Renjiro Sato, cowok SMA biasa, menemukan MP3 player tuanya bisa menangkap siaran dari masa depan. Suara wanita di seberang sana mengaku sebagai istrinya dan memberinya "kunci jawaban" untuk mendekati Marika Tsukishima, ketua kelas paling galak dan dingin di sekolah. Tapi, apakah suara itu benar-benar membawanya pada happy ending, atau justru menjebaknya ke dalam takdir yang lebih kelam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amamimi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kunci Jawaban Takdir
Akhir pekan terasa seperti demam yang tak kunjung sembuh.
Ren menghabiskannya dalam keadaan linglung. Tugas Matematika yang menjadi sumber masalahnya hari Jumat ia kerjakan dengan setengah hati di perpustakaan kota, otaknya terlalu sibuk memutar ulang rekaman suara misterius itu. Marika. Istrinya. Sepuluh tahun dari sekarang. Tiga frasa itu terus berkejaran di kepalanya seperti laron mengitari lampu.
Setiap beberapa jam, ia akan mengambil MP3 player butut itu, memasang earphone dengan antisipasi yang menyakitkan, dan menekan tombol play. Hasilnya selalu sama: lagu-lagu J-Rock yang biasa ia dengarkan, tanpa ada gangguan statis, tanpa suara wanita lembut yang memanggil nama kecilnya. Seolah-olah kejadian di peron stasiun itu hanyalah halusinasi akibat kelelahan dan stres.
Tapi ia tahu itu nyata. Detailnya terlalu spesifik. Rencana sakit perutnya? Tidak ada seorang pun di dunia ini yang tahu soal itu selain dirinya sendiri.
Ketika hari Senin tiba, berjalan memasuki gerbang sekolah terasa berbeda. Dunia yang tadinya hitam-putih dan membosankan, kini seolah memiliki lapisan rahasia yang hanya bisa ia lihat. Matanya secara otomatis mencari satu sosok di antara lautan seragam. Tsukishima Marika.
Dia melihatnya di koridor, sedang berbicara serius dengan beberapa anggota OSIS lainnya. Masih sama. Wajahnya lurus, nadanya tegas, posturnya sempurna. Tidak ada jejak kehangatan sedikit pun. Tidak ada tanda-tanda bahwa gadis sedingin es itu bisa tertawa kecil atau memanggil seseorang dengan sebutan "Sayang".
"Mustahil," bisik Ren pada dirinya sendiri saat ia menyelinap melewatinya, berusaha tidak menarik perhatian.
Di kelas, ia tidak bisa berhenti melirik ke arah bangku Marika di barisan depan. Ia mengamatinya saat menjawab pertanyaan guru dengan lancar, saat mencatat dengan tulisan tangan yang rapi dan terstruktur, saat menegur teman sebangkunya yang mengobrol. Setiap gerakannya efisien, terukur, dan dingin.
Wanita dari MP3 itu... benar-benar orang yang sama dengan dia? pikir Ren putus asa. Rasanya lebih mudah percaya bahwa alien akan menginvasi bumi besok pagi.
Hari pemilihan panitia festival budaya akhirnya tiba pada hari Rabu sore. Suasana kelas yang seharusnya sudah santai karena pelajaran telah usai, kini berubah tegang. Festival budaya adalah acara terbesar tahunan, dan menjadi panitia berarti mengorbankan waktu luang selama sebulan ke depan. Tentu saja, tidak ada yang mau sukarela.
"Baik, seperti tahun lalu, kita akan memilih perwakilan dari setiap seksi," kata Tanaka-sensei sambil mengetuk-ngetuk papan tulis dengan spidol. "Ketua komite festival dari kelas kita sudah jelas, Tsukishima-san akan melanjutkannya."
Marika hanya mengangguk singkat, menerima tugas itu seolah itu adalah haknya sejak lahir.
"Sekarang, untuk seksi-seksi lainnya..." Tanaka-sensei mulai menyebutkan beberapa nama untuk seksi dekorasi dan konsumsi, yang diterima dengan gerutuan pasrah. Jantung Ren mulai berdebar lebih kencang. Inilah saatnya.
