Teror pemburu kepala semakin merajalela! Beberapa warga kembali ditemukan meninggal dalam kondisi yang sangat mengenaskan.
Setelah dilakukan penyelidikan lebih mendalam, ternyata semuanya berkaitan dengan masalalu yang kelam.
Max, selaku detektif yang bertugas, berusaha menguak segala tabir kebenaran. Bahkan, orang tercintanya turut menjadi korban.
Bersama dengan para tim terpercaya, Max berusaha meringkus pelaku. Semua penuh akan misteri, penuh akan teka-teki.
Dapatkah Max dan para anggotanya menguak segala kebenaran dan menangkap telak sang pelaku? Atau ... mereka justru malah akan menjadi korban selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TPK11
Jessie duduk di sudut ruangan, tangannya gemetar memegang secangkir kopi yang sudah dingin. Matanya terus mengawasi pintu, seolah menunggu seseorang yang akan masuk kapan saja.
Sudah 2 hari Liam tidak pulang ke rumah, membuat wanita pemilik rambut blonde itu cemas. Mencemaskan suaminya di luar sana tanpa kabar, atau cemas akan hal-hal tak terduga yang akan dilakukan Liam. Entahlah. Namun, satu hal yang pasti, hubungan keduanya semakin memburuk.
Jessie menatap ponsel yang sedari tadi tergeletak di atas meja. Dua hari dia tidak masuk kerja, tetapi, ponselnya terlalu hening. Ia merindukan sesuatu.
“Max ....” Nama itu menggema di dalam kepalanya, sampai-sampai ia tak sadar bibirnya tengah bergumam memanggil nama kaptennya.
Ya, Max. Jessie sungguh merasa kehilangan. Saat sebelum menyandang status sebagai seorang istri, Max akan selalu menghubungi dirinya jika ia tidak masuk bekerja. Akan selalu menanyakan kabarnya, apa yang tengah ia lakukan, bahkan rela menerobos hujan demi mengantarkan camilan favoritnya.
Jessie mendesah, tak sanggup harus kehilangan pria se-effort itu. Ponsel di atas meja lekas ia sambar. Tanpa malu, ia menghubungi Max.
Satu panggilan diabaikan. Namun, Jessie tak menyerah, ia kembali menelpon sang kapten. Selang beberapa detik, senyuman manis tersungging di bibirnya. Panggilan terhubung.
“Max,” panggil Jessie dengan suara sedih dan bergetar. “Aku ... aku takut, Max ....”
Wanita itu teramat percaya diri, Jessie sangat yakin jika Max akan cemas. Namun, keheningan yang berlangsung membuat dirinya mulai ketar-ketir.
“Max ...,” panggil Jessie sekali lagi. Namun, suara di seberang sana membuat alisnya menukik tajam.
“Jessie, Max meninggalkan ponselnya. Kau baik-baik saja?” suara Clara terdengar ragu.
Jessie menggenggam erat ponselnya, memutar jengah bola matanya. “Ke mana Max pergi?”
“Entahlah, saat aku tiba ... Max sudah tidak ada,” jawab Clara. “Apa ada yang perlu aku sampaikan padanya, jika Max kembali, Jess?”
“Katakan saja, aku menelponnya.” Jessie membanting ponselnya ke atas sofa setelah memutuskan sambungan telpon begitu saja. “Menyebalkan, ini benar-benar menyebalkan!”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Tiga hari sudah berlalu, Liam belum juga pulang. Sementara Jessie, hari ini ia memutuskan untuk kembali bekerja.
Hari itu, bibir Jessie tak hentinya tersenyum cerah. Max mengajaknya pergi ke sebuah restoran mewah untuk bertemu dengan Nathan, seorang pengusaha sukses yang baru saja muncul dalam penyelidikan mereka.
‘Syukurlah, hari ini Clara tidak bekerja!’ gumam Jessie di dalam hati.
