Winarsih, seorang gadis asal Jambi yang memiliki impian untuk bekerja di ibukota agar bisa memberikan kehidupan yang layak untuk ibunya yang buruh tani dan adiknya yang down syndrome.
Bersama Utomo kekasihnya, Winarsih menginjak Jakarta yang pelik dengan segala kehidupan manusianya.
Kemudian satu peristiwa nahas membuat Winarsih harus mengandung calon bayi Dean, anak majikannya.
Apakah Winarsih menerima tawaran Utomo untuk mengambil tanggungjawab menikahinya?
Akankah Dean, anak majikannya yang narsis itu bertanggung jawab?
***
"Semua ini sudah menjadi jalanmu Win. Jaga Anakmu lebih baik dari Ibu menjaga Kamu. Setelah menjadi istri, ikuti apa kata Suamimu. Percayai Suamimu dengan sepenuh hati agar hatimu tenang. Rawat keluargamu dengan cinta. Karena cintamu itu yang bakal menguatkan keluargamu. Ibu percaya, Cintanya Winarsih akan bisa melelehkan gunung es sekalipun,"
Sepotong nasehat Bu Sumi sesaat sebelum Winarsih menikah.
update SETIAP HARI
IG @juskelapa_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Persiapan
Dari penulis :
Ini adalah novel bergenre romantis 21+ (adult-romance)
Dengan membaca novel ini, pembaca harus memastikan dirinya sudah cukup umur dan memahami bahwa cerita ini hanyalah fiksi belaka. Hanya imajinasi yang bertujuan menghibur. Tidak ada pelajaran di dalam novel ini. Jadi, jangan dicari pelajarannya.
Harap bijak berkomentar. Pastikan Anda memilih bacaan yang tepat sebelum melanjutkan. Ingat, jangan salah memilih genre bacaan. Don't forget, our words is our class.
...____________________...
"Jadi kapan kita menikah?" tanya Utomo.
“Sabar Mas, jodoh nggak akan kemana,” sahut Winarsih tersenyum memandang wajah Utomo yang malam itu terlihat sangat tampan di bawah cahaya rembulan.
“Aku sering kangen kamu Win, beberapa hari ini aku teringat kamu terus. Hubungan kita sudah lama, tapi sepertinya kita cuma begini-begini saja," keluh Utomo.
“Nanti kalau sudah di kota, kita bisa pacaran seperti yang di tv-tv itu Mas! Kita bisa nonton ke bioksop, bisa makan di restoran.” Winarsih tergelak karena perkataannya sendiri.
“Iya, nanti kita bisa seperti itu. Sekarang aku ingin minta lebih sedikit saja. Boleh?” tanya Utomo manja sambil menggeser duduknya agar lebih merapat pada Winarsih.
“Apa?” tanya Winarsih berpura-pura tak mengerti padahal sedari tadi dia telah merasakan gelagat aneh Utomo.
“Jangan yang macem-macem, Mas. Enggak boleh. Kita belum menikah. Kalau Mas Ut begitu, berarti Mas Ut enggak sayang sama aku,” rajuk Winarsih, bergerak menjauhi Utomo yang matanya mulai sayu.
Utomo mengangkat tangannya ragu kemudian mengalihkan pandangannya ke tubuh Winarsih.
“Win, aku ingin merasa lebih dekat denganmu malam ini. Boleh ya, Win? Sebentar saja,” pinta Utomo.
Meski dalam kalimatnya pria itu meminta izin tapi kenyataannya tangan Utomo mulai berpindah menuju ke pangkuan Winarsih.
Utomo telah membayangkan hal ini sepanjang enam tahun yang mereka jalani. Utomo tak tahan berlama-lama berbicara dengan Winarsih tanpa rasa detak jantungnya yang berdebar-debar tak biasa.
Sering sahabat-sahabatnya meledek dan bertanya pada Utomo, telah melakukan apa saja bersama Winarsih.
Mereka tak tahu kalau Utomo harus menahan diri sebisa mungkin karena Winarsih adalah tipe wanita yang meski polos tetapi memiliki pendirian yang sangat kuat. Meruntuhkan pertahanan Winarsih dan keyakinannya sangatlah sulit.
