NovelToon NovelToon
When The Game Cross The World

When The Game Cross The World

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus / Transmigrasi ke Dalam Novel / Kebangkitan pecundang / Action / Harem / Mengubah Takdir
Popularitas:454
Nilai: 5
Nama Author: Girenda Dafa Putra

Dunia pernah mengenalnya sebagai Theo Vkytor—penulis jenius di balik Last Prayer, karya horor yang menembus batas antara keimanan dan kegilaan. Tapi sejak kemunculan Flo Viva Mythology, game yang terinspirasi dari warisan kelam ciptaannya, batas antara fiksi dan kenyataan mulai runtuh satu per satu. Langit kehilangan warna. Kota-kota membusuk dalam piksel. Dan huruf-huruf dari naskah Theo menari bebas, menyusun ulang dunia tanpa izin penciptanya.

Di ambang kehancuran digital itu, Theo berdiri di garis tak kasat mata antara manusia dan karakter, penulis dan ciptaan. Ia menyaksikan bagaimana realitas menulis ulang dirinya—menghapus napasnya, mengganti jantungnya dengan denyut kode yang hidup. Dunia game bukan lagi hiburan; ia telah menjadi kelanjutan dari doa yang tidak pernah berhenti.

Kini, ketika Flo Viva Mythology menelan dunia manusia, hanya satu pertanyaan yang tersisa.

Apakah Theo masih menulis kisahnya sendiri… ataukah ia hanya karakter di bab yang belum selesai?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Girenda Dafa Putra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kipas Suci dan Cakar Logam

...Chapter 2...

Tak ada suara selain hembusan angin dan gesekan logam yang masih panas.

Tetapi di antara kesunyian, muncul ketenangan tipis nan dibawa oleh keberadaan gadis itu, seolah keberadaannya menstabilkan batas antara kehancuran dan ketertiban.

Ilux mengangkat wajah, menatapnya dengan pandangan yang samar antara lega dan bingung.

Ia memberi tanda bahwa dirinya baik-baik saja, bahwa luka yang diderita tidak cukup parah untuk menjatuhkannya.

Sekilas, ekspresinya seperti seseorang yang baru kembali dari batas kematian dan mendapati dunia masih berputar.

Erietta meliriknya sekilas.

Matanya dingin tapi tidak kejam, tenang namun membawa peringatan.

Dalam tatapan itu tersirat pemahaman bahwa perang belum berakhir, bahwa bahaya tak selalu datang dari arah yang bisa terlihat.

Erietta mengingatkannya untuk tidak lengah dan terus memperhatikan sekeliling.

"Sudah tiba waktunya."

"Sepakat dengan perkataanmu, Erietta."

Tak butuh waktu lama sebelum udara di sekitar mereka kembali bergetar.

Ilux Rediona, dengan tangan kanannya yang menggenggam benda menyerupai cakar, bergerak seolah diatur oleh insting yang sudah menelan banyak medan perang.

Namun, jika diperhatikan lebih dekat, cakar itu bukanlah senjata biasa—lebih menyerupai batang logam memanjang, runcing di ujungnya, berkilat redup seakan menyimpan cahaya yang enggan padam.

Satu gerakan cepat, dan udara berdesir.

Logam itu terlepas dari tangannya, melesat ke arah belakang dengan kecepatan yang bahkan suara tak sempat mengejarnya.

Dalam sepersekian detik sebelum dilempar, punggung Ilux bersentuhan dengan punggung Erietta, dua arus kekuatan yang saling berlawanan namun berpadu dalam harmoni diam, seperti gelap dan terang yang dipaksa berdansa di tepian kehancuran.

Tubuh mereka berputar dalam keseimbangan paling sempurna.

Ketika senjata Ilux melesat, menembus udara dan mencabik sesuatu di belakang mereka, Erietta justru mengangkat tangan kanannya, dua jarinya terulur lembut namun mengandung tekanan nan cukup mengguncang ruang di sekeliling.

Gerakannya tidak kasar, bahkan menyerupai belaian yang salah arah, seperti menampar bayangan yang berani mendekat terlalu dekat.

Namun dari gerakan sederhana itu, sesuatu yang mustahil lahir ke dunia—sebuah kipas tangan bercahaya, terbentuk dari anyaman doa dan bisikan suci yang seolah dikumpulkan dari langit yang pernah menangis di atas medan perang.

Kipas itu menari di udara, berputar dengan keindahan nan mengerikan, meninggalkan jejak cahaya yang berkelok bagai sayap malaikat yang terbakar.

Setiap putarannya menciptakan pusaran energi nan mengangkat debu, mengoyak udara, dan menyapu bersih apa pun yang berani mendekat.

Ilux sempat menoleh sedikit, matanya menangkap kilasan keajaiban yang lahir dari jemari Erietta, sementara di belakangnya, benda runcing yang tadi dilempar menghantam sesuatu tak kasatmata, menimbulkan ledakan kecil tanpa suara, menyerupai dunia yang terbelah tanpa sempat berteriak.

Ledakan berikutnya tak memberi jeda bagi bumi untuk bernapas.

Cahaya yang semula menyala di kejauhan kini pecah tepat di hadapan mereka.

Bukan lagi api yang membakar, melainkan sesuatu yang jauh lebih mengerikan.

Ledakan nan terwujud dari darah.

Cairan merah itu terlempar ke udara dalam bentuk serpihan halus, berputar seperti kelopak mawar nan menolak jatuh, sebelum kemudian berkumpul kembali di tengah ruang, membentuk gumpalan berdenyut hidup, bernafas seperti jantung yang dipaksa bekerja di luar tubuh.

