
“Iya, gue di sini.” Galuh tersenyum kecil meski hatinya mencemaskan banyak hal.
Saras mengerjap pelan, lalu memutar pandangannya ke langit-langit ruangan. “Maaf… gue bikin lo khawatir.”
“Jangan minta maaf. Lo udah cukup kuat nahan semuanya sejauh ini.”
Saras menggigit bibir bawahnya, matanya mulai berkaca. Tapi Galuh mengusap rambutnya lembut, seolah mengatakan bahwa ia aman sekarang.
---
Satu jam kemudian, Saras sudah cukup stabil untuk dibawa pulang ke kosan. Galuh memapahnya perlahan, dibantu Iqbal yang sudah datang membawakan makan malam dan obat dari apotek terdekat.
“Lo harus makan,” ucap Galuh setelah menata bubur di mangkuk. “Jangan cuma minum air putih.”
Saras menatap bubur itu seperti menatap medan perang. Tapi akhirnya ia menyerah, mengambil sendok dan menyuapkan satu demi satu ke mulutnya.
Di saat suasana mulai tenang, Iqbal membuka laptopnya dan menunjukkan pada Galuh serta Saras hasil tracing IP Rangga kemarin malam.
“Gue nemu satu pola aneh,” kata Iqbal serius. “Setiap kali Rangga kirim pesan ancaman, selalu lewat server yang sama. Tapi tadi pagi, dia pakai server baru. Lebih canggih. Gue curiga, itu kerjaan orang lain, bukan dia langsung.”
“Adrian?” tebak Galuh.
Iqbal mengangguk. “Bisa jadi. Tapi bukan itu yang paling mengejutkan.”
Iqbal menekan tombol spasi, dan sebuah folder terbuka di layar. Ada rekaman video. Mereka bertiga menonton dalam diam.
Video itu memperlihatkan Rangga dan seorang pria kemungkinan Adrian berbicara di parkiran kampus.
> “Lo yakin dia nggak inget?” suara Rangga terdengar jelas.
> “Dia trauma berat. Paling kalau inget pun cuma potongan kecil. Tapi tenang, semua bukti udah gue buang.”
Saras terdiam. Tangan yang menggenggam sendok tiba-tiba gemetar. Bubur di sendoknya jatuh ke piring.
“Saras?” Galuh langsung mendekat.
Tiba-tiba Saras bangkit, berlari ke kamar mandi, dan terdengar suara muntah. Galuh buru-buru mengejarnya.
Setelah beberapa menit, Saras keluar dengan wajah lesu dan mata sembab. Ia tidak bicara apa-apa, hanya duduk memeluk lutut di pojok kamar.
“Saras…” Galuh mendekat perlahan, duduk di sampingnya.
Saras menggeleng. “Gue… inget sesuatu.”
Galuh menunggu tanpa mendesak.
“Dulu, waktu gue masih maba…” suara Saras bergetar. “Rangga pernah… dia… dia masuk ke kamar gue waktu gue lagi tidur. Gue nggak inget semuanya. Tapi setelah itu, gue sakit. Gue takut. Tapi dia ngancam, bilang itu cuma mimpi, dan kalau gue cerita ke siapa pun, dia bakal… dia bakal bikin hidup gue hancur.”
Galuh terdiam. Dunia seperti berhenti sesaat. Ia merasa marah, sedih, dan tak berdaya sekaligus.
Iqbal yang mendengar dari luar kamar juga membatu. Tidak menyangka bahwa apa yang selama ini hanya berupa ancaman, ternyata menyimpan luka yang jauh lebih dalam.
---
Malam itu, tidak ada yang tidur. Mereka bertiga duduk dalam keheningan. Galuh menggenggam tangan Saras erat, sementara Iqbal sibuk mengetik di laptop.
“Ada satu jalan,” kata Iqbal akhirnya. “Gue bisa bongkar semua server Adrian. Tapi kita butuh bukti rekaman pengakuan mereka buat buat ini jadi kuat.”
“Berarti kita jebak mereka bicara,” ucap Galuh pelan.
Saras menatap mereka. “Gue bisa pura-pura luluh. Bilang ke Rangga gue nyerah dan mau ketemu buat negosiasi.”
Galuh langsung menolak. “Enggak! Lo nggak harus ngadepin dia lagi. Lo udah cukup trauma!”
Tapi Saras menggeleng pelan. “Gue harus berani, Galuh. Kalau enggak, dia bakal terus neror orang lain juga.”
Hening kembali menguasai ruangan.
Akhirnya, Galuh menghela napas. “Oke. Tapi kita pasang alat sadap. Dan lo nggak sendiri. Gue dan Iqbal bakal ngawasin dari dekat.”
---
Dua hari kemudian, rencana mereka mulai dijalankan. Saras mengirim pesan pada Rangga:
> “Gue nyerah. Lo menang. Kita ketemu di taman belakang gedung seni, jam 7 malam. Tapi sendiri, tanpa orang lain.”
Tak butuh waktu lama, Rangga membalas:
> “Pintar. Akhirnya lo ngerti siapa yang paling kuat.”
---
Waktu yang ditentukan tiba. Saras duduk sendiri di bangku taman, dengan alat perekam kecil tersembunyi di bros bajunya. Galuh dan Iqbal memantau dari jauh, menggunakan alat komunikasi kecil di telinga.
Langit sudah gelap, hanya cahaya lampu taman yang temaram.
Tak lama, Rangga muncul. Senyumnya menakutkan. Ia duduk di samping Saras, terlalu dekat.
“Kamu akhirnya sadar juga, ya?”
Saras menunduk. “Aku capek. Aku cuma mau semuanya selesai.”
“Bagus.” Rangga menyentuh bahunya. “Tapi kamu tahu kan, rahasia tetap harus dijaga. Kalau enggak…”
“Termasuk rahasia waktu kamu masuk kamarku?” Saras memotong dengan tajam.
Rangga terdiam sesaat. “Kamu masih inget?”
“Cuma sebagian. Tapi cukup buat tahu kamu yang ngelakuin.”
Dan saat itu juga, Galuh dan Iqbal muncul dari semak, membawa polisi kampus yang mereka hubungi diam-diam.
“Cukup buat tangkap lo,” kata Galuh dengan dingin.
Rangga membelalak. “Sialan…!”
Polisi menyergapnya. Sementara Saras hanya menatap kosong ke depan.