Untuk membalaskan dendam keluarganya, Swan Xin menanggalkan pedangnya dan mengenakan jubah sutra. Menjadi selir di Istana Naga yang mematikan, misinya jelas: hancurkan mereka yang telah membantai klannya. Namun, di antara tiga pangeran yang berebut takhta, Pangeran Bungsu yang dingin, San Long, terus menghalangi jalannya. Ketika konspirasi kuno meledak menjadi kudeta berdarah, Swan Xin, putri Jendral Xin, yang tewas karena fitnah keji, harus memilih antara amarah masa lalu atau masa depan kekaisaran. Ia menyadari musuh terbesarnya mungkin adalah satu-satunya sekutu yang bisa menyelamatkan mereka semua.
Langkah mana yang akan Swan Xin pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 Warisan darah sah sejati.
Bekapan itu menekan rahangnya, memaksa isak tangis yang tertahan kembali ke dalam kerongkongannya. Swan tidak melawan. Energi untuk memberontak telah terkuras habis, digantikan oleh hawa dingin yang merambati tulang punggungnya. Jari-jari kasar Prajurit Bayangan itu sedikit gemetar, namun cengkeramannya tetap kokoh laksana baja. Dari celah tirai, ia masih bisa melihat sepatu bot Jenderal Zen yang diam tak bergerak, seolah sedang menimbang-nimbang.
"Apakah Anda yakin telah memeriksa semuanya, Kapten?" Suara Zen terdengar lagi, rendah dan berbahaya. "Insting saya mengatakan bahwa tikus kecil itu masih bersembunyi di dalam liangnya."
"Kami sudah membongkar setiap lemari dan menjungkirbalikkan setiap peti, Jenderal." Suara sang kapten terdengar gugup. "Tidak ada jejaknya sama sekali. Mungkin dia memang telah melarikan diri sebelum kita tiba."
Terdengar dengusan samar. "Mungkin. Atau mungkin Jenderal Xin lebih licik dari yang kita duga." Sepatu bot itu akhirnya bergerak, berputar, dan melangkah menjauh. "Bakar seluruh kediaman ini. Jangan sisakan apa pun kecuali abu. Titah Kekaisaran harus dilaksanakan tanpa sisa."
"Siap, laksanakan, Jenderal!"
Deru langkah kaki yang menjauh menjadi penanda bagi Prajurit Bayangan di belakang Swan. Tanpa suara, ia menarik sebuah permadani tebal di lantai, memperlihatkan sebuah panel kayu tersembunyi. Bekapannya mengendur sesaat, hanya cukup untuknya berbisik langsung di telinga Swan. Suaranya serak, seperti gesekan pasir.
"Jangan bersuara sedikit pun, Nona Xin," bisiknya. "Demi kehormatan Ayahandamu, tetaplah diam. Kehidupan Anda bergantung padanya."
Panel kayu itu terangkat tanpa derit, menyingkap kegelapan pekat yang berbau tanah lembap dan lumut. Udara dingin menyergap kaki telanjang Swan. Sebelum ia sempat memproses apa yang terjadi, tubuh mungilnya telah diangkat ke dalam dekapan lengan yang kokoh. Prajurit itu memeluknya erat di dada, satu tangan kembali membekap mulutnya dengan lembut namun tegas.
"Peganglah erat-erat," katanya lagi, suaranya nyaris tak terdengar. "Jalan di depan kita akan sangat gelap dan sempit."
Kegelapan menelan mereka. Swan hanya bisa merasakan getaran dari setiap langkah cepat namun hati-hati sang prajurit. Bau anyir darah dari seragam pria itu bercampur dengan aroma apek dari terowongan bawah tanah. Isak tangis yang coba ia tahan kini berubah menjadi getaran hebat di sekujur tubuhnya. Air mata panas mulai membasahi punggung tangan pria yang membekapnya.
"Saya mengerti rasa sakit Anda, Nona," bisik prajurit itu. Napasnya hangat di sela-sela rambut Swan. "Tetapi sekarang bukan waktunya untuk bersedih. Sekarang adalah waktunya untuk bertahan hidup. Ayahandamu tidak akan menginginkan putrinya menyerah."
"Si-siapa... Anda?" Swan mencoba berbicara, namun suaranya teredam oleh bekapan itu menjadi gumaman tak jelas.
"Saya adalah bayangan dari kesetiaan Jenderal Besar Xin," jawabnya lirih. "Saya adalah pedang Kaisar yang sesungguhnya. Tugas kami adalah melindungi satu-satunya warisan yang tidak dapat mereka curi. Anda, Nona Swan Xin."
Di kejauhan di atas mereka, terdengar teriakan-teriakan panik dan derak kayu yang terbakar. Rumahnya kini menjadi neraka. Semua kenangannya dilalap api.
"Mereka membakar semuanya," bisik Swan getir, air mata mengalir semakin deras.
"Mereka boleh membakar kayu dan sutra," balas Prajurit Bayangan itu, langkahnya tetap tidak melambat. "Tetapi mereka tidak akan pernah bisa membakar kehormatan dan warisan sejati. Jenderal Zen dan Menteri Su Yang telah memfitnah Ayahandamu untuk merebut posisi dan kekuatannya. Namun, Kaisar tidaklah buta. Beliau hanya sedang terbaring sakit dan tidak berdaya untuk melawan secara terbuka."
Tiba-tiba, prajurit itu berhenti. Dekapannya pada Swan mengerat. Ia mendorong tubuh Swan ke dalam sebuah ceruk sempit di dinding terowongan, menempatkan jari telunjuknya di depan topengnya sendiri. Dari ujung lorong di depan mereka, terlihat cahaya obor yang bergoyang-goyang.
