Fahira Azalwa, seorang gadis cantik yang harus menelan pahitnya kehidupan. Ia berstatus yatim piatu dan tumbuh besar di sebuah pesantren milik sahabat ayahnya.
Selama lima tahun menikah, Fahira belum juga dikaruniai keturunan. Sementara itu, ibu mertua dan adik iparnya yang terkenal bermulut pedas terus menekan dan menyindirnya soal keturunan.
Suaminya, yang sangat mencintainya, tak pernah menuruti keinginan Fahira untuk berpoligami. Namun, tekanan dan hinaan yang terus ia terima membuat Fahira merasa tersiksa batin di rumah mertuanya.
Bagaimana akhir kisah rumah tangga Fahira?
Akankah suaminya menuruti keinginannya untuk berpoligami?
Yuk, simak kisah selengkapnya di novel Rela Di Madu
By: Miss Ra
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 2
Selang beberapa saat setelah Zidan berangkat ke kantor, terdengar ketukan di pintu. Suara itu memaksa Fahira yang baru saja berbaring untuk bangun. Ia beranjak berdiri dan berjalan perlahan menuju pintu dengan harapan agar mertuanya atau adik iparnya tidak datang mengganggunya lagi.
Namun benar saja, begitu pintu dibuka, yang berdiri di hadapannya adalah adik iparnya, Eva Rifa Naila, yang biasa dipanggil Eva.
"Ya, Eva? Ada apa?" tanya Fahira dengan nada lemah.
"Kak Zidan sudah berangkat?" suara Eva terdengar ketus.
"Sudah, baru sepuluh menit yang lalu. Kenapa?" jawab Aira hati-hati.
Alih-alih menjawab, tatapan Eva menelusuri tubuh kakak iparnya dari atas ke bawah dengan pandangan tajam dan dingin. Sikapnya kini jauh berbeda dibandingkan dulu, saat awal pernikahan Zidan dan Aira. Dulu Eva ramah, tetapi sekarang ia tampak lebih sinis dan dingin. Mungkin karena pengaruh ibunya yang selalu menyinggung soal keturunan.
"Kasihan sekali Kak Zidan, mempertahankan istri seperti kamu--" gumam Eva lirih, namun cukup jelas terdengar oleh Aira.
Aira spontan mengerutkan kening. "Kasihan? Maksudmu apa, Eva?"
"Aduh, masih nanya juga. Harusnya kamu sadar diri, Kak Zidan menikahi kamu itu karena kasihan. Dia nggak tega ninggalin kamu, tapi dalam hatinya pasti kecewa karena kamu nggak bisa kasih dia anak!" ujar Eva sambil menyilangkan tangan di dada dan menatap Aira dengan remeh.
"Cukup, Eva! Jaga bicaramu!" tegas Aira menahan emosi.
Namun Eva hanya terkekeh sinis. Dari sikapnya, Aira mulai sadar bahwa adik iparnya itu sudah tidak menghormatinya lagi. Ia tahu betul siapa dirinya dan sadar akan kekurangannya, tetapi mendengar ucapan seperti itu tetap saja menusuk hati.
"Coba deh, sesekali lihat dirimu di cermin. Wajah dan tubuhmu tidak menarik sama sekali. Berbeda sekali dengan Kak Najwa," lanjut Eva dengan nada meremehkan.
"Najwa? Siapa dia?" tanya Aira bingung.
"Masih nanya juga? Najwa itu sepupu Kak Zidan! Baru pulang dari Kairo. Ibu mau jodohin dia sama Kak Zidan! Dan kalau aku jadi kamu, siap-siap saja ditendang dari rumah ini!"
Aira tertegun. Ia tahu Eva kejam dalam berbicara, tetapi tidak menyangka sejauh itu. Meski begitu, sebagai perempuan yatim piatu yang sejak kecil terbiasa menahan sakit, ia tak ingin menunjukkan kelemahan di depan Eva. Tangannya mengepal, menahan sesak yang menyergap di dada.
"Dijodohkan?" suaranya nyaris bergetar.
"Iya," jawab Eva cepat. "Aku juga tidak menggerti kenapa Kak Zidan masih mempertahankan kamu. Sudah jelas-jelas kamu kalah jauh dari Kak Najwa--"
"Astaghfirullah, Eva! Bisa ya kamu bicara begitu denganku?" Aira mengusap dadanya, mencoba menenangkan diri. Tapi Eva hanya mendengus dan pergi tanpa menoleh lagi.
Kepergian Eva menyisakan perih yang dalam. Sikap ibu mertuanya selama ini sudah cukup membuat batinnya tertekan, kini ditambah perlakuan adik iparnya yang semakin menjadi-jadi. Aira merasa dirinya semakin tak dihargai di rumah itu.