"Untuk seksi perlengkapan," lanjut Tanaka-sensei, matanya menyapu seisi kelas, mencari mangsa. "Kita butuh dua orang laki-laki yang kuat. Ini pekerjaan berat, mengangkat panggung, memindahkan properti..."
Semua murid laki-laki, termasuk Ren, mendadak menundukkan kepala, sibuk memandangi ujung sepatu mereka atau berpura-pura menulis sesuatu yang sangat penting di buku catatan kosong.
Perut Ren terasa mulas. Ini dia. Kesempatannya untuk kabur. Ia bisa mengangkat tangan, memasang wajah sepucat mungkin, dan minta izin ke UKS. Rencana yang sudah ia siapkan sejak Senin. Tapi kemudian, suara Marika dewasa terngiang di kepalanya, jelas seolah wanita itu sedang berbisik di sampingnya.
"Kalau kamu kabur, kamu akan menyesal seumur hidup."
"Yamada, kamu badannya besar, kamu jadi ketua seksi," tunjuk Tanaka-sensei pada cowok bongsor di barisan depan yang terkenal malas. Yamada hanya bisa menghela napas keras. "Wakilnya..."
Mata Tanaka-sensei berkeliling sekali lagi, dan berhenti tepat padanya. Pada Ren.
"Sato. Kamu terlihat paling menganggur di belakang sana."
Seluruh kelas menoleh ke arahnya. Ren merasa seperti seekor rusa yang tertangkap sorot lampu mobil. Ia bisa merasakan tatapan Marika dari depan, mungkin tatapan meremehkan, berpikir bahwa anak pemalas sepertinya tidak akan becus.
Ini adalah pertarungan antara logika dan bisikan aneh dari masa depan. Logikanya berteriak untuk menolak, untuk lari. Tapi rasa penasaran yang menyiksanya selama seminggu terakhir lebih kuat.
Ren menelan ludah. Tangannya yang tadi sudah setengah terangkat untuk izin, kini terkepal di atas meja. Ia menegakkan punggungnya sedikit.
"...Baik, Sensei."
Jawaban lirih itu keluar dari mulutnya, mengejutkan teman-temannya, dan mungkin, dirinya sendiri.
Sore harinya, penyesalan itu datang dengan kekuatan penuh.
Ren berdiri sendirian di tengah gudang olahraga tua yang pengap dan berdebu. Yamada, si ketua seksi yang tidak bertanggung jawab, sudah kabur sepuluh menit yang lalu dengan alasan klise "ada les mendadak", meninggalkan Ren dengan setumpuk daftar inventaris.
"Sialan Yamada," gerutu Ren sambil menggeser tumpukan matras judo yang berat dan bau apek. Debu beterbangan ke udara, membuatnya terbatuk-batuk hingga matanya berair. "Dan sialan juga suara aneh itu. Apa yang akan mengubah nasibku di tempat rongsokan begini? Paling-paling aku cuma dapat penyakit pernapasan."
Dengan kesal, ia menendang pelan sebuah kotak kardus besar yang tergeletak di pojokan gelap.
KRAK.
Sisi kotak itu sobek, memperlihatkan isinya. Ren mengira itu bola atau peralatan olahraga lainnya, tapi ternyata bukan. Itu adalah tumpukan properti drama dari festival tahun lalu yang belum dibuang. Ada pedang-pedangan kayu, topeng hantu yang menyeramkan, dan di bagian paling atas... sebuah buku sketsa bersampul biru tua yang sudah agak lecek.
Didorong rasa penasaran, Ren berjongkok dan mengambil buku itu. Ia meniup debu tebal di sampulnya. Tidak ada nama, hanya inisial kecil berwarna perak di sudut kanan bawah: M.T.
"M.T...?" Ren mengerutkan kening. Inisial itu terasa familiar.
Ia membuka halaman pertama. Matanya langsung terbelalak. Buku itu penuh dengan gambar-gambar desain kostum yang luar biasa detail dan indah. Ada gaun putri gaya Eropa dengan renda yang rumit, baju zirah kesatria dengan ukiran naga, bahkan desain panggung kastil yang digambar dengan perspektif sempurna. Gambarnya sangat hidup, jauh melampaui level anak SMA biasa.
KRIET...
Pintu gudang yang berat terbuka perlahan. Ren terlonjak kaget, refleks menyembunyikan buku sketsa itu ke balik punggungnya, jantungnya berdebar kencang seperti maling yang tertangkap basah.
