Seorang Food Vlogger modern yang cerewet dan gila pedas, Kirana, tiba-tiba terlempar ke era kerajaan kuno setelah menyentuh lesung batu di sebuah museum. Di sana, ia harus bertahan hidup dengan menjadi juru masak istana, memperkenalkan cita rasa modern, sambil menghindari hukuman mati dari Panglima Perang yang dingin, Raden Arya.
2. Goyangan Wajan Maut
“Oke, Laras, dengerin instruksi Chef Key baik-baik. Misi kita adalah: bikin Baginda Raja kelaparan cuma dari baunya doang.”
Kirana berdiri di depan tungku api yang menyala-nyala. Panasnya luar biasa, membuat keringat langsung bercucuran di pelipisnya, melunturkan sisa make-up yang ia pakai sejak dari museum.
Ia menatap nanar pada ulekan batu raksasa di depannya. Di abad ke-21, ia tinggal menekan tombol blender. Di sini? Ia harus mengandalkan otot bisepnya yang tidak seberapa ini.
“Ini sih bukan masak, ini gym.” Keluh Kirana sambil mulai menggerus bawang merah, cabai rawit, dan sedikit terasi.
“Nyai Key…itu…terasinya jangan banyak-banyak.” Cicit Laras yang berdiri di sampingnya. Sambil memegang kipas bambu. “Nanti Ki Gedeng marah kalau baunya terlalu menyengat.”
Kirana mendengus. “Justru itu kuncinya, Laras! Bau itu! Kita harus bikin satu istana bersin-bersin tapi penasaran.”
Di sudut dapur, Ki Gedeng Roso duduk di atas bangku kecil sambil mengasah pisau daging besar. Matanya tak lepas mengawasi Kirana. Setiap kali Kirana melakukan gerakan yang menurutnya aneh, ia mendengus keras-keras.
“Lihat cara dia memegang ulekan.” Gumam Ki Gedeng pada salah satu anak buahnya. “Seperti memegang bayi baru lahir. Lemah! Tidak bertenaga! Masakan itu butuh jiwa yang keras!”
Kirana pura-pura tuli. Tangannya mulai pegal, tapi bumbu halus berwarna merah kecokelatan itu akhirnya jadi. Baunya tajam menusuk hidung. Sempurna.
“Sekarang, wajan.” Seru Kirana.
Laras tergopoh-gopoh membawakan sebuah wajan cekung besar yang terbuat dari baja hitam tebal. Benda itu beratnya minta ampun.
“Gila, ini wajan apa tameng Kapten Amerika?” Kirana meletakkannya di atas lidah api yang menjilat-jilat.
Ia menuang sedikit minyak kelapa. Minyak itu mendesis seketika.
“Laras, Nasi!”
Laras menyodorkan bakul berisi nasi dingin sisa kemarin.
“Telur!”
Laras memecahkan dua buah butir telur ayam kampung ke dalam mangkok batok kelapa.
Dan dimulailah pertunjukkan itu.
Kirana, yang biasa membuat konten masak estetik dengan gerakan lambat, kini berubah menjadi monster dapur. Ia menuang telur ke minyak panas.
SRESS!!
Telur itu menggelembung dan matang dalam hitungan detik. Dengan cepat ia mengorak-ariknya. Asap putih mengepul.
“Bumbu masuk!”
BLAR!
Karena minyak terlalu panas dan ada cipratan air dari bumbu, api dari tungku menyambar ke dalam wajan. Lidah api berkobar tinggi hingga nyaris menyentuh atap rumbia.
“KEBAKARAN! GUSTI, KEBAKARAN!” Teriak Ki Gedeng panik. Ia melompat dari bangkunya, siap menyiramkan seember air.
“JANGAN DISIRAM, PAK TUA!” Teriak Kirana tak kalah keras. “Ini namanya teknik flambe! Biar ada aroma asapnya!”
Padahal dalam hati Kirana menjerit panik, anjir, kegedean apinya! Mati gue!
Tapi ia tetap harus keliatan cool. Dengan sekuat tenaga, ia mengangkat wajan baja yang super berat itu dan menggoyangkannya. Nasi putih dingin masuk. Ia mengaduknya dengan cepat menggunakan spatula kayu, membiarkan nasi itu ‘menari’ di dalam kobaran api sebentar sebelum apinya padam sendiri.
Bunyi klontang-klonteng wajan beradu dengan spatula kayu menggema memenuhi dapur.
Seluruh penghuni dapur berhenti bekerja. Mereka melongo melihat pemandangan itu. Seorang gadis asing berpakaian aneh, menari di depan api sambil menggoyang wajan raksasa dengan kecepatan yang tidak masuk akal. Keringat membasahi wajahnya, rambutnya awut-awutan, tapi matanya menyala penuh konsentrasi.
