" Aku akan membiayai sekolahmu sampai kamu lulus dan jadi sarjana. Tapi kamu harus mau menikah denganku. Dan mengasuh anak-anak ku. Bagaimana?
Aqila menggigit bibir bawahnya. Memikirkan tawaran yang akan diajukan kepadanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ai_va, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Kehidupan Aqila
Dalam perjalanan mengantarkan Aqila, Leon yang berada di dalam pangkuan Aqila berceloteh banyak hal.
" Kakak udah pernah coba makan disitu?"
Leon menunjuk ke arah sebuah restoran cepat saji.
" Pernah tapi nggak sering."
" Kenapa kak? Kan enak makanan disitu. Leon suka banget makan disitu."
" Karena makanan yang cepat saji itu nggak bagus untuk kesehatan. Makan sesekali saja boleh. Tapi jangan terlalu sering, makan rumahan lebih sehat."
" Makanan rumahan itu kayak apa kak?"
" Ya kayak di rumah ada makanan apa? Ya itu namanya makanan rumahan. Kayak kakak dirumah ibunya kakak masak sayur sop, sayur asem, ayam goreng, dan lainnya. Itu namanya makanan rumahan."
" Oh gitu ya. Kalau di rumah Leon, oma yang masak. Tapi Leon bosan masakan oma, cuma itu-itu saja."
" Katanya mau jadi anak yang baik?"
" Kan Leon sudah jadi anak yang baik."
" Anak yang baik itu makannya nggak rewel."
Tidak ada jawaban dari bibir mungil Leon. Aqila menepuk pipi Leon.
" Kok ngelamun?"
" Kalau gitu mulai sekarang, Leon akan menjadi anak yang baik. Yang nggak rewel soal makanan."
" Pinter."
Tak berapa lama mereka sampai disebuah rumah sederhana yang memiliki pekarangan bunga yang kecil tapi indah.
" Ini rumah kakak?"
" Iya."
" Boleh kapan-kapan Leon main ke rumah kakak?"
" Ehmm..itu..."
" Ini."
Aqila mengerutkan keningnya saat papinya Leon menyodorkan sejumlah uang kepada Aqila.
" Ini apa om ?"
" Ini bentuk rasa terima kasih ku karena kamu udah mengantarkan Leon."
" Saya tulus mengantarkan Leon om. Saya nggak minta imbalan apapun."
" Ini hanya bentuk rasa terima kasih ku."
" Kakak terima aja. Uang papi banyak kok."
Leon memamerkan senyum manisnya kepada Aqila. Akhirnya Aqila menerima uang pemberian dari papi Leon.
" Leon, ayo pamit sama kakak kita pulang sekarang. Oma sudah nunggu dirumah."
Dengan patuh Leon berpamitan kepada Aqila dan melambaikan tangan ke arah Aqila. Aqila pun membalas lambaian tangan Leon.
" Siapa Qila?"
" Ah ibu.."
" Siapa yang mengantarkan kamu?"
" Tadi di jalan ada anak tersesat. Terus Qila anterin sampai dekat rumahnya. Pulangnya jadi di anterin sama ayahnya anak itu."
" Yaudah sana masuk."
Aqila pun masuk ke dalam rumah. Dilihatnya ayah dan kakaknya sudah duduk di meja makan.
" Kok baru pulang?"
" Iya. Tadi habis nolong anak tersesat yah."
" Oh.. Lain kali hati-hati kalau nolong anak tersesat. Kabarnya sekarang banyak orang yang menggunakan anak tersesat untuk menculik wanita-wanita muda."
" Iya ayah. Lain kali Qila akan lebih hati-hati."
" Ayo makan dulu."
Aqila meletakkan tas sekolahnya dan membersihkan diri sebentar. Setelah itu dia bergabung dengan keluarganya untuk makan bersama.
" Gimana rencananya? Kamu jadi kuliah?"
" Iya ayah. Qila masih coba-coba ngumpulin uang sama cari-cari kampus yang uang pangkal dan uang semesternya nggak mahal."
" Maafin ayah ya. Karena nggak bisa bantu banyak."
" Nggak apa-apa ayah. Qila yakin bisa kuliah tahun ini. Kalaupun nggak bisa tahun ini, Qila akan coba tahun depan."
" Maafkan kakak. Karena kakak gagal dapat beasiswa tahun ini."