Utomo baru bisa mengecup pipi Winarsih setelah mereka berpacaran selama 4 tahun.
Sebelum-sebelumnya, Utomo harus puas hanya bisa menggenggam tangan wanita itu.
“Aku mau mengecup bibir kamu, Win,” ucap Utomo yang dengan gesit langsung menarik kekasihnya mendekat.
Utomo harus buru-buru agar Winarsih tak segera berubah pikiran. Dalam pikirannya, Winarsih pasti tetap melarang dan mengatakan apa yang sedang dilakukan Utomo adalah hal yang salah.
Utomo mulai mencoba menjelajahi badan kekasihnya dengan tatapan. Pandangan Utomo yang mulai terlihat berbeda membuat Winarsih mulai risi. Utomo bersandar ke bahu Winarsih dan menyentuh wajah wanita itu untuk lebih mendekat.
Winarsih enggan melakukan hal itu. Ia beringsut karena ingin menyudahi apa yang dilakukan kekasihnya.
Namun kemudian kepala Utomo dengan cepat menunduk hendak mengecupnya di bagian dada.
Antara muak dan benci, Winarsih mengedikkan bahu. Berusaha mengusir Utomo dengan cara paling halus. Ia juga tak ingin kekasihnya itu tersinggung.
Namun Winarsih tetaplah seorang wanita yang harusnya tidak terlalu mempercayai gejolak penasaran seorang pria. Dengan sangat cepat tangan Utomo sudah berpindah ke dadanya. Menyentuh dan memijat dengan sangat cepat disertai kecupan di lehernya. Winarsih terkesiap. Terkejut dan tubuhnya kaku seketika.
Dengan mata yang setengah terbelalak, Winarsih tersadar kalau tangan Utomo semakin berani. Jari pria itu mulai menelusuri tepian kerah pakaiannya. Winarsih mendapat kekuatan mendorong tubuh Utomo menjauh. "Aku enggak mau, Mas!" seru Winarsih. Utomo belum mau bergerak. Malah kecupannya di leher semakin cepat dan buru-buru. "Aku bilang aku enggak mau, Mas!" Kali ini dorongan Winarsih lebih keras. Utomo tersentak dan menatapnya seperti orang bodoh.
“Sudah. Cukup. Aku mau pulang. Besok siang kita bertemu lagi. Malam ini kamu sudah teler," kesal Winarsih, cepat-cepat berdiri.
“Enggak, Win. Aku bakal antar kamu pulang. Pasti." Utomo ikut berdiri dan merengkuh tubuh Winarsih. Di kepalanya sudah melintas macam-macam kenikmatan yang bisa dilakukannya. Setengah mendorong, ia memaksa Winarsih kembali duduk ke pondok. Dorongan itu rupanya terlalu kuat sampai lantai bambu itu berbunyi cukup keras ketika kepala Winarsih menghantamnya.
"Aduh ... kepalaku sakit, Mas. Kamu memang sedang dirasuki setan. Aku enggak mau di sini. Aku pulang!" Kembali berusaha bangkit dan membereskan pakaiannya yang sedikit acak-acakan. "Aku pulang sekarang. Besok kalau Mas sudah kembali normal kita bisa bertemu lagi. Siang-siang bertemunya. Aku enggak mau ketemuan di sini," ujar Winarsih, meraih sepedanya yang tersandar di tiang pondok.
"Maafkan aku, Win. Aku khilaf." Utomo bergumam seraya setengah menarik lengan Winarsih. Ia masih berusaha membujuk.
"Aku juga khilaf sudah mau bertemu di tempat sepi ini. Aku pulang sekarang. Kalau Mas Utomo enggak keberatan, aku minta nomor kontak majikanku di ibukota. Biar aku aja yang menghubungi mereka. Aku enggak mau merepotkan Mas Utomo." Winarsih sudah menaiki sepedanya dan bersiap-siap pergi dari tempat itu.
