NovelToon NovelToon
Antara Kau, Dia Dan Kenangan

Antara Kau, Dia Dan Kenangan

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Bad Boy / Trauma masa lalu / Barat / Mantan
Popularitas:642
Nilai: 5
Nama Author: Yellow Sunshine

Ketika cinta pertama kembali di waktu yang salah, ia datang membawa hangatnya kenangan sekaligus luka yang belum sembuh.
Nora tak pernah menyangka masa lalu yang sudah ia kubur dalam-dalam muncul lagi, tepat saat ia telah memulai kisah baru bersama Nick, pria yang begitu tulus mencintainya. Namun segalanya berubah ketika Christian—cinta pertamanya—kembali hadir sebagai kakak dari pria yang kini memiliki hatinya.
Terjebak di antara masa lalu dan cintanya kini, sanggupkah Nora memilih tanpa melukai keduanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yellow Sunshine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Harapan yang Diselipkan

Cahaya sore menembus tirai tipis kamar asrama, menciptakan garis-garis keemasan yang menari perlahan di lantai kayu. Udara hangat dan sunyi berbaur, tapi di dalam dadaku, riuhnya emosi belum reda. Ponsel tergeletak di atas meja, menampilkan satu kata sederhana—maaf. Kata itu begitu ringan di layar, tapi terasa seberat batu di hatiku.

Aku duduk di tepi ranjang, memeluk lutut, menatap dinding yang berbayang. Setiap detik terasa lambat, dan setiap bayangan seolah mengingatkanku pada luka yang belum sembuh. Rasa sakit malam kemarin masih menempel, berselimut dengan rindu yang tak mau hilang. Aku ingin membenci Nick, tapi hatiku menolak—seperti ada benang halus yang terus mengikat kami, meski aku tak ingin mengakuinya.

Nafasku bergelombang, mata menatap ponsel tanpa benar-benar melihatnya. Aku ingin membalasnya, ingin menulis sesuatu yang bisa menjelaskan semua rasa ini. Tapi kata-kata seakan tersangkut di tenggorokan, takut salah langkah, takut hati ini kembali hancur. Hanya ada sunyi, dan aku, terjebak di antara ingin percaya dan ingin melindungi diri sendiri.

Di luar, suara dunia kampus terdengar samar—tawa mahasiswa, langkah kaki, bisik angin di pepohonan. Semua itu terasa jauh, seperti kehidupan yang berjalan di tempat lain, sementara aku tetap duduk di sini, mencoba menenangkan diri, mencoba merapikan serpihan hati yang berserakan.

Aku menutup mata, menarik napas panjang, membiarkan cahaya sore memeluk wajahku. Di dalam diam ini, aku sadar satu hal— meski hatiku retak, aku masih di sini. Masih mampu merasa. Masih mampu berharap. Dan mungkin… suatu saat nanti, luka ini akan menemukan jalannya untuk sembuh.

Aku meraih ponsel, membuka pesan itu lagi, dan jari-jariku menari di layar untuk menulis balasan. Kata-kata keluar perlahan, tersusun seperti puisi yang tidak utuh.

'Nick, aku ingin memaafkanmu. Aku ingin melupakan semuanya. Aku ingin kita bersama lagi seperti hari-hari sebelumnya. Tapi, rasanya begitu sulit. Fakta bahwa kamu begitu peduli pada Alice dan membayangkan kedekatan kalian, atau bahkan Alice memelukmu. Rasanya begitu menyakitkan.'

Aku menatapnya, membaca ulang kalimat itu berulang kali. Hati kecilku berbisik bahwa kata-kata ini terlalu rapuh, untuk menampung semua rasa yang berputar di dadaku. Tapi sekaligus, aku takut. Takut jika kata-kata ini benar-benar terkirim, takut jika setelah itu aku menyesal, atau lebih buruk, merasa lebih hancur.

Akhirnya, aku menutup keyboard. Pesan itu tetap menjadi draf, tersembunyi di layar ponsel—ada, tapi tak pernah dikirim. Seolah kata-kata itu lebih aman jika hanya disimpan untuk diriku sendiri, sebagai pengakuan yang tak perlu orang lain tahu, bahkan Nick.

Hening memenuhi kamar. Nafasku bergelombang, seperti gelombang yang menghantam karang hati. Aku berbicara pada diri sendiri dalam sunyi.