" Nggak apa kak. Yang penting kakak sehat dan segera pulih."
Aqila menatap sendu ke arah kakaknya yang sudah selama enam bulan ini harus cuti dari kuliahnya karena kecelakaan yang menimpanya membuat kakaknya harus beristirahat total di rumah. Kakaknya mengalami patah tulang di kakinya. Seharusnya, kakaknya bisa lulus tahun ini. Tapi harus tertunda karena kecelakaan ini.
Setelah menikmati makan malamnya, Aqila masuk ke kamarnya untuk mengerjakan tugas sekolahnya. Besok dia harus bekerja di cafe dekat sekolahnya. Aqila bekerja sambilan di cafe dekat sekolahnya untuk menambah uang saku dan uang tabungannya. Pemilik cafe Bu Wanda sangat baik kepada Aqila. Berbanding terbalik dengan temannya yang sesama pekerja sambilan di cafe Bu Wanda yang bernama Paula. Paula siswi si sekolah Aqila juga. Bu Wanda memang menerima pegawai paruh waktu yang masih bersekolah sekaligus untuk membantu anak-anak itu dalam segi ekonomi.
Paula kerja asal-asalan. Seringkali Bu Wanda tegur Paula karena saat mencuci piring atau gelas kurang bersih. Dan sering kali juga saat menegur, Bu Wanda membandingkan dengan Aqila. Membuat Paula semakin tidak suka dengan Aqila.
Aqila memasukan uang pemberian papinya Leon ke dalam celengannya. Sepuluh lembar uang seratus ribuan membuat Aqila bernafas lega setidaknya bertambah lebih banyak. Aqila memasukan celengannya ke dalam lemari dan menguncinya. Setelah itu Aqila menyimpan kuncinya di bawah tempat tidurnya dan Aqila merebahkan dirinya dan terlelap.
...****************...
Pagi-pagi Aqila sudah berada di sekolahnya. Hari ini dia piket pagi. Sambil menunggu jam masuk sekolah Aqila membaca materi pelajaran hari ini, Aqila menikmati ubi manis yang tadi dibawakan oleh ibunya. Masih hangat dan mengenyangkan.
" Loh Qila sudah datang?"
Aqila mengangkat kepalanya dan melihat Reza ketua kelas di kelasnya yang menjadi idola di sekolahnya. Termasuk Aqila sendiri. Walaupun hanya bisa menyimpan dalam hati saja.
" Sudah Za. Tadi sudah aku sapu di bagian kelas. Nanti tinggal hapus papan tulis aja."
" Kok kamu yang kerjakan semuanya?"
" Nggak apa-apa. Tadi karena datangnya terlalu pagi juga."
" Nanti anak-anak jadi kebiasaan nggak piket pagi."
" Nggak apa-apa asal nanti mereka piket siangnya aja. Karena siang aku mau izin pulang terlebih dahulu. Aku ada shift siang di cafe tempat aku kerja sambilan."
" Kamu masih kerja sambilan di cafe itu?"
" Iya . Lumayan buat nambah uang saku sama uang untuk kuliah."
Reza menghampiri Aqila yang sedang menikmati ubi manisnya.
" Mala makan apa?"
" Ubi manis. Reza mau?"
" Boleh."
Reza mengambil ubi manis yang disodorkan oleh Aqila dan memakannya.
" Enak ya. Aku biasanya suka makan yang di goreng. Tapi ini enak. Manisnya pas."
" Reza mau lagi?"
Aqila menyodorkan ubi manis kepada Reza"
" Satu lagi ya Qila."
Reza pun mengambil ubi manis itu dan memakannya saat masih hangat.
" Rezaaaaaa...."
Reza dan Aqila melihat ke arah asal suara yang memanggil Reza. Sudah bisa di tebak siapa yang memanggil Reza dengan suara melengking. Dia adalah Rea. Fans nomor satu Reza di sekolah. Rea mendekati Reza dan memeluk lengan Reza.
" Kamu makan apa?"
Aqila menyodorkan ubi manis ke arah Rea.
" Ini kalau kamu mau."
" Makanan apa itu? Bikin gemuk."
Rea menampik ubi manis dari tangan Aqila yang membuat ubi manis itu berhamburan ke lantai. Aqila dan Reza terkejut dan kemudian memungut ubi manis yang berhamburan ke lantai. Untung ubi manis itu masih ada kulitnya. Jadi bagian dalamnya masih aman untuk di konsumsi.