Dalam sekejap, darah itu beriak, menggeliat bak makhluk sadar, lalu mengeras menjadi ratusan pecahan tajam yang memantulkan cahaya kehijauan di setiap ujung.

Udara di sekitar berubah menjadi dingin dan berat.

Waktu melambat ketika tusukan-tusukan darah itu melesat, menembus angin dengan bunyi nan nyaris tak terdengar.

Ilux, dengan refleks yang lahir dari pertempuran tak terhitung jumlahnya, berusaha mengangkat lengannya, mencoba memanggil kembali batang runcing yang sebelumnya dilempar.

Namun darah itu lebih cepat, menembus ruang di antara gerakan, menghantam udara dengan presisi yang mengerikan. Erietta di sisi lain menajamkan pandangan, mata hijaunya memantulkan cahaya merah yang berputar di sekeliling, seolah dirinya sedang berdiri di tengah badai kelahiran monster.

Begitu tajamnya serangan itu hingga setiap tusukan seakan memiliki niat tersendiri.

“Mulai!”

“Sudah lama—KUNANTIKAN!!”

Erietta memejamkan mata, membiarkan dunia di sekelilingnya larut dalam sunyi nan bergetar oleh sisa ledakan.

Saat matanya terbuka kembali, waktu memutuskan berhenti, sementara mematung hanya untuk menyaksikan bagaimana api suci yang lahir dari dirinya membakar darah nan menggantung di udara.

Cairan merah mulai meleleh menjadi cahaya keemasan, mendesis pelan seperti bisikan terakhir makhluk terkutuk yang lenyap tanpa sempat menjerit.

Dalam sorotan mata yang tetap datar, tanpa amarah dan tanpa belas kasihan, Erietta mengucapkan satu kata.

Pendek, sederhana, namun sarat perintah dan kekuatan.

‘Sekarang.’

Seruan itu seperti tanda bagi langit untuk bergerak.

Ilux segera melompat, tubuhnya menyatu dengan bayangan di tanah, menjadi siluet nan menyelinap tanpa suara di balik Erietta.

Gerakannya cepat, nyaris mustahil ditangkap oleh mata manusia.

Ia lewati punggung gadis itu dengan presisi sempurna, menyerupai dua sisi mata pisau yang bergerak dalam harmoni.

Ketika bayangannya menyentuh tanah lagi, Ilux sudah memegang senjatanya dengan mantap, dan tusukannya menghantam sesuatu nan sebelumnya tak tampak—sekadar getaran halus di udara, semu seperti angin yang menipu indera.

Namun ketika ujung senjata itu menembus ruang hampa, suara cairan memuncrat, memecah keheningan dengan cipratan warna kekuningan yang aneh dan menyilaukan.

Tubuh makhluk itu, yang semula tak terlihat, perlahan muncul dari balik tembok udara.

Bentuknya tak beraturan, seperti campuran antara daging dan kabut yang belum sempurna menjadi salah satu dari keduanya.

Ketika tubuh itu terhunus, benda tajam yang kini dipegang Ilux menembusnya dari sisi lain, menuntun pergerakannya seakan tubuh malang itu hanyalah boneka yang dikendalikan dengan senar tak terlihat.

Gerakannya terseret ke arah yang sama dengan langkah Ilux, setiap hentakan kakinya meninggalkan guratan cahaya yang melukai tanah.

Udara di sekitar mereka terasa berat, berisi bau kematian yang manis sekaligus busuk.

Dan akhirnya, kepala makhluk itu jatuh.

Satu gerakan ringan dari pergelangan tangan Ilux cukup untuk memisahkannya dari tubuh yang buruk rupa.

Kepala itu terkulai di tangan gadis berambut hijau itu, darah kekuningan masih menetes dari ujung rambutnya yang bersinar samar di antara cahaya suci.

Tubuh tanpa kepala itu ambruk ke tanah, bergetar sebentar sebelum akhirnya diam, menjadi bagian dari pemandangan sunyi yang kembali dipenuhi cahaya dingin dan debu yang menari di bawah langit tanpa warna.

‘Misi membunuh Ar'tushamth, selesai.

Senangnya membantu tanpa tersorot kamera.’

Di sisi lain, jauh dari pusat ledakan yang kini telah mereda menjadi bisu, sebuah gudang tua berdiri murung di antara kabut abu dan cahaya redup.

Dindingnya mengelupas, penuh bekas terbakar dan goresan nan seolah diciptakan oleh makhluk yang tidak mengenal bentuk.

Di sanalah, pada jarak puluhan meter dari medan yang baru saja dilahap oleh kehancuran, seorang pria muda berusia sekitar sembilan belas tahun terlihat setengah duduk, setengah berdiri, seakan tubuhnya menolak memilih antara melarikan diri atau tetap menjadi saksi.

Tangannya yang kiri menutupi seperempat wajahnya, gerakannya teratur namun mengandung tekanan, seperti seseorang yang sedang menahan denyut ingatan agar tidak meledak keluar.

Buku catatan kecil berwarna kuning emas tergeletak di lututnya, ukurannya tidak lebih besar dari telapak tangan, cukup kecil untuk disembunyikan di kantong celana yang sempit.

Di permukaan kertas, barisan huruf terbentuk cepat, tertulis dengan ketenangan yang tidak cocok bagi seseorang yang baru saja menyaksikan kematian dan kebakaran dalam satu tarikan napas.

Bersambung….

1
Asri Handaya
semangat berkarya ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!