Sebuah cerita tentang perjuangan hidup Erina, yang terpaksa menandatangani kontrak pernikahan 1 tahun dengan seorang Presdir kaya raya. Demi membebaskan sang ayah dari penjara. Bagaikan mimpi paling buruk dalam hidup Erina. Dia memasuki dunia pernikahan tanpa membawa cinta ataupun berharap akan dicintai.
Akankah dia bisa menguasai hatinya untuk tidak terjatuh dalam jurang cinta? ataukah dia akan terperosok lebih dalam setelah mengetahui bahwa suaminya ternyata ada orang paling baik yang pernah ada di hidupnya?
Jika batas waktu pernikahan telah datang, mampukan Erina melepaskan suaminya dan kembali pada kehidupan lamanya? Atau malah cinta yang lama dia pendam malah berbuah manis dengan terbukanya hati sang suami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eilha rahmah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Agen Rahasia
Dalam perjalanannya pulang ke rumah kontrakan, Erina terlebih dahulu mampir ke sebuah toko cinderamata. Dia ingin membeli beberapa barang untuk dia berikan sebagai oleh-oleh. Tak butuh waktu lama, hanya sekitar 20 menit dia berkeliling. Erina sudah menemukan semua barang yang dia inginkan.
Akan ku pakai habis kartu kreditmu tanpa merasa bersalah sama sekali. Hahaha.
Ah, baru kali ini berbelanja terasa sangat nyaman dan menyenangkan. Semua berkat kartu hitam ini, aku bisa membeli semua yang aku mau. Tanpa harus melirik price tag nya terlebih dahulu.
Erina tersenyum lebar sepanjang jalan. Dia bahkan tak lupa membelikan Pak Tan dua setel pakaian baru yang harganya terbilang cukup lumayan. Cukup untuk membuat Pak Tan gelagapan saat menerimanya.
"Pak, di pertigaan depan berhenti ya, rumah kontrakanku masuk gang kecil. Mobil tidak akan cukup kalau masuk" Erina menunjuk jalan yang ada di depannya.
"Baik Non"
Pak Tan langsung mencari tanah yang cukup lapang untuk memarkirkan mobilnya. Saat mobil terparkir sempurna, seperti biasa Erina adu cepat membuka pintu penumpang sebelum Pak Tan membukanya. Dia sudah cukup bersyukur menerima kebaikan dari Tuan Arga. Dia tidak mau jika para pelayan yang ada di rumah bersikap terlalu hormat padanya. Dilihat dari sisi manapun Erina merasa tidak pantas menerimanya.
"Pak Tan bisa menunggu disini sebentar?" Pinta Erina saat dia menyadari Pak Tan sudah siap membuntutinya kemanapun dia pergi.
"Maaf Nona, tapi saya diperintahkan untuk mengikuti kemanapun Nona pergi" Pak Tan menjawab santai.
Cih, apa Pak Tan juga disuruh mengikutiku sampai ke toilet juga? Apa dia pikir aku akan kabur?
"Tapi rumah kontrakan ayahku sangat sempit Pak" Erina memohon.
"Saya akan menunggu di luar"
Pak Tan tetap bersikukuh ingin ikut, dia bahkan sudah siap dengan segala barang bawaan yang tadi sempat dibeli Erina sebagai oleh-oleh. Sudahlah, sepertinya percuma saja dilarang-larang. Pak Tan bukankah kau terlalu patuh pada majikanmu? Lagi pula siapa yang mau kabur? Memangnya Erina punya nyawa berapa sampai berani melarikan diri begitu.
Erina hanya bisa menghela nafas panjang. Ya, mungkin dia harus mulai membiasakan diri dengan keadaan seperti ini. Mungkin bagi Arga, Erina tak lebih dari seorang tahanan rumahnya. Hanya saja tahanan ini di fasilitasi terlalu sempurna oleh tuannya.
Erina membiarkan saja ketika Pak Tan mulai membuntutinya. Pikirannya saat ini hanya tentang alasan apa yang harus dia katakan pada ayahnya. Dimana dia tinggal dan pekerjaan seperti apa yang dia lakukan. Semuanya harus logis agar ayahnya tidak terlalu khawatir dengan kepergiannya.
"Erinaa..."
Teriakan Billa terdengar sangat menggelegar. Dia menubruk tubuh mungil Erina sampai dia hampir terjungkal kebelakang.
"Kalian disini?" Erina tampak terkejut saat mendapati Billa dan Dava sudah standby di depan rumah kontrakannya. Ayah hanya berdiri mematung melihat pemandangan yang ada di depannya. Sama sekali tidak bergeming, seperti melihat arwah putrinya yang baru saja bangkit dari kubur.
"Ayah" Erina menyapa, berjalan mendekati ayahnya yang kini mulai berlinang air mata.
"Kemana saja kau nak? Kau bahkan tidak mengabari ayahmu selama beberapa minggu" Ayah merengkuh tubuh mungil putrinya. Sepertinya kali ini dia benar-benar insyaf dan ketakutan jika terjadi sesuatu yang menimpa Erina karena ulahnya.
"Erina baik-baik saja ayah" Erina menepuk punggung lelaki paruh baya itu. Masih belum melepaskan pelukannya.
Sejenak mereka berempat saling berpelukan, sudah seperti film Teletubbies saja. Sampai-sampai mereka melupakan Pak Tan yang sedari tadi berdiri dengan membawa cukup banyak barang belanjaan.