" Kalau kamu nggak mau nggak perlu bersikap seperti itu. Hargai makanan yang dibuat dengan jeri payah."
Reza menegur keras Rea kemudian menyerahkan ubi manis yang sudah dibersihkan kulitnya itu kepada Aqila.
" Ini Qila."
" Terima kasih Za."
" Maaf Za, habis makanannya modelnya aneh seperti itu sih. Mana ada yang doyan makan selain dia." Re mencebikkan bibirnya.
" Apa kamu nggak lihat kalau aku juga baru saja makan?" Reza menjawab dengan sedikit ketus.
" Oh.. Nggak lihat tadi."
" Bukannya tadi kamu nanya aku makan apa ?"
" Ya aku pikir kamu makan yang lainnya."
Reza mendengus sebal dan pergi meninggalkan tempat Aqila. Rea mendengus sebal kepada Aqila.
" Reza... Reza.... Tunggu aku dong..."
Aqila menggelengkan kepalanya melihat Rea dan Reza.
...****************...
Siang itu Aqila langsung meminta izin kepada Reza untuk pulang lebih dulu.
" Nggak apa-apa kamu pulang dulu. Tadi sudah bersih-bersih kelas duluan juga."
Aqila merasa sungkan dengan teman-temannya karena mereka menatap dengan tatapan tidak suka.
" Ada yang keberatan? Qila sudah ada di sekolah sejak jam setengah enam pagi. Sedangkan kalian datang jam tujuh pagi." Tanya Reza kepada anak-anak yang piket siang itu.
" Nggak ada kok. Kami nggak komentar apa-apa kok."
Aqila pun berpamitan kepada teman-temannya dan meninggalkan sekolah dengan sedikit berlari. Kerja jamnya sudah mepet. Sesampainya di cafe Aqila meminta maaf kepada Bu Wanda karena terlambat.
" Maaf ya bu. Tadi ada piket kelas."
" Nggak apa-apa Qila. Santai aja. Yang shift pagi juga masih ada disini semua. Mereka nggak ada acara jadi masih bisa stay di cafe."
Aqila kemudian masuk ke ruangan ganti dan mengganti seragam sekolahnya dengan seragam cafe yang berwarna merah maroon.
" Maaf kak. Biar Qila gantikan antar pesenannya."
Aqila hendak mengambil nampan milik Dito yang dua tahun lebih tua diatasnya. Memiliki tubuh atletis dan lesung pipi yang menawan jika tersenyum.
" Ini pesenan khusus Qila. Mereka meminta kakak yang antar kesana."
Dito menunjukkan ke arah meja yang berisi para gadis-gadis muda. Aqila tersenyum simpul melihatnya.
" Oke lanjutkan kak."
Aqila membereskan tempat Dito membuatku minuman untuk pelanggan khususnya. Aqila membersihkan meja yang baru saja ditinggalkan oleh beberapa orang anak remaja.
Kling...
Selamat datang di cafe kami...
Aqila membalikkan badannya dan tertegun menatap sepasang lelaki dan perempuan di hadapannya. Aqila sempat terpaku beberapa saat. Kemudian dia tersadar saat perempuan di hadapannya menepuk lengannya.
" Hei.. Kerja jangan ngelamun."
" Ah iya maaf kak."
Aqila tersenyum canggung.
" Silahkan kak."
Aqila mempersilahkan sepasang lelaki dan perempuan itu untuk menempati meja yang baru saja dibersihkan Aqila. Aqila datang dan menyerahkan buku menu kepada mereka.
" Panggilkan bos mu kesini."
" Eh ada apa kak? Saya nggak ngelakuin kesalahan kan ?"
" Panggil saja!"
Aqila berjalan dengan sedikit berpikir kesalahan apa yang dia lakukan. Masak gara-gara melamun tadi?
" Kenapa panggil bos dia sih By?"
" Diam saja kamu Vi."
Tak berapa lama kemudian Bu Wanda datang bersama Aqila.
" Ada yang bisa saya bantu pak?"
" Saya mau bicara dengan anak ini. Jadi berikan waktu bebas di jam sekarang."
Aqila dan Bu Wanda tercengang mendengar ucapan lelaki di hadapan mereka. Begitu juga wanita yang duduk di sebelah lelaki itu.