Dan baunya…
Bau terasi bakar yang gurih, bercampur dengan aroma bawang yang terkaramelisasi dan telur goreng, mulai merayap ke seluruh penjuru ruangan. Perut-perut yang lapar mulai berbunyi. Bahkan Ki Gedeng Roso pun tanpa sadar menelan ludah.
Kirana menuangkan kecap manis [untungnya gula merah cair yang kental itu berfungsi mirip kecap] di pinggiran wajan, menciptakan aroma karamel yang gosong nan sedap.
“Laras, garem! Cepet, sebelum tangan gue putus megangin wajan ini!”
Laras dengan gemetar menaburkan garam kasar.
Kirana melakukan goyangan terakhir—toss—melemparkan nasi ke udara dan menangkapnya kembali dengan wajan. Sempurna. Nasi itu berubah warna menjadi cokelat keemasan, setiap butirnya terpisah dan mengilap oleh minyak.
“Selesai!” Kirana membanting wajan kembali ke tungku dengan napas terengah-engah.
Ia merasa lengannya seperti baru saja ikut lomba tarik tambang. Jantungnya berdegup kencang.
Ia mengambil sendok kecil, mencicipi sedikit.
Matanya terpejam. Gurih, sedikit pedas, ada manis karamel nya, dan aroma ‘gosong’ yang khas. Ini dia. Nasi Goreng Kampung penyelamat nyawa.
“Cuma…Nasi Goreng?” Suara Ki Gedeng terdengar meremehkan, meski hidungnya kembang kempis mencium aromanya. “Kau mempertaruhkan nyawamu di depan Panglima Arya hanya untuk nasi sisa yang digoreng?”
Kirana tersenyum miring. Ia mengambil piring kayu polos, lalu mencetak nasi goreng itu menggunakan mangkuk kecil agar bentuknya bulat rapi. Ia menambahkan irisan timun dan kerupuk udang melempem yang ia temukan di toples kaca buram.
Plating is everything, Sayang.
“Ini bukan sekedar nasi goreng, Ki.” Kata Kirana sambil menaburkan bawang merah goreng di atasnya sebagai sentuhan akhir. “Ini adalah ‘Nasi Goreng Royal Rempah Surprise ala Chef Key’. Makanan yang akan mengubah sejarah kuliner kerajaan ini.”
Tepat saat Kirana meletakkan piring kayu itu di atas meja, pintu dapur terbuka.
Hawa dingin kembali menusuk. Raden Arya berdiri di ambang pintu, masih dengan wajah datarnya yang menakutkan. Dua prajurit di belakangnya siap siaga.
Mata elang Arya menatap piring kayu di depan Kirana.
“Sudah selesai?” Tanyanya dingin.
“Sudah, Mas Panglima.” Jawab Kirana, berusaha menyembunyikan tangannya yang gemetar di belakang punggung. “Silahkan dibawa. Tapi hati-hati, panas. Jangan di tiup-tiup, nanti virusnya nyebar.”
Raden Arya mengabaikan celotehan itu aneh itu. Ia memberi syarat pada salah satu prajurit untuk mengambil nampan berisi makanan itu.
Sebelum berbalik pergi, Arya menatap Kirana lurus-lurus.
“Matahari sudah hampir tenggelam.” Ucapnya pelan, namun terdengar seperti vonis mati. “Berdoalah, Gadis Asing. Karena jika Baginda Raja memuntahkan makanan ini…buaya-buaya di parit sudah sangat lapar menunggumu.”
Pintu tertutup kembali.
Kirana merosot lemas ke lantai tanah yang kotor. Kakinya seperti jeli. Laras segera menghampirinya, memijat bahunya.
“Gila” bisik Kirana, menatap langit-langit dapur yang menghitam oleh asap. “Gue baru aja masak buat Raja zaman Majapahit pakai nyawa sebagai taruhannya. Kalau ini masuk konten YouTube, gue pasti dapet Gold Play Button.”
Sekarang, yang bisa mereka lakukan hanyalah menunggu. Menunggu vonis dari lidah sang Raja.
Sepeninggal Raden Arya, keheningan di dapur kembali pecah oleh desahan napas lega para bawahan dapur. Mereka mulai berbisik-bisik, mata mereka tak lepas memandang wajan baja hitam yang masih mengepulkan asap tipis di atas tungku.
Aroma gurih yang tertinggal di udara sungguh menyiksa.
Ki Gedeng Roso masih berdiri kaku di tempatnya. Harga dirinya sebagai Kepala Juru Masak Istana melarangnya untuk mengakui bahwa masakan “bocah asing” itu baunya lebih enak daripada opor ayam buatannya tadi pagi.
Namun, rasa penasaran adalah musuh terbesar seorang koki.
Dengan gerakan kaku, Ki Gedeng melirik Kirana yang masih duduk lemas di lantai sambil dikipasi Laras. Merasa tidak diperhatikan, pria tua itu mengendap-endap mendekati wajan.