Setibanya di restaurant, Jessie menatap Nathan dari kejauhan. Nathan adalah salah satu orang terakhir yang terlihat bersama korban sebelum pembunuhan terjadi. Tapi sejauh ini, tidak ada bukti kuat yang mengarah padanya.
Nathan menyambut mereka dengan senyum lebar, terlalu lebar untuk situasi seperti ini. “Max, Jessie, senang sekali akhirnya kita bisa bertemu. Silakan duduk.”
Jessie merasa tidak nyaman sejak pertama kali melihat Nathan. Ada sesuatu tentang cara dia tersenyum, cara dia menatap, yang membuat bulu kuduknya meremang. Tapi, dia mencoba bersikap profesional, mengikuti Max duduk di meja. Ia menggelengkan kepalanya dengan cepat, mungkin firasatnya terlalu berlebihan, efek samping dari halusinasi yang sulit diredam.
“Terima kasih sudah meluangkan waktu, Nathan,” kata Max, suaranya tegas tapi sopan. “Kami hanya ingin mengajukan beberapa pertanyaan tentang hubungan Anda dengan korban.”
Nathan mengangguk, masih dengan senyum yang sama. “Tentu, saya akan membantu sebisa mungkin. Tapi, saya harus bilang, saya tidak terlalu dekat dengan dia. Kami hanya bertemu beberapa kali untuk urusan bisnis.”
Max mengangguk, mencatat sesuatu di buku kecilnya. “Bisnis apa, kalau boleh tahu?”
“Oh itu, hanya proyek kecil. Tidak ada yang terlalu penting,” jawab Nathan santai. Tapi, Max bisa melihat ada sesuatu di balik matanya, sesuatu yang dia coba sembunyikan.
Selama percakapan berlangsung, Nathan terus mencoba mengalihkan perhatian ke Jessie. Dia memuji penampilannya, bertanya tentang karier nya, bahkan menawarkan bantuan jika dia membutuhkan sesuatu. Jessie merasa semakin tidak nyaman, tapi dia berusaha tetap tenang.
“Jessie, kamu kelihatan tegang. Apa ada yang salah?” Tanya Nathan tiba-tiba, membuat Jessie terkejut.
“Tidak, saya baik-baik saja.” Jawab Jessie cepat, mencoba tersenyum. Tapi, senyum itu tidak sampai ke matanya.
Max memperhatikan interaksi itu dengan saksama. Dia tidak suka cara Nathan berbicara pada Jessie, terlalu ramah, terlalu akrab, terlalu aneh. Tapi, dia tidak mengatakan apa-apa, memilih untuk fokus pada penyelidikan.
Setelah pertemuan itu, Max dan Jessie kembali ke kantor. Jessie langsung pergi ke mejanya, mencoba mengalihkan pikirannya dari Nathan. Tapi Max tidak bisa berhenti memikirkan pria itu. Ada sesuatu tentangnya yang tidak beres.
“Ethan.” Panggil Max, memanggil hacker muda yang sedang sibuk dengan laptopnya. “Aku butuh kamu cari semua informasi tentang Nathan. Semua yang bisa kamu temukan.”
Ethan mengangguk, jarinya langsung menari di atas keyboard. “Siap, Bos. Tapi, kenapa tiba-tiba tertarik sama dia?”
“Dia terlalu sempurna,” jawab Max singkat. “Dan orang yang terlalu sempurna biasanya punya sesuatu yang disembunyikan.”
Tidak butuh waktu lama bagi Ethan untuk menemukan sesuatu. “Bos, ini menarik. Nathan ternyata punya hubungan dengan salah satu korban. Mereka pernah bekerja sama di sebuah proyek besar beberapa tahun lalu.”
Max mengerutkan kening. “Proyek besar? Hmm, jadi proyek kecil yang dia maksud adalah proyek besar ini?”
Ethan mengangkat bahu. “Mungkin!”
Max tahu itu bukan kebetulan. Nathan menyembunyikan sesuatu, dan dia akan mencari tahu apa itu.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sore itu, Liam duduk di depan laptopnya. Melihat rekaman cctv yang baru saja ia dapatkan dari seseorang. Rekaman itu menunjukkan seseorang dengan jaket hitam di lokasi pembunuhan Anna. Hanya saja, wajahnya tidak terlihat jelas.
