Entah ini mimpi atau nyata, namun Jenny benar-benar merasakannya. Ketika dia baru saja masuk ke dalam rumah suaminya setelah dia menikah beberapa jam lalu. Jenny harus dihadapkan dengan sikap asli suaminya yang ternyata tidak benar-benar menerima dia dalam perjodohan ini.
"Aku menikahimu hanya karena aku membutuhkan sosok Ibu pengganti untuk anakku. Jadi, jangan harap aku melakukan lebih dari itu. Kau hanya seorang pengasuh yang berkedok sebagai istriku"
Kalimat yang begitu mengejutkan keluar dari pria yang baru Jenny nikahi. Entah bagaimana hidup dia kedepannya setelah ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nita.P, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ceraikan Aku, Mas!
Kondisi yang memang tidak terlalu parah, jadi membuat Jenny maupun Zaina juga bis akembali pulang malam ini. Jenny bingung harus bagaimana bersikap di depan suaminya yang benar-benar marah dan murka padanya.
Sampai di rumah, Hildan tidak memperdulikan Jenny yang kesulitan berjalan karena kakinya yang terluka dan di pasang perban. Jenny berjalan tertatih menaiki anak tangga menuju pintu rumah, dia harus berhati-hati karena bisa saja dia terjatuh karena daya tahan kakinya yang tidak stabil.
Jenny masuk ke dalam rumah, menatap Hildan yang baru saja keluar dari kamar Zaina.Gadis itu tertidur saat berada di perjalanan. Jennya mendudukan tubuhnya diatas sofa. Kakinya yang luka masih terasa sakit. Kepalanya juga terasa sangat pusing.
Jenny menatap Hildan yang berjalan di depannya. Dia mengingat kejadian saat i rumah sakit. Bagaimana Hildan yang mencekik lehernya hingga Jenny hampirmati kehabisan nafas.
"Ceraikan saja aku, Mas"
Langkah kaki Hildan langsung terhenti ketika mendengar ucapan Jenny yang terdengar lirih. HIldan menoleh dan menatap istrinya dengan tajam. Dia memutar arah yang awalnya ingin pergi ke dapur, jadi menghampiri istrinya yang sedang duduk di sofa.
Jenny memejamkan matanya dengan pasrah ketika kedua kaki Hildan berada di kedua sisi tubuhnya. Lututnya bertumpu pada sofa dengan tangan yang berpegangan pada sandaran sofa.Tubuh Jenny benar-benar berada di bawah kungkungan tubuh Hildan.
"Kalau kau memang tidak siap hidup bersamaku, kenapa kau malah menerima perjodohan itu, hah?"
Jenny membuka kedua matanya dan menatap Hildan dengan matanya yang sayu. Mungkin memang kesalahan Jenny karena telah mau menerima perjodohan itu pada awalnya hingga dia mau bertemu dengan keluarga Hildan pada saat itu.
"Ya, karena memang kamu tidak pernah menginginkan perjodohan ini terjadi. Maka ceraikan saja aku dan kita akhiri semuanya mulai saat ini"
Hildan tertawa mengerikan, membuat Jenny merinding takut. "Aku sudah terlanjur senang bermain-main denganmu. Jadi jangan harap aku akan melepaskanmu begitu saja"
Air mata Jenny kembali menetes dengan perasaan yang terluka. Hildan memang hanya menganggapnya sebagai mainan saja. Tidak pernah dia menganggap Jenny sebagai istrinya. Dan mungkin waktunya terlalu cepat untuk Jenny bisa lepas dari Hildan.
"Kenapa tidak mau melepaskan aku jika kamu saja tidak menginginkan aku untuk ada dalam kehidupan kamu"
"Karena aku sedang ingin memberi tahukan padamu, bagaimana rasanya menjadi istri dari pria yang tidak menginginkan kehadiranmu sama sekali"
Deg..
Hildan berdiri dan berlalu dari hadapan Jenny. Sementara Jenny hanya terdiam dengan menatap punggung suaminya yang menjauh darinya.
Semuanya tidak akan sesakit ini jika aku tidak jatuh cinta lebih dulu apdamu. Bahkan sebelum pernikahan ini terjadi.
Jenny berdiri dengan susah payah karena kakinya yang masih terasa sakit dan kepalanya yang pusing. Dia berjalan dengan ringkih ke arah kamar yang ditempatinya bersama dengan Zaina.
Jenny masuk ke dalam kamar dan duduk di pinggir tempat tidur dengan menatap Zaina yang sedang terlelap. Kapalanya masih terpasang perban.
