NovelToon NovelToon
Di Ujung Cakrawala

Di Ujung Cakrawala

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Anak Genius / Anak Yatim Piatu / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Transmigrasi ke Dalam Novel
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: kaka_21

"Jangan pergi."
Suara itu terdengar lirih, hampir tenggelam oleh tiupan angin perbatasan. Tapi Cakra mendengarnya jelas. Shifa berdiri di hadapannya, mengenakan jaket lapangan yang kebesaran dan wajah yang tidak bisa menyembunyikan kecemasan.

"Aku harus."
Cakra menunduk, memeriksa ulang peluru cadangan di kantongnya. Tangannya gemetar sedikit. Tapi dia tetap berdiri tegak.

Shifa maju selangkah, menatap matanya.
"Kenapa harus kamu? Ada banyak tim. Kenapa kamu yang selalu minta maju paling depan?"

"Karena itu tugasku."
Cakra tidak mengangkat wajahnya.

"Bukan. Itu karena kamu terus ngejar bayangan ayahmu. Kamu pikir kalau kamu mati di sini, kamu bakal jadi pahlawan seperti dia?"

Diam.

"Aku bukan ibumu, Cakra. Aku nggak mau mengantar orang yang aku cintai ke pemakaman. Aku nggak sekuat Bu Dita."
Suara Shifa mulai naik.

Cakra akhirnya menatapnya. "Ini bukan soal jadi pahlawan. Ini soal pilihan. Dan aku sudah memilih jalan ini, jauh sebelum aku kenal kamu."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kaka_21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 11: Perjalanan Yang Tak Lagi Sama

Suasana di akademi militer mendadak berubah riuh sejak pagi. Sorak-sorai para taruna memenuhi halaman barak, menyambut datangnya momen yang paling dinanti—libur semester. Ada yang langsung mengangkat koper, ada pula yang sibuk mengecek tiket kereta atau menghubungi keluarga mereka.

Cakra berdiri di depan lemarinya yang sudah terbuka lebar. Dengan tenang ia melipat baju ke dalam tas ranselnya. Tak seperti teman-temannya yang tampak heboh, ia lebih kalem. Di sela-sela membereskan barang, ia sempat membuka ponselnya dan mengetik pesan. "Akhirnya libur juga. Aku pulang hari ini, mungkin malam nyampe rumah." Pesan itu ia kirimkan untuk Laras. Beberapa menit kemudian, balasan singkat muncul di layar:

"Oke, jaga diri ya." Cakra menatap layar ponsel itu cukup lama. Hanya itu? Tak ada emotikon, tak ada ajakan bertemu, bahkan tidak ada tanda senang. Ia menghela napas pelan, menyimpan ponselnya kembali ke saku celana. Meski hatinya terasa sedikit kosong, ia memilih untuk tidak membacanya terlalu dalam. "Yah, mungkin dia lagi sibuk," gumamnya mencoba menenangkan diri, sebelum kembali merapikan perlengkapannya.

Sambil memasukkan terakhir kalinya perlengkapan ke dalam tas, Darma datang menghampiri dengan gaya santainya yang khas. Wajahnya sumringah seperti biasa, seolah libur semester adalah hadiah paling berharga dari semesta. “Cak! Kang Cakra! Maneh kudu ikut ka Bandung, atuh! Sekalian healing lah! Main ka rumah abdi, nanti ku kenalin ka makanan Sunda nu asli! Seblak, cilok, batagor... hade pisan pokona mah!” Cakra terkekeh kecil, sempat menoleh ke arah Hakim yang langsung menanggapi dengan semangat.  “Wah menarik tu bang! Udah lama aku pengen ke Bandung, katanya udaranya sejuk, cewek-ceweknya pun ayu-ayu eh...”

Hakim tertawa, menepuk bahu Darma. “Cocok kali buat liburan, serius ku ikut!” Namun semangat mereka sedikit meredup saat Arlan yang sejak tadi hanya duduk menyimak, tiba-tiba angkat suara tanpa banyak ekspresi. “Gue pulang duluan aja. Udah ada yang nunggu di rumah.” Ucapannya terdengar datar. Tak ada gurauan, tak ada senyum. Cakra menoleh, menatap Arlan penuh tanya. Biasanya Arlan lah orang paling semangat kalau soal liburan. Apalagi kalau Darma sudah ngomongin makanan, dia selalu yang pertama ngacung.