"Maafkan aku, Win. Aku janji enggak akan begitu lagi sampai kita menikah dan sah jadi suami istri. Aku terlalu takut kehilangan kamu, Win. Aku selalu merasa bangga karena kamu memilih aku di antara banyaknya lelaki yang naksir kamu di kampung ini. Kamu juga setia nunggu aku. Aku cuma enggak sabar ingin memiliki kamu seutuhnya." Bujukan Utomo terdengar benar-benar tulus di telinga Winarsih.
"Aku pulang dulu, Mas ...." Winarsih mulai mengayuh sepedanya.
"Aku sendiri yang akan nganter kamu ke rumah majikanmu nanti, Win! Kamu jangan khawatir!" Utomo berteriak pada punggung Winarsih yang kian menjauh.
Winarsih mengangkat sebelah tangannya tanda bahwa dia mendengar perkataan Utomo barusan.
******
Malam itu, Winarsih tak bisa tidur memikirkan kejadian yang baru saja ia alami. Jijik membayangkan Utomo yang menggerayangi badannya. Ia juga merasa bersalah karena membiarkan dirinya hanyut. Secara tak langsung ia sendiri yang membiarkan Utomo jadi selancang itu. Kepalanya menggeleng-geleng tak membenarkan.
"Mas Utomo kasar," bisik Winarsih. Teringat bahwa ia tadi didorong karena tak memenuhi permintaan Utomo untuk bermesraan. "Apa selama ini Mas Utomo memang pria kasar? Sesudah enam tahun ... kenapa baru sekarang?" Tatapan Winarsih menerawang langit-langit.
******
"Apa semua pakaianmu sudah dikemas, Win?"
Bu Sumi bertanya sambil menyibak tirai pintu kamar dan melongokkan kepalanya melihat Winarsih yang sibuk berkutat mencatat sesuatu.
"Sudah, Bu. Semuanya sudah. Baju Winar, ke, enggak banyak. Lagipula di kota Winar mau kerja, bukan liburan. Winar lagi mencatat sesuatu biar Ibu nanti bisa bawa kertas ini ke mini market," tukas Winarsih, menunduk di lantai untuk mencatat di buku kecil.
"Apa itu?" tanya Bu Sumi.
"Nanti setiap di awal bulan ... tanggal enam, Ibu bisa bawa kertas ini buat ngambil uang kiriman dari Winar ke mini market di dekat pintu masuk desa. Winar akan kirim uang ke Ibu melalui jaringan mini market itu. Setiap tanggal enam ya, Bu. Jangan lupa. Tunjukkan aja kertas itu ke kasir mini market. Mereka sudah tau apa maksud tulisan di sana." Winarsih merobek selembar kertas dari buku catatannya.
Bu Sumi tak bisa membaca. Wanita itu hanya menatap tulisan demi tulisan di atas kertas yang sedang dipegangnya dengan pandangan kosong.
“Pokoknya Ibu tenang aja. Winar akan nabung sebanyak-banyaknya buat biaya terapi dan pengobatan jantung Yanto. Kalau Winar sudah mapan di kota, Ibu enggak usah kerja jadi buruh tani lagi. Ibu sudah tua. Winar mau ibu di rumah aja ngerawat Yanto. Kemarin Winar dapet kabar dari Mas Utomo kalau para pegawai di rumah majikan Winar nanti mnerima gaji tanggal tiga setiap bulan. Majikan Winar orang hebat di ibukota. Jadi ... Ibu enggak usah khawatir. Seenggaknya, Winar enggak akan kelaparan di sana.” Winarsih terus berbicara sambil melipat beberapa pakaian dalam dan memasukkannya ke dalam sebuah tas jinjing yang terbuat dari kain perca batik.
Bu Sumi diam memandang putrinya. Wanita itu tak tahu harus mengatakan apa untuk menenangkan winarsih sebelum kepergiannya ke kota besok. Jika boleh jujur, hatinya berat sekali melepas putri sulung semata wayangnya.
"Ibu enggak apa-apa kalau setiap hari harus makan nasi putih dan lalapan sayur seperti selama ini. Hidup serba kekurangan asal bersama Winar dan Yanto ... Ibu enggak apa-apa, Win. Tapi Ibu juga kasihan sama kamu. Ibu enggak sanggup memberikan sesuatu yang harusnya diberikan orang tua buat anak gadisnya. Apalagi anak gadis Ibu sangat manis." Air mata Bu Sumi sudah meleleh.