“Kualitas nya terlalu jelek.” Gumamnya sembari bersandar, lalu memejamkan mata.
Liam menghela napas panjang. Pertengkarannya dengan Jessie beberapa hari lalu masih terngiang-ngiang. Ia benar-benar tak menyangka Jessie mencurigai dirinya, sampai-sampai lancang meminta bantuan Clara untuk memeriksa darah di lengan jaketnya.
“Jessie menyelidiki aku? Sepertinya ... halusinasinya semakin parah,” gumamnya pelan.
Liam kembali memperhatikan rekaman di depannya dengan cermat. Kemudian keningnya mengernyit ketika melihat kehadiran orang lain di rekaman tersebut. “Orang ini ... aku pernah lihat orang ini sebelumnya. Tapi ... di mana?”
.
.
.
Malam itu, Max tidak bisa tidur. Sambil menghisap sebatang rokok, pria itu berdiri di samping jendela yang terbuka, dengan udara dingin yang menggerayanginya.
Max menghela napas panjang. “Aku benar-benar sudah bekerja keras untuk meringkus pelaku yang sebenarnya. Tetapi, kenapa rasanya ... kebenaran semakin menjauh? Aku merasa ... seperti dipermainkan dengan sosok tak kasat mata. Ada apa ini sebenarnya? — Di mana letak salahnya?”
Puntung rokok ia padamkan di partisi kaca, keningnya berkerut dalam. “Apa, jangan-jangan ... ada pengkhianat di dalam tim ku? —Ethan? Clara? Tapi, tidak mungkin mereka. Atau— Jessie?” Max mengusap kasar wajahnya. Pria itu mulai meragukan tim nya sendiri.
Max menutup kaca jendela, lalu meluruhkan bokongnya di atas sofa. Tempat yang biasanya ia gunakan untuk menghabiskan waktu, berbincang dengan Anna.
Manik Max melirik ke sisi sofa, tepatnya pada sebuah foto yang terletak di atas meja kecil. Bingkai mini itu lekas ia sambar, potretnya bersama Anna berpoles senyuman bahagia membuat hatinya bergetar. Air mata Max luruh seketika.
“A-anna!” suara Max serak. “Aku bersumpah, Anna. Aku bersumpah, aku akan menangkap monster gila itu!”
Tepat setelah berkata demikian, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Pesan itu hanya berisi satu kalimat: “Kamu kira ... kamu bisa menangkap ku?”
Max membeku, tangannya gemetar memegang ponsel. Bukan karena takut, tetapi, karena api yang berkobar di dadanya. Dia segera menelepon nomor tersebut, tapi, panggilan tidak bisa tersambung.
“Sialan! Kau memakai ponsel sekali pakai? Pengecut! Brengsek! KEMARI KAU KALAU BERANI, SIALAN!” Max membanting ponselnya ke sembarang arah.
Benar firasatnya, ada seseorang di luar sana yang mengawasinya, seseorang yang tahu setiap gerakannya. Dan dia terlalu bingung harus berbuat apa sekarang. Monster itu benar-benar cerdas.
TING!
TONG!
TING!
TONG!
Max yang dilanda murka, menoleh pada pintu yang bel nya ditekan berulang kali. Siapa? Batinnya amat berisik.
“Jangan-jangan, monster itu?!” Langkah kaki Max melaju ke arah pintu. Ia mengeluarkan pisau lipat dari dalam saku, bersiap-siap untuk apapun yang ada di balik pintu.
Begitu pintu terbuka, Max seketika mematung di tempat.
*
*
*
kembali kasih Kaka...🥰🥰
w a d uuuuuuhhhhh Bellaaaaa....
jadi inspirasi kalau di dunia nyata besok ada yg jahat² lagi mulutnya, siapkan jarum bius😅🤣😂.
tapi sayangku aku takut jarum suntik😅