"Itu siapa Rin?" Billa yang terlebih dahulu menyadari keberadaan Pak Tan disana mulai merasa canggung. Jarang sekali ada orang berpenampilan rapi yang datang ke gang sempit ini. Apa dia kesasar?
Erina menoleh, kemudian teringat jika Pak Tan sudah berdiri disana cukup lama. Dia merasa sangat bersalah.
Kenapa aku mengacuhkan laki-laki tua ini, Astaga semoga aku tidak kuwalat.
Dia segera menghampiri Pak Tan, lalu membawanya mendekat untuk diperkenalkan pada Ayah, Billa dan juga Dava.
"Apa dia mengawasimu satu kali dua puluh empat jam?" Dava menatap Pak Tan yang duduk di sudut ruangan dengan tatapan penuh curiga.
Kini mereka sudah masuk kedalam rumah, cukup berantakan semenjak Erina meninggalkan rumah.
"Aih... Sudahlah, jangan menatapnya seperti itu. Dia orangnya baik kok" Erina segera mengalihkan topik pembicaraan dengan menyodorkan beberapa paperbag yang sedari tadi di tenteng oleh Pak Tan. Membaginya rata, masing-masing orang dapat dua barang.
Billa dapat dompet dan tas, Dava dapat sepatu dan tas ransel untuk kuliah dan Ayah dapat satu stel baju dan sepatu kerja. Mereka semua terperangah, pasalnya barang-barang yang di beli Erina bukan barang murahan, dia pasti sudah menghabiskan beberapa puluh juta hanya untuk barang-barang ini.
"Kamu dapat uang dari mana Rin?" Ayah berbisik, takut jika Pak Tan mendengar apa yang sedang dia katakan.
"Gila! Sebenarnya kamu kerja apa sama Presdir itu? Jadi simpanannya?" Billa ikutan berbisik.
"Apasih, aku kerja di bagian penting di perusahaan milik Tuan Arga, dan gajinya besar, jadi cukup untuk membelikan kalian barang mewah ini."
Pak Tan yang mendengar celotehan Erina terlihat tersenyum samar. Dia tidak terlalu ambil pusing dengan kebohongan Erina. Selama itu tidak menodai harga diri Tuannya. Jadi Pak Tan acuh saja.
"Bagian apa? Bendahara? Sekretaris ya?" Ayah penasaran.
"Ini rahasia, kalian jangan sampai cari tahu. Kalau tidak nyawaku akan terancam" Erina bicara sambil melirik Pak Tan, mengisyaratkan jika laki-laki itu bukan orang sembarangan.
Semuanya terdiam, lebih tepatnya sangat terkejut. Pekerjaan apa kiranya yang sedang dilakukan Erina sampai-sampai dia harus mempertaruhkan nyawanya segala. Apa itu tidak terlalu berlebihan?
Bukannya menurut, mereka justru semakin penasaran. Mencoba menerka-nerka, apakah pekerjaan Erina seorang agen rahasia? Atau mungkin menyelundupkan barang ilegal? Mereka kompak menoleh ke arah Pak Tan yang sedari tadi melihat kerandoman mereka. Sejujurnya dalam hati Pak Tan ingin sekali tertawa, melihat ekspresi ayah dan teman-teman Nona Mudanya itu sungguh sangat lucu dan cukup menghibur baginya.
"Kenapa tidak jujur saja pada ayahmu ini? Apa yang sedang kau kerjakan di sana? sampai-sampai kau bisa melunasi semua hutang-hutang ayah. Kau bahkan bisa menebus ayah dengan uang satu miliar itu"
Erina mengernyitkan keningnya, "hutang apa?"
"Hutang ayahmu pada rentenir, hutang apa lagi? Billa menjawab dengan santainya.
"Benarkah?"
Wah, ternyata selain membebaskan ayah dari tuntutan denda satu miliar, Tuan Arga juga melunasi semua hutang-hutang ayah.
Kenapa dia sangat baik sekali padaku, aku harus berterimakasih padanya.
Mereka bercengkrama cukup lama, sampai menjelang sore, Erina memutuskan untuk pamit. Dia berjanji jika satu bulan kedepan dia akan berkunjung lagi.
"Ayah tidak perlu khawatir, aku bahagia yah. Aku berjanji akan melakukan pekerjaanku sebaik mungkin" Erina memeluk ayahnya erat. Dia tahu, ayahnya pasti sangat mengkhawatirkannya. Namun apa lagi yang bisa dia lakukan selain mengikuti permainan rumah-rumahan ini.
"Jaga dirimu baik-baik Rin" Billa menggenggam kedua tangan Erina.
"Iya, sampai jumpa bulan depan" Erina melambaikan tangannya, terlihat butiran kristal mulai menggenang di pelupuk matanya.
Erina berjalan pelan, di ikuti Pak Tan dibelakangnya menuju mobil yang terparkir di depan gang.
"Setelah ini Nona mau di antar kemana?" Pak Tan bertanya sopan, sebelum dia menginjak pedal gas.
"Bisakah aku mampir ke rumah sakit? Aku ingin menjenguk kakek"
Entah kenapa, setelah meninggalkan rumah Erina malah teringat pada kakek.
"Tentu saja bisa"
Pak Tan melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, memecah sunyi jalanan ibu kota. Meninggalkan kampung kumuh tempat dia berasal ke sebuah istana megah yang memenjarakan raganya.
.
.
(BERSAMBUNG)
egoisnya kebangetan si arga nih...