"Mengapa sulit sekali mempercayai seseorang yang benar-benar peduli? Apakah karena aku takut terluka lagi, atau karena aku terlalu sering terluka sebelumnya?"

Aku menunduk, menatap tangan yang masih memeluk lutut. "Aku ingin menyerah pada rasa sakit ini, tapi aku juga ingin tetap merasa. Aku ingin memberi kesempatan… tapi hatiku terlalu rapuh untuk membuka diri sepenuhnya sekarang."

Ada tawa kecil yang muncul dari dalam, campur aduk antara kesedihan dan ironi. "Betapa rumitnya cinta." , gumamku lirih. "Betapa rapuhnya hati yang ingin percaya, tapi juga ingin melindungi diri."

Aku menatap draf pesan itu lagi, lalu menutup ponsel. Biarlah itu tetap tersimpan. Biarlah kata-kata itu menjadi saksi dari hatiku yang sedang mencoba menemukan jalan sendiri. Sementara dunia terus berjalan di luar jendela, aku duduk di sini, dengan luka, rindu, dan harapan yang masih samar—menunggu hari ketika hatiku benar-benar siap untuk percaya kembali.

Suara pintu kamar yang terbuka membuyarkan lamunanku. Aku mengangkat kepala, dan di ambang pintu, berdiri Nina dengan tas kamera tergantung di bahunya, wajahnya masih bersinar setelah perkumpulan klub fotografi. Tapi ada sesuatu dalam matanya—kilau perhatian yang tajam, menembus dinding sunyi yang kubangun.

“Nora!”, serunya pelan, melangkahkan kaki, menghampiriku. “Sepertinya, aku tidak bisa terus diam saja melihatmu seperti ini.”

Aku tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan luka di mataku, tapi Nina sudah membaca semuanya. Ia meletakkan tasnya, duduk di tepi ranjang, dan menatapku dengan mata yang tajam namun hangat.

“Kamu masih mencintainya, bukan?”, suaranya rendah tapi mantap. “Aku tahu, Nora. Aku bisa melihatnya—dari tatapanmu, dari caramu menyimpan semua ini sendiri.”

Aku menelan ludah, rasa malu dan lega bercampur menjadi satu. “Aku… aku tidak tahu harus bagaimana, Nina. Rasanya… terlalu banyak yang berputar di kepala dan di hati ini.”

Nina menggeleng, menatapku dalam. “Nora, dengarkan aku! Aku tidak bisa tinggal diam melihatmu tersiksa. Aku tidak peduli seberapa rapuh hatimu, seberapa banyak luka yang kamu bawa. Nick... jelas dia masih ingin bersamamu, dan kamu...juga masih mencintainya. Jadi, maaf kali ini kurasa aku akan ikut campur. Aku tidak akan membiarkan kalian saling salah paham atau menahan diri karena takut.”

Aku menatapnya, mata sedikit membasah, hati berdebar. “Ikut campur?” bisikku, hampir tidak percaya.

“Iya, ikut campur.” jawabnya mantap. “Kalau kamu tidak sanggup mengatakan sesuatu padanya, aku akan pastikan dia tahu apa yang sebenarnya kamu rasakan dan inginkan untuk hubungan kalian. Kalian berdua… tidak bisa terus begini.”

Aku menarik nafas panjang, merasakan hangatnya dukungan Nina merambat ke dalam. Ada rasa aman yang aneh, seolah sahabatku ini menjadi perisai untuk hatiku yang rapuh. Tapi di saat yang sama, ada ketakutan halus—takut jika ikut campur itu berarti semua emosi yang kubangun dalam diam akan terhempas lebih cepat dari yang bisa kubayangkan.

Nina menepuk bahuku, senyumnya menenangkan tapi juga penuh tekad. “Percayalah, Nora! Aku tidak akan membiarkanmu tersiksa sendirian. Jadi, persiapkan dirimu… kita akan hadapi ini bersama. Kalau cinta ini benar, maka dia akan tetap di sini. Kalau tidak… setidaknya kamu tidak sendirian.”

Aku menutup mata, membiarkan kata-katanya meresap. Di antara rasa sakit dan rindu, ada sedikit cahaya—janji bahwa aku tak perlu menghadapi kekacauan hati ini sendirian. Nina ada di sini, siap ikut campur, siap memaksa hati kami menemukan jalannya.

"Trims, Nina.", bisikku.