Darma pun ikut heran. “Heh, beneran? Maneh teh… biasanya nu pang rame-nana lamun ngomongin kuliner. Aya naon, euy?” Arlan hanya mengangkat bahu, seolah tak ingin menjelaskan lebih jauh. “Ya udahlah, nikmatin aja libur kalian. Gue cuma pengen cepet nyampe rumah.” Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat Cakra sedikit curiga. Tapi ia hanya mengangguk perlahan, belum ingin memaksakan apa pun. Di balik keceriaan rencana Darma dan Hakim, perasaan tidak enak mulai tumbuh dalam hati Cakra—sebuah firasat yang belum bisa ia jelaskan.

Tas-tas telah rapi tertata di bagasi mobil. Hakim sudah duduk di kursi belakang sambil memutar lagu Aceh favoritnya. Darma sibuk memeriksa peta kuliner Bandung lewat gawainya. Tapi Cakra belum juga masuk mobil. Matanya sesekali mencari sosok Arlan yang sudah pergi lebih dulu. Ada yang mengganjal dalam hatinya sejak tadi. Arlan terlalu cepat menghindar. Terlalu cepat bilang pulang. Terlalu... dingin.

Bukan gaya Arlan yang biasanya bercanda dulu, atau setidaknya ikut makan-makan kecil sebelum pulang. Cakra menatap Darma yang sedang memasukkan jaket ke dalam tas. “Darma,” panggilnya pelan. “Naon, Kang?” Darma menoleh, menurunkan volume musik di gawainya. “Bisa minta tolong gak? Ikutin Arlan sebentar aja. Gue pengin tahu dia ke mana.”

Darma menaikkan satu alisnya. “Heh? Maneh cemburu?” godanya setengah berbisik. Cakra tak menjawab candaan itu. Wajahnya serius. “Gue cuma... ngerasa aneh aja. Tolong, ya.”

Melihat ekspresi Cakra yang tak biasa, Darma mengangguk mantap.

“Sing beres, atuh. Aing pantau... bentar wae.” Dengan langkah ringan, Darma langsung berpamitan seolah lupa sesuatu, meninggalkan Cakra dan Hakim. Sementara itu, Cakra masuk ke dalam mobil, tapi pikirannya tertinggal jauh di belakang. Ada gelombang tak nyaman yang terus mengusik dadanya—seolah badai mulai bergerak perlahan, diam-diam...

Kereta baru saja meninggalkan stasiun. Suara klakson dan hiruk-pikuk penumpang mulai menghilang, tergantikan suara notifikasi di ponsel Cakra. Satu pesan dari Darma:

“Bang… kayaknya abang harus lihat ini sendiri. Ini lokasi terakhir dia.”

Cakra sempat terpaku menatap layar. Jantungnya berdegup lebih cepat.

Ada bagian dari dirinya yang ingin mengabaikan pesan itu. Tapi ada bagian lain yang tahu, ini bukan saatnya menghindar. Dengan langkah cepat dan hati berat, Cakra turun dari taksi online yang baru saja ia pesan dan mengikuti lokasi yang Darma kirim. Langkahnya melambat ketika melihat sosok Arlan dari kejauhan. Arlan berdiri di pinggir trotoar, menunggu seseorang.

Lalu datanglah sosok perempuan dengan sweater biru muda dan rambut dikuncir rendah.

Laras.

Cakra tercekat. Mereka berbicara pelan. Terlalu jauh untuk didengar, tapi cukup dekat untuk dilihat. Lalu… Laras tersenyum, meraih tangan Arlan, dan dalam satu gerakan lembut, ia mengecup pipi Arlan. Cakra terpaku. Matanya membelalak, tapi tubuhnya tak bergerak. Udara seolah membeku. Dunia terasa hening. Hanya detak jantungnya yang menggelegar, disertai sesak yang mendadak menghimpit dada. Ia tak tahu berapa lama ia berdiri di sana. Tapi begitu sadar, ia memutar badan dan berjalan pergi tanpa menoleh. Langkahnya berat, tapi hatinya lebih berat lagi.

Mobil milik kakak Darma terparkir di pinggir jalan. Langit mulai menggelap, dan suasana kota yang tadinya ramai kini mulai sepi. Di samping mobil, Darma berdiri dengan canggung, memandangi Cakra yang baru saja kembali dari arah trotoar.