"Bu ... jangan nangis." Winarsih berdiri mengudao air mata ibunya.
"Buat Ibu ... hidup serba kekurangan bersama kalian masih bisa bahagia ketimbang hidup cukup tapi harus berjauhan." Suara Bu Sumi tercekat. "Tapi keinginanmu terlalu kuat, Win. Keras kepalamu itu ...."
"Ibu tahu kalau Winar sanggup melewati berbagai kesulitan dengan seluruh keyakinan yang Winar punya, kan? Winar enggak pernah minder dengan ejekan-ejekan yang sering dilontarkan orang buat Winar dan Yanto. Bagi Winar ... kebahagiaan Ibu dan Yanto adalah yang paling utama. Ibu jangan nangis lagi."
Winarsih tak pernah melawan atau menjawab apapun perkataan orang padanya. Terutama perkataan soal Yanto yang down syndrome. Winarsih hanya diam dan menjauhkan adiknya itu dari mulut-mulut jahil orang yang kadang menghina keadaannya. Buat Yanto, Winarsih adalah pahlawan baginya. Dan bagi Bu Sumi memiliki seorang putri seperti Winarsih adalah anugerah.
“Win,” panggil Bu Sumi.
“Ya, Bu ...." Winarsih mendongak menatap ibunya.
“Sudah siap untuk berangkat besok?”
“Sudah, Bu.”
“Ingat-ingat pesan Ibu ya, Win. Harus selalu yakin dengan dirimu sendiri. Di mana pun berada tetaplah jadi orang jujur.”
Winarsih tersenyum. "Winar akan selalu ingat pesan Ibu."
“Ibu mungkin enggak pernah ngomong ke kamu dan Yanto. Tapi sebelum kamu berangkat, Ibu mau ngomong sesuatu." Bu Sumi merasa tenggorokannya tercekat. "Ibu sayang Winar dan Yanto. Ibu dan Ayah mohon maaf pada kalian kalau sampai detik ini ... kami belum bisa memberikan kehidupan layak seperti yang dimiliki anak-anak lain dari orang tuanya. Kamu harus putus sekolah dan kerja di bawah matahari. Kamu gadis cantik dan ceria tapi Ibu bahkan enggak sanggup membelikan kamu pakaian bagus meski cuma sepasang. Ibu mohon maaf sama Winarsih.” Bu Sumi menangis sesegukan.
Winarsih berdiri dan meraup tubuh kurus ibunya ke dalam pelukan. Memeluk tubuh itu erat-erat. Tubuh yang terasa begitu kurus dan rapuh meringkuk dalam pelukannya.
Tanpa ia sadari bobot ibunya telah jauh menyusut sejak wanita itu kembali bekerja di sawah. Apa yang akan dikatakan ayahnya jika melihat bahwa ia tak becus merawat sang ibu?
Winarsih menggigit bibir menahan tangis. Dadanya terasa sesak. Air matanya tak bisa dicegah keluar. Tanpa memandang ibunya, Winarsih menangis diam-diam.
“Kalau suatu hari nanti kamu lelah kerja di kota, pulang kapan saja kamu mau. Jangan takut atau malu karena dinilai enggak berhasil oleh orang-orang di kampung ini. Ibu masih sanggup menanggung hidup anak-anak Ibu.” Bu Sumi bicara di sela-sela isak tangisnya.
Winarsih mengangguk-angguk dan membenamkan kepalanya di bahu sang ibu. Anak dan ibu itu menangis bersama.
Yanto yang tak menyadari apa yang sedang terjadi hanya duduk diam membersihkan kulit kayu manis di depan sebuah televisi rusak ditemani sebuah obat nyamuk bakar yang menyala di dekatnya.
To be continued
kok malu ya😂😂
apa ada di lapak lain?
Ada Dr Firza juga /Rose//Wilt//Rose//Wilt//Kiss//Kiss//Kiss/
Pinter bener tuh Pakde klo ngeles..Ampe Bude winar manut aj
untuk bisa tau besarnya Arus sungai..
#catat dech