Nina mencondongkan tubuh, matanya menatap dalam ke mataku. “Kamu tidak sendiri, Nora. Aku akan menuntunmu—setidaknya sedikit—supaya kamu bisa menghadapi apa yang seharusnya kamu hadapi. Kamu ingin dia tahu apa yang kamu rasakan, bukan? Aku bisa membantumu.”

Aku menarik napas panjang, membiarkan dadaku naik turun perlahan. “Aku… aku takut. Takut kalau hatiku hancur lagi, kalau semua ini terlalu cepat, atau kalau aku salah paham lagi.”

“Tidak apa-apa, Nora.” Nina berkata, suaranya lembut tapi tegas. “Ketakutanmu wajar. Tapi kalau kalian berdua masih mencintai, tidak ada gunanya menunda. Aku tahu kamu takut terluka, tapi aku juga tahu kalau hatimu masih ingin percaya. Dan Nick… dia masih ada di sana. Dia menunggu, sama sepertimu.”

Aku menunduk, menatap tangan sendiri yang masih memeluk lutut. Ada detak jantung yang tak bisa kusembunyikan—antara takut dan rindu. “Aku… aku berharap kamu benar, Nina. Aku benar-benar berharap semua ini bisa berjalan dengan baik.”

Nina tersenyum, menepuk tanganku. “Percayalah, aku akan mengurus sisanya. Kamu hanya perlu… bersiap, Nora. Bersiap menerima apa pun yang terjadi.”

Dan untuk pertama kalinya, ada keberanian yang menyala perlahan di hatiku. Keberanian untuk menghadapi Nick, untuk menghadapi apa pun yang akan datang, dan untuk membuka sedikit demi sedikit dinding yang selama ini kubangun di sekeliling hatiku.

Nina mengambil ponselnya dari meja, tanpa ragu mengetik sesuatu. Aku hanya bisa menatap, jantungku berdegup kencang, seakan tubuhku tahu apa yang akan terjadi sebelum pikiranku bisa mencerna.

“Aku akan mengirim pesan padanya.”, kata Nina, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. Jari-jarinya bergerak cepat, mantap, seolah setiap huruf yang ia ketik adalah bagian dari keputusan yang tidak bisa ditarik kembali.

Dadaku langsung sesak. Aku hanya mampu menatap Nina, tanpa bisa berkata-kata.

Nina menoleh padaku, matanya lembut tapi penuh keteguhan. “Nora, aku tahu mungkin kamu belum siap, bahkan mungkin tidak akan pernah merasa siap. Tapi kalau tidak sekarang, sampai kapan kamu akan terus terjebak di antara luka dan rindu? Percayalah, aku hanya ingin kamu berhenti menyiksa diri sendiri.”

Suara ketukan tombol ponselnya terdengar nyaring di telingaku, seperti gema yang mengguncang seluruh ruang kamar.

“Aku sudah bilang padanya.”, kata Nina akhirnya, menutup ponselnya setelah menekan tombol kirim. “Aku memintanya bertemu besok. Aku akan bicara padanya. Aku berharap setelah ini... di antara kalian...tidak ada lagi jarak, tidak ada lagi salah paham.”

Aku menatap Nina dengan campuran takut dan lega. Tubuhku terasa ringan sekaligus berat. Sebagian dari diriku ingin berlari, menghindar dari kenyataan yang semakin dekat. Tapi bagian lain… bagian yang lebih dalam… merasakan sesuatu yang sudah lama hilang—harapan.

1
Yellow Sunshine
Halo, Readers? Siapa disini yang kesel sama Alice? Angkat tangan 🙋‍♂️🙋‍♀️. Author juga kesel nih sama Alice. Kira-kira rencana Alice untuk menggoda dan mengejar Nick akan berlanjut atau berhenti sampai sini ya? Coba tebak 😄
Arass
Lanjutt thorr🤩
Yellow Sunshine: Siap. Semangat 💪🫶
total 1 replies
Yellow Sunshine
Hai, Readers? Siapa nih yang nggak sabar liat Nora sama Nick jadian? Kira-kira mereka jadian di bab berapa ya?
Aimé Lihuen Moreno
Wih, seruu banget nih ceritanya! Jangan lupa update ya thor!
Yellow Sunshine: Thanks, Reader. Author jadi makin semangat nih buat update 😍
total 1 replies
Melanie
Yowes, gak usah ragu untuk baca cerita ini guys, janji deh mantap. 😍
Yellow Sunshine: Thanks, Reader. It means a lot 😍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!