Tatapan Cakra kosong. Langkahnya pelan. Ia membuka pintu mobil bagian belakang, tapi tak langsung masuk. Sebaliknya, ia bersandar sebentar pada bodi mobil, menunduk dalam diam. Darma menelan ludah. Ia tahu persis apa yang baru saja dilihat sahabatnya. Dan ia merasa bersalah—karena menjadi saksi, karena mengirim lokasi, karena tidak bisa berbuat apa-apa.

“Bang…” Darma akhirnya membuka suara, pelan dan hati-hati. “Kuring… teu nyangka bakal kieu. Hapunten, nya?” Cakra tidak langsung menjawab. Matanya masih menatap aspal. Tapi kemudian, ia menggeleng pelan. Ia menoleh ke arah Darma, dan untuk pertama kalinya sejak tadi, ia tersenyum—meski tipis, dan penuh luka. “Bukan salah kamu, Dar…” ucapnya lirih.

“Malah... makasih. Setidaknya sekarang gue tahu yang sebenarnya.” Darma hanya bisa mengangguk, meski hatinya ikut perih. Tak ada lagi yang bisa ia katakan. Ia membuka pintu depan dan masuk, membiarkan Cakra mengambil waktu sendiri sejenak sebelum ikut masuk ke mobil. Angin malam bertiup pelan. Sunyi menyelimuti mereka berdua, dengan satu kenyataan baru yang tidak bisa dihindari—kenyataan bahwa hati yang percaya bisa hancur tanpa suara.

Mobil melaju membelah malam. Lampu-lampu jalan menari di kaca jendela, menciptakan bayangan-bayangan yang tak pernah diam. Di kursi belakang, Cakra duduk bersandar, diam, memandangi setiap cahaya yang lewat tanpa benar-benar melihatnya. Hakim yang duduk di depan mencoba memecah keheningan. “Bang, kalau abang udah bisa senyum lagi, nanti saya traktir mie Aceh, yang abang suka tuh,” ujarnya dengan tawa dibuat-buat.

Tak ada jawaban. Darma ikut menimpali, mencoba mencairkan suasana. “Cak... urang nyampe Bandung, urang ajak ka warung lotek langganan abi. Dijamin enakeun!” Namun, Cakra tetap tak bergeming. Tatapannya masih tertuju ke luar jendela, mengikuti ritme jalanan yang terus berganti. Tidak ada senyum. Tidak ada tawa. Hanya napas panjang sesekali yang terdengar dari dirinya.

Di dalam hatinya, badai belum reda. Tapi ia memilih menyimpannya sendiri. Bukan karena ingin terlihat kuat, tapi karena ia belum tahu harus apa dengan rasa yang tersisa. Mobil terus melaju. Di balik kaca, dunia terus berjalan. Dan di dalam mobil itu, seorang anak muda mencoba mengikhlaskan patah yang baru saja menyapa.

1
Siyantin Soebianto
ceritanya jadi penisirin gini ya😇
Nanang
SEMANGAT Thor berkarya nya ya 😇
kaka_21: siap kakak,terimakasih udah mampir
total 1 replies
piyo lika pelicia
semangat ☺️
perhatikan lagi huruf kapital di awal paragraf
kaka_21: baik kak, terimakasih
total 1 replies
piyo lika pelicia
Assalamualaikum, paman pulang! waduh ... makan apa nih?"
piyo lika pelicia
Tiba-tiba pintu terbuka
piyo lika pelicia
Rama
piyo lika pelicia
"Ee.. kamu mau kemana" pake nanya. Virza tertawa kecil. "Aku mau
piyo lika pelicia
"Terimakasih, sepertinya tidak pernah."
piyo lika pelicia
ibu dan juga bapaknya kemana
piyo lika pelicia
"Ma, dengarkan aku
piyo lika pelicia
tidak boleh berkata kasar pada anak mu sendiri 😒
kaka_21: sabar kak, sabar
total 1 replies
piyo lika pelicia
"Ma, dengarkan aku
piyo lika pelicia
iklan untuk kakak ☺️
piyo lika pelicia
dasar ibu yang buruk
piyo lika pelicia
adik yang baik ☺️
piyo lika pelicia
"Eh, Riz. Ada apa?"
Inumaki Toge
Ayatnya enak dibaca,lanjut semangat ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!