"Maafin Bunda ya Nak, karena Bunda tidak bisa menjaga kamu dengan baik. Bunda hampir saja membuat kamu celaka"
Jenny naik ke atas tempat tidur dan berbaring di samping Zaina. Namun baru saja Jenny akan terlelap, dia malah mendengar suara keributan di luar sana. Hal itu membuat Jenny kembali turun dari atas tempat tidur dan berjalan ke arah pintu kamar. Ketika Jenny setengah membuka pintu kamar dan melihat keadaan yang sedang terjadi diluar.
Seorang wanita cantik yang terlihat sedang marah-marah pada Hildan. Membuat Jenny bertanya-tanya tentang siapa wanita yang datang ke rumah suaminya malam-malam begini.
"Kau membohongiku Hildan, kau bilang kau tidak akan pernah menikah lagi selain dengan adikku. Tapi sekarang kau telah melanggar janji itu"
"Aku minta maaf Erina, tapi aku memang tidak mempunyai pilihan lain. Semua ini sudah menjadi keputusan Mama"
"Terus apa kau mencintai istrimu yang sekarang?"
Hildan menggeleng tegas, sampai saat ini dia masih sangat mencintai mendiang istrinya. Jadi dia tidak mencintai Jenny sama sekali. "Aku tidak mencintainya, karena yang aku cintai sampai saat ini hanya mendiang Zaina"
Erina tersenyum mendengar itu, setidaknya dia masih bisa memastikan jika suami dari mendiang adiknya ini belum mencintai wanita lain. Erina berharap perjuangan dia selama ini akan membuahkan hasil yang memuaskan.
"Baguslah, karena aku tidak rela kalau sampai kau mengkhianati perasaan cintai adikku padamu. Ingat, dia meninggal juga karena melahirkan anak kalian. Dia berjuang untuk kebahagiaan kamu"
Hildan mengangguk, ya dia tahu tentang itu. Bagaimana mendiang istri yang begitu mencintainya dan selalu berusaha untuk membuatnya bahagia. Bahkan jika dia harus menaruhkan nyawanya untuk itu.
"Besok aku akan datang kesini lagi, untuk mengenal istrimu dan memberi tahu dia jika dia memang sudah tidak mempunyai kesempatan apapun lagi padamu"
"Ya, lagian kau juga tidak perlu berbicara apapun padanya. Dia juga pasti mengerti dengan semua perlakuan aku padanya. Jika aku memang tidak akan pernah mencintainya"
Deg..
Jenny yang mendengar semua percakapan itu benar-benar merasa hatinya hancur berkeping-keping. Percuma saja dia mencintai pria yang sama sekali tidak akan membuka hatinya untuk Jenny agar bisa masuk ke dalam ruang kosong di hatinya itu. Semuanya hanya percuma.
######
Pagi ini Jenny terbangun ketika dia merasa elusan lembut di pipinya. Ternyata itu adalah Zaina, tangan mungil itu mengelus pipinya dengan lembut.
"Selamat pagi Bunda, bagaimana keadaan Bunda saat ini? Pasti Daddy memarahi Bunda lagi"
Jenny tersenyum, dia merasa ebnar-benar sangat menyayangi Zaina. Jenny tidak bsia berbohong pada hatinya sendiri jika dia memang sangat menyayangi Zaina seperti anak kandungnya sendiri. Padahal Jenny juga belum pernah mempunyai anak, tapi sekalinya mempunyai anak dia langsung mempunyai anak seusia Zaina.
"Bunda tidak papa kok Sayang, lagian Daddy juga tidak memarahi Bunda. Kan Bunda sudah bilang kalau Daddy begitu baik dan tidak pernah jahat pada Bunda. Jadi jangan sampai Zaina berpikir yang jelek tentang Daddy ya"
"Iya Bunda"
Zaina memeluk Jenny dengan erat, dia begitu menyayangi Jenny karena sejak kedatangan Jenny di rumahini, Zaina jadi bisa merasakan kasih sayang seorang ibu.
Di ballik pintu kamar yang setengah terbuka, Hildan berdiri diam dengan tubuh yang menyandar pada dinding. Entah kenapa saat ini hatinya mulai terenyuh ketika Hildan mendengar ucapan Jenny pada Zaina yang menganggap dirinya jahat. Tapi Jenny malah membelanya dan memberikan nasihat baik pada Zaina.
Kamu tidak boleh tersentuh hanya dengan hal spele seperti ini Hildan. Ingat janji kamu pada Zaina dulu.
Hildan berlalu dari depan kamar anaknya dan pergi menuju keluar rumah untuk berangkat bekerja. Dia ingin menenangkan diri dan pikirannya yang sedang kacau saat ini.
Aku tidak boleh sampai peduli padanya.
Bersambung
Kisah Vania judulnya Noda Dan Luka