Alina harus menerima kenyataan kalau dirinya kini sudah bercerai dengan suaminya di usia yang masih sama-sama muda, Revan. Selama menikah pria itu tidak pernah bersikap hangat ataupun mencintai Alina, karena di hatinya hanya ada Devi, sang kekasih.
Revan sangat muak dengan perjodohan yang dijalaninya sampai akhirnya memutuskan untuk menceraikan Alina.
Ternyata tak lama setelah bercerai. Alina hamil, saat dia dan ibunya ingin memberitahu Revan, Alina melihat pemandangan yang menyakitkan yang akhirnya memutuskan dia untuk pergi sejauh-jauhnya dari hidup pria itu.
Dan mereka akan bertemu nanti di perusahaan tempat Alina bekerja yang ternyata adalah direktur barunya itu mantan suaminya.
Alina bertemu dengan mantan suaminya dengan mereka yang sudah menjalin hubungan dengan pasangan mereka.
Tapi apakah Alina akan kembali dengan Revan demi putra tercinta? atau mereka tetap akan berpisah sampai akhir cerita?
Ikuti Kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ara Nandini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Bos dan Sekretaris
Seven years later...
Seorang wanita masuk ke salah satu ruangan berdesain modern setelah memencet bel di samping.
Wanita itu mengulum senyumnya lalu berjalan ke arah pria yang memakai kacamata bening, tampak fokus pada laptop di depannya.
“Ini, Pak. Dokumen yang Anda minta,” ucap sang sekretaris, menyerahkan map berisi berkas-berkas penting.
“Taruh di sini,” sahut pria itu tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptopnya yang menampilkan grafik dan data proyek pembangunan.
“Rapat hari ini akan dimulai pukul 09.00, Pak."
“Hum,”
Ia melepas kacamatanya, mengusap pelipis yang mulai terasa tegang, lalu melirik ke arah jam tangan mewah di pergelangan kirinya.
“Sepuluh menit lagi…”
“Bisa kamu buatkan kopi?” tanyanya, kali ini dengan nada lebih lembut.
“Tentu saja,” jawabnya dengan senyum manis sebelum berbalik keluar dari ruangan.
Begitu pintu tertutup, pria itu bangkit dari kursinya dan berjalan menuju sofa hitam di sudut ruangan. Ia menjatuhkan tubuhnya, memejamkan mata sejenak sambil memijat keningnya.
Lima menit berlalu. Wanita itu kembali dengan secangkir kopi favoritnya—Americano dengan dua sendok gula aren.
“Ini, minumlah,” ucapnya sambil meletakkan cangkir di atas meja.
“Thanks,” balas pria itu singkat, lalu menyeruput perlahan.
“Sini…” kata pria itu usai menyeruput kopinya.
“Hah?”
“Sini, duduk di pangkuan aku.”
“Kamu gila? Ini di kantor!”
“Aku butuh vitamin,” ucapnya sambil cemberut manja. “Ayolah… sebentar aja. Nanti pas rapat aku loyo…”
“Ck, ini masih jam kerja,”
Namun tanpa aba-aba, pria itu langsung menarik tubuh mungil wanita itu hingga terjatuh tepat di pangkuannya.
“Revan!” jeritnya.
Revan hanya tertawa pelan, lalu memeluk pinggang ramping sang kekasih yang merangkap jadi sekretaris. Kepalanya bersandar manja di bahu wanita itu, sesekali mengendus leher putih kekasihnya.
“Ish… lepasin! Nanti ada yang lihat!” protes Devi, meski kini tangannya sudah melingkar di leher Revan.
"Biarin aja,"
Devi berdecak, pasrah. Padahal dia sudah sering mengingatkan bahwa di kantor mereka harus profesional. Tapi nyatanya, Revan selalu punya cara untuk mengambil kesempatan.
"Ayo kita nikah, biar bisa mesra-mesraan sepuasnya." kata Revan tiba-tiba.
Devi mengangkat tangannya lalu membelai rahang pria itu yang ditumbuhi bulu-bulu halus.
"Mama kamu aja belum kasih restu," katanya pelan.
"Kalau gitu kita kawin lari aja." Kata Revan sambil menikmati elusan lembut tangan Devi.
"Ish... nggak mau aku. Pernikahan tanpa restu itu nggak baik."
Revan menarik napas panjang, wajahnya menunjukkan frustrasi. Selama bertahun-tahun, dia sudah berusaha keras mendapatkan restu mamanya, Felix sebenarnya tidak terlalu mempermasalahkan, tapi masalahnya ada di Jesika.
"Apa sih kurangnya kamu? Udah cantik, body bagus, pinter, jago masak, multi talenta banget"
"Mereka mau nyari menantu kayak gimana lagi sih?"
Kata-kata Revan membuat Devi tersenyum getir. "Kamu harusnya nyari yang setara sama kamu, bukan cewek kayak aku. Aku cuma lulusan SMA. Cuma gadis biasa yang beruntung banget bisa duduk di sini, jadi sekretaris dan... pacar kamu."
"Nggak boleh ngomong gitu. Kamu mungkin lulusan SMA, tapi kamu punya attitude yang bagus, kerja kamu luar biasa, dan setia sama aku. Itu yang aku suka dari kamu,"
"Udah, lepasin aku. Dua menit lagi rapatnya mulai."