"Cepat periksa lorong ini!" Suara seorang prajurit menggema di terowongan sempit. "Aku bersumpah mendengar sesuatu."
"Ini hanyalah saluran pembuangan tua," sahut yang lain dengan malas. "Mana mungkin ada orang yang mau lewat sini."
"Jenderal Zen memerintahkan untuk memeriksa setiap lubang tikus yang ada," balas suara pertama dengan tegas. "Dan aku tidak ingin menjadi orang yang melaporkan kegagalan kepadanya. Sekarang, ayo bergerak."
Dua bayangan prajurit Zen muncul, obor mereka menerangi dinding batu yang basah. Swan menahan napas, jantungnya berdebar begitu kencang seolah akan meledak dari dadanya. Prajurit Bayangan yang melindunginya sama sekali tidak bergerak, menyatu dengan bayang-bayang ceruk itu laksana patung batu.
"Lihat? Tidak ada apa-apa," kata prajurit kedua setelah mengarahkan obornya ke segala arah, nyaris mengenai tempat persembunyian mereka. "Hanya bau busuk dan kelelawar. Ayo kita kembali ke atas. Mungkin anak itu sudah terpanggang menjadi abu."
Prajurit pertama tampak ragu. "Tunggu sebentar. Sepertinya aku melihat..."
Ia tidak pernah menyelesaikan kalimatnya. Dengan kecepatan yang membutakan mata, Prajurit Bayangan melesat dari ceruk. Tidak ada teriakan. Yang terdengar hanyalah desisan tajam bilah pedek yang dihunus, diikuti oleh dua bunyi gedebuk pelan yang mengerikan. Obor itu jatuh ke lantai, berputar-putar dan mengedipkan cahaya sekarat sebelum akhirnya padam total, mengembalikan terowongan ke dalam kegelapan mutlak.
Swan merasakan tubuhnya ditarik kembali ke dalam dekapan hangat itu.
"Sudah aman, Nona," bisik Prajurit Bayangan. Suaranya tetap tenang, seolah ia baru saja merapikan tempat tidur, bukan merenggut dua nyawa. "Mereka tidak akan mengganggu kita lagi."
Mereka kembali bergerak dalam keheningan yang mencekam, hanya dipecah oleh suara napas mereka dan tetesan air dari langit-langit terowongan. Perjalanan terasa berlangsung selamanya. Ketika Swan merasa dirinya hampir menyerah pada kelelahan dan keputusasaan, ia merasakan hembusan udara segar di wajahnya.
Prajurit itu mendorong sebuah lempengan batu yang tertutup semak belukar. Cahaya bulan pucat menembus masuk, menyilaukan mata Swan yang telah terbiasa dengan kegelapan. Mereka telah berada di luar, di kaki sebuah gunung yang menjulang tinggi, jauh dari api dan jeritan di kediaman Xin.
Di sana, di bawah pohon pinus kuno, sesosok tubuh kurus berjubah abu-abu telah menunggu. Wajahnya dipenuhi kerutan kebijaksanaan, dan janggut putih panjangnya tergerai hingga ke dada. Pria tua itu menatap lurus ke arah mereka dengan mata yang seolah bisa melihat menembus jiwa.
"Kau membawanya," kata sosok tua itu. Suaranya tenang dan dalam, seperti gemericik air di dasar sungai.
Prajurit Bayangan menurunkan Swan dengan lembut ke tanah. Ia kemudian berlutut dengan satu kaki di hadapan pria tua itu. "Sesuai dengan perintah Anda dan titah rahasia Kaisar, Guru Besar Wen. Pewaris terakhir Jenderal Xin telah diamankan."
Pria tua itu mengangguk pelan. Ia melangkah maju dan berjongkok di hadapan Swan. Tangannya yang keriput namun hangat terulur, menyeka sisa air mata di pipi gadis kecil itu. Tatapannya penuh dengan kesedihan yang mendalam, namun juga secercah harapan.
"Kau telah melalui malam yang sangat mengerikan, Nak," ujarnya lembut.
Prajurit Bayangan berdiri. Ia menatap Swan untuk terakhir kalinya. Di bawah cahaya bulan, Swan bisa melihat lambang naga perak samar yang terukir di topeng hitamnya, lambang pasukan elite kekaisaran. Pria itu menundukkan kepalanya sedikit, sebuah isyarat hormat.
"Tugasku telah selesai sampai di sini, Nona Xin," katanya. "Guru Besar Wen akan menjagamu sekarang. Belajarlah dengan baik. Tumbuhlah menjadi kuat. Langit akan membutuhkan pedang dan pikiranmu suatu saat nanti."
Ia berbalik, siap untuk kembali menyatu dengan kegelapan malam.
"Tunggu," panggil Swan, suaranya serak dan gemetar. Ini adalah kata pertamanya sejak bencana itu dimulai. "Siapa nama Anda?"
Prajurit itu berhenti sejenak, namun tidak menoleh. "Nama kami tidak penting, Nona. Kami hanyalah alat keadilan. Kami adalah Pasukan Bayangan Kaisar."
Dengan itu, ia melompat ke dahan pohon terdekat dan menghilang tanpa suara, hanya menyisakan gemerisik daun yang tertiup angin. Swan ditinggalkan sendirian bersama pria tua misterius itu di kaki gunung yang sunyi. Pria tua itu meletakkan tangannya di bahu Swan.
Tepat sebelum Swan sempat bertanya apa pun, suara Prajurit Bayangan itu terdengar lagi, menggema pelan dari pepohonan di sekeliling mereka, seolah datang dari segala arah sekaligus. Itu adalah sebuah janji, sebuah ramalan, sebuah warisan baru yang diserahkan kepadanya.
"Balas dendammu dimulai di sini, Nona."
trmkash thor good job👍❤