"Siapa di situ?" Suara tegas yang sangat ia kenal.
Tsukishima Marika berdiri di ambang pintu, siluetnya terbentuk oleh cahaya oranye matahari sore. Ia terlihat sedikit terkejut melihat Ren di sana sendirian, berkeringat dan kotor oleh debu.
"Sato-kun? Sedang apa kamu di sini? Bukannya seharusnya bersama Yamada-kun?"
"Ah, i-itu... Yamada ada urusan. Aku... sedang mendata matras," jawab Ren gugup, berusaha terdengar normal.
Marika menghela napas panjang, tatapannya menunjukkan kekesalan yang jelas. "Anak itu... selalu saja mencari alasan. Ya sudah, mana daftarnya? Biar saya bantu periksa supaya pekerjaanmu cepat selesai. Kasihan sekali kamu harus mengerjakan semuanya sendirian."
Ren tertegun. Kasihan sekali? Apa dia tidak salah dengar?
Marika melangkah masuk tanpa ragu, tidak peduli dengan debu yang mungkin mengotori seragam rapinya. Ia mengambil papan jalan dari tangan Ren dan mulai menghitung tumpukan bola basket di keranjang dengan efisien.
Ren hanya bisa memperhatikannya dalam diam. Ini adalah pertama kalinya ia melihat Marika melakukan pekerjaan kasar begini. Dan pertama kalinya dia mendengar nada yang... tidak sepenuhnya dingin.
"Tsukishima-san," panggil Ren ragu-ragu.
"Apa?" Marika menoleh, alisnya terangkat.
Dengan jantung yang berdebar tak karuan, Ren mengeluarkan buku sketsa tadi dari balik punggungnya. "Ini... milikmu?"
Gerakan tangan Marika terhenti total. Matanya terpaku pada buku bersampul biru tua itu. Wajahnya yang selalu tenang dan terkendali itu langsung berubah. Untuk pertama kalinya, Ren melihat ekspresi panik yang jujur di wajah sang ketua kelas.
Marika melesat maju dan menyambar buku itu dari tangan Ren dengan cepat. Wajahnya merah padam sampai ke telinga.
"K-kenapa buku ini ada padamu?! Kamu lihat isinya?!" suaranya naik satu oktaf, kehilangan ketenangannya yang biasa.
"Hanya... beberapa halaman. Gambar kostumnya bagus sekali," jawab Ren jujur, sedikit terpesona oleh reaksinya yang begitu manusiawi.
Marika memeluk buku itu erat-erat di dadanya, seolah melindungi hartanya yang paling berharga. "J-jangan bilang siapa-siapa! Mengerti?! Kalau ada yang tahu aku suka menggambar hal-hal kekanakan seperti ini... citraku sebagai ketua kelas bisa hancur!"
Ren mengerjap bingung. "Hancur kenapa? Gambarnya benar-benar bagus, kok. Serius. Jauh lebih bagus dari desain poster OSIS yang sekarang."
Marika terdiam. Amarah dan kepanikannya seolah menguap begitu saja. Ia menatap Ren dengan tatapan aneh—campuran antara curiga, tidak percaya, dan... terkejut? Perlahan, rona merah di wajahnya mereda, digantikan oleh ekspresi canggung yang belum pernah Ren lihat seumur hidupnya.
"Ka-kamu... benar-benar berpikir begitu?" tanyanya pelan, suaranya hampir berbisik.
Ren mengangguk mantap. "Iya. Serius."
Suasana gudang yang pengap mendadak hening, hanya ada suara napas mereka berdua dan partikel debu yang menari-nari di pilar cahaya sore yang menembus jendela tinggi.
Jantung Ren berdesir aneh. Jadi ini... ini yang dimaksud suara itu? 'Sesuatu yang akan mengubah nasibmu'. Bukan menemukan harta karun, tapi menemukan rahasia kecil ini. Menemukan celah di balik tembok es Tsukishima Marika.
Tiba-tiba, Ren merasakan getaran pelan dari saku celananya. Bukan ponselnya. Itu MP3 player-nya. Getaran aneh yang hanya bisa ia rasakan.
Malam ini, akan ada pesan baru.