"Cium dulu."
"Nggak, nanti kamu kebablasan."
"Kalau kamu nggak mau, biar aku aja yang mulai..." kata pria itu lalu menarik tengkuk Devi dan menyatukan bibir mereka.
Sementara itu, di ruang rapat...
Rama, sahabat Revan, sedang menunggu. Ia menjabat sebagai divisi pengembangan sekaligus asisten pria itu, kini dia sudah duduk bersama beberapa kepala divisi yang akan ikut rapat.
"Tunggu sebentar, Saya akan memanggil Pak Revan"
"Awas aja kalau mereka mesra-mesraan lagi..."
Ia melangkah cepat ke ruangan pria itu, mengetuk sekali lalu langsung membuka pintu kaca buram itu.
Begitu masuk, matanya langsung membelalak.
Di sofa, pria itu tengah menindih tubuh Devi yang terbaring. Dalam posisi masih berciuman.
"WOI!!" teriaknya.
Sontak Revan dan Devi terkejut.
Revan bangkit, matanya menatap tajam ke arah Rama.
Devi langsung duduk dan menunduk malu. Ini bukan pertama kalinya dia dipergoki oleh Rama.
“Beraninya lo masuk ke ruangan gue tanpa ketuk pintu dulu?!” bentak Revan.
“Lo yang kelamaan. Ini udah lewat dari jam rapat! Emang nggak becus lo jadi direktur,” balas Rama dengan kesal.
“Kalau tadi yang gue suruh ngecek itu staf lain, terus ngeliat lo kayak tadi, habis lo!”
“Udah berapa kali gue memergoki lo mesra-mesraan sama Devi? Coba tahan dikit, ini masih jam kerja, bro!” tambahnya lagi sambil geleng-geleng kepala.
Revan mengembuskan napas kasar, berusaha menahan emosi. Ia menoleh ke Devi. "Ayo,"
Tanpa banyak bicara lagi, Revan berjalan keluar lebih dulu menuju ruang rapat.
Rama menghela napas panjang lalu menggumam dengan nada dramatis, “Alamak, apa gue diciptakan cuma buat jadi saksi orang mesra-mesraan, sementara gue masih jomblo? Oh my God...”
•••••••
Rapat berlangsung di ruang konferensi utama. Di layar proyektor, tertera slide pertama presentasi tender proyek pembangunan Sunrise City Mall, sebuah pusat perbelanjaan modern yang akan dibangun di kawasan strategis pusat kota.
“Jadi, strategi kita untuk tender proyek mal ini bagaimana?”
“Kita ajukan penawaran dengan estimasi biaya kompetitif, sedikit lebih rendah dari standar pasar, tapi dengan nilai tambah berupa konsep desain futuristik dan fasilitas lengkap. Selain itu, kita tawarkan timeline pengerjaan yang lebih cepat dari rata-rata, tanpa mengorbankan kualitas. Itu akan jadi poin unggulan kita,”
“Saya juga sudah berkoordinasi dengan tim legal dan keuangan. Semua dokumen pendukung, termasuk studi kelayakan dan perizinan awal, sudah siap,” tambahnya.
“Oke. Untuk bagian desainnya?”
“Desain mal ini mengusung konsep terbuka dan eco-friendly, menyesuaikan dengan tren bangunan hijau. Kami juga menambahkan elemen lokal dalam interiornya untuk meningkatkan daya tarik pengunjung. Desain lengkap, render 3D, dan analisis biaya konstruksi sudah saya lampirkan di folder rapat,” jelas Revan sambil membuka slide berikutnya.
Sementara itu, Devi duduk di depannya. Ia memandangi pria itu dalam diam, sesekali mencatat poin-poin penting.
Revan memang selalu terlihat gagah dan berwibawa saat sedang memimpin rapat. Matanya tajam, suaranya lantang, dan caranya berbicara begitu meyakinkan.
“Jadi, ada pertanyaan lagi sebelum kita tutup rapat?” tanya Revan sambil menatap semua yang hadir.
Ruang rapat hening. Semua tampak puas dengan pemaparan yang telah diberikan.
“Baik, kalau begitu, rapat kita cukupkan sampai di sini. Terima kasih atas kerjasamanya,” tutup Revan.
Setelah semua divisi meninggalkan ruang rapat, tersisa hanya Rama, Revan dan Devi.
“Semoga proyek kita berjalan lancar," kata Rama, menatap Revan sambil merapikan jasnya.
“I hope so”
“Gue keluar duluan. Bye, lovebirds, kalau mau mesra-mesraan jangan di kantor noh di hotel, sekalian Lo berdua skidi_"
Perkataan Rama berhenti saat Revan melempar bolpoin ke arahnya. Pria itu langsung lari terbirit-birit.
Sementara Devi hanya menggelengkan kepalanya pelan.
Begitu Rama pergi, Revan menoleh ke Devi. “Habis ini mau makan siang bareng?”
“Hm, boleh,”
“Kamu mau di mana? Restoran Jepang atau Korea?”
“Di mana aja, aku ikut kamu,”
Selama perjalanan ke restoran, Revan terus menggenggam tangan Devi erat. Bibirnya terus mencium punggung tangan kekasihnya itu dengan lembut.
“I love you... I love you...”