Di dasar wajan, masih tersisa sedikit kerak nasi goreng dan beberapa butir nasi yang luput dari piring saji.
“Cih, warnanya cokelat kotor.” Gumam Ki Gedeng sinis, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa makanan itu racun. “Pasti rasanya seperti arang.”
Tangannya mencuil sedikit kerak nasi itu, lalu dengan ragu memasukkannya ke mulut.
Kres.
Mata Ki Gedeng membelalak.
Renyah.
Lalu di susul rasa gurih yang meledak. Perpaduan asin dari garam, manis karamel dari gula merah yang terkaramelisasi dan aroma terasi yang “nendang”, semuanya menyatu sempurna dengan rasa smoky [asap] akibat dari teknik api besar tadi.
Ki Gedeng terdiam. Lidahnya kelu. Selama 30 tahun memasak, ia selalu diajarkan bahwa masakan enak itu harus dimasak perlahan dengan santan kental dan puluhan rempah rumit. Tapi ini? Nasi sisa? Di goreng lima menit? Kenapa rasanya bisa membuat air liur membanjir?
Tanpa sadar, tangannya bergerak lagi, mencuil sisa kerak yang lebih besar.
“Enak kan, Pak Tua?”
Suara cempreng itu membuat Ki Gedeng tersedak.
Kirana sudah berdiri di belakangnya, bersandar pada meja kayu sambil bersedekap. Senyum miring menghiasi wajahnya yang cemong.
“S-siapa bilang?!” Ki Gedeng buru-buru menelan kunyahannya, wajahnya merah padam karena ketahuan. “Biasa saja! Terlalu asin! Dan…dan baunya aneh! Bau apek!”
“Itu namanya Umami, Ki” jelas Kirana santai, lalu mencomot sisa telur orak-arik dari wajan dan memakannya. “Rasa kelima yang belum ditemuin di zaman ini. Rahasianya bukan di bumbu, tapi di keseimbangan rasa dan suhu api.”
Kirana menatap Ki Gedeng tajam, namun kali ini tatapannya tidak bermusuhan. Lebih seperti ke sesama seniman yang saling menilai karya.
“Jujur aja, Ki. Kalau saya mati di makan buaya nanti malem…seenggaknya akuin kalau masakan saya layak masuk menu istana.”
Ki Gedeng terdiam lama. Ia menatap wajan yang kini nyaris bersih karena kerak-keraknya sudah ia habisi tanpa sadar.
“Kau…” Ki Gedeng mendengus kasar, lalu memalingkan wajah. “Kau terlalu banyak bicara. Bersihkan wajan itu! Kalau sampai berkarat, hantu nenek moyangku akan menghantuimu!”
Meski kata-katanya pedas, Kirana melihat sudut bibir Ki Gedeng sedikit terangkat. Dan yang lebih penting, Ki Gedeng tidak menyuruh prajurit untuk mengikatnya lagi. Itu adalah kemenangan kecil.
Sementara itu, di lorong menuju ruang pribadi Raja.
Raden Arya berjalan tegap membawa nampan kayu. Langkahnya mantap dan berwibawa, membuat para dayang dan prajurit yang berpapasan dengannya langsung menunduk hormat.
Namun, di balik wajah datarnya, Raden Arya sedang bertarung melawan dirinya sendiri.
Bau nasi goreng di nampan yang ia bawa benar-benar kurang ajar. Uap panasnya terus mengepul, langsung menusuk ke hidung mancung sang Panglima.
Sialan, batin Arya. Bau apa ini? Kenapa perutku jadi berbunyi?
Sejak pagi ia hanya memakan sepotong ubi rebus karena sibuk melatih pasukan. Dan sekarang, ia harus membawa makanan yang baunya seribu kali lebih enak dari ubi rebus itu, tanpa boleh menyentuhnya sedikit pun.
Arya melirik piring kayu itu. Tumpukan nasi berwarna kecokelatan yang mengilap, taburan bawang goreng yang renyah…
Ia menelan ludah. Jakunnya bergerak naik turun.
Apakah aku coba sedikit? Bisik sisi jahat di kepalanya. Raja tidak akan tahu kalau nasinya berkurang satu sendok. Bilang saja jatuh.
Arya menggeleng kuat-kuat. Tidak! Aku Panglima Perang Arcapada! Aku bukan maling nasi!
Ia mempercepat langkahnya, berusaha kabur dari godaan aroma terasi itu. Tapi semakin cepat ia berjalan, semakin angin meniupkan aroma itu ke wajahnya.
“Gadis aneh.” Gerutunya pelan. “Kalau masakan ini racun, baunya adalah penipuan terbesar dalam sejarah kerajaan.”
Tanpa sadar, Arya berharap—hanya sedikit berharap—bahwa Raja akan menyisakan makanan ini. Atau setidaknya, memerintahkan gadis itu untuk memasak lagi…khusus untuknya.