Meski begitu, ia berusaha menahan air matanya. Ia tidak ingin terlihat lemah. Dalam hati, berbagai pertanyaan berkecamuk_ benarkah Zidan akan dijodohkan dengan perempuan lain? Benarkah cinta suaminya selama ini hanya karena kasihan?
Fahira menghela napas berat, menatap punggung Eva yang sudah menghilang di balik pintu.
"Kuatkan hatiku menghadapi mereka, Ya Allah--" lirihnya, menahan sesak di dada.
Ia kemudian kembali ke kamar dan mencoba menenangkan diri. Sambil berbaring, ia memainkan ponselnya, berusaha mengalihkan pikiran. Namun baru saja hendak mengirim pesan kepada Zidan, layar ponselnya lebih dulu menampilkan pesan masuk dari sang suami.
"Assalamualaikum, sayang. Sudah makan siang belum? Jangan lupa minum obatnya, ya ?"
Melihat pesan itu, senyum kecil muncul di bibir Aira. Hangat rasanya mengetahui suaminya masih perhatian padanya. Sejenak, semua ucapan Eva yang menyakitkan tadi seakan menghilang begitu saja. Dengan perasaan yang lebih tenang, ia membalas pesan Zidan dengan penuh semangat.
"Waalaikumsalam, Bang. Aira sudah makan, Bang. Aira juga sudah minum obat. Abang lagi ngapain?" tanya Aira dengan senyum manis di wajahnya.
Namun tak ada balasan. Akhirnya Aira memutuskan untuk tidur. Kepalanya masih terlalu pusing, ditambah lagi sikap ibu mertua dan adik iparnya yang membuat pikirannya terasa mau pecah.
Hari ini Zidan pulang lebih awal. Ia tak ingin istrinya semakin parah karena sakit yang dideritanya. Maka, ia memutuskan untuk pulang sore dengan membawa sebuah hadiah, sesuatu yang sudah lama diinginkan Aira.
Aira baru saja selesai salat Asar ketika terdengar ketukan di pintu kamarnya. Ia segera bergegas membukanya. Sejak beberapa hari terakhir, Aira memang sengaja mengunci pintu agar ibu mertua dan Eva tak bisa masuk sembarangan tanpa izin.
Kali ini, ia tahu pasti siapa yang datang. Dari cara mengetuknya saja, Aira sudah hafal bahwa itu suaminya.
"Assalamualaikum, sayang," ucap Zidan sambil mengulurkan tangan.
"Waalaikumsalam, Bang. Kok tumben jam segini sudah pulang? Wah, apa ini?" sahut Aira sambil mencium tangan suaminya dan menerima sebuah kotak yang dibawa Zidan.
"Buka saja," jawab Zidan singkat, tersenyum lembut.
Aira membuka kotak itu perlahan. Matanya langsung berbinar, senyum lebarnya mengembang. Seketika ia langsung memeluk Zidan erat.
Zidan membalas pelukan itu sambil mengusap punggung istrinya dengan lembut.
"Suka dengan hadiahnya?" tanyanya kemudian.
Aira melepaskan pelukannya, mengangguk, lalu berkata pelan, "Makasih ya, Bang."
Zidan mengusap kepala Aira, lalu mengecup keningnya singkat sebelum duduk. Ia melepas jas dan dasinya, kemudian menaruh tas kerja di atas meja.
"Ibu sama Eva ke mana? Kok sepi?" tanya Zidan sambil duduk di samping istrinya.
"Entahlah. Mereka pergi begitu saja, tidak berpamitan denganku," jawab Aira lirih, wajahnya berubah kecewa.
Zidan tersenyum kecil. "Ya sudah, biarkan saja. Yang penting Ibu nggak mengganggumu. Aku mandi dulu, ya? Setelah itu aku ajarkan cara main laptop. Oke?"
Aira mengangguk pelan. "Oke, Bang."
Zidan pun bergegas ke kamar mandi, meninggalkan Aira kini menatap laptop hadiah dari suaminya dengan bahagia. Sudah lama ia menginginkan benda itu, dan akhirnya keinginannya terwujud.
~~
Tak lama kemudian, keduanya duduk santai di kamar. Sesuai janjinya, Zidan dengan sabar mengajari Aira cara menggunakan laptop.
Ya, Aira memang meminta dibelikan laptop agar tidak bosan di rumah saat sedang tidak enak badan.
"Nah, ini caranya. Tekan Enter, lalu klik di sini. Nah, kan sudah bisa. Hebat, kamu," ujar Zidan sambil tersenyum bangga.
"Cup." Ia mengecup pipi istrinya singkat, lalu mengacak rambut Aira dengan lembut. Aira tertawa kecil, ia mulai memahami apa yang diajarkan Zidan.
Saat mereka asyik belajar dan bercanda, terdengar ketukan di pintu kamar. Zidan dan Aira saling berpandangan. Dengan cepat, Zidan berdiri dan membuka pintu.
"Iya, Bu? Ada apa?" tanyanya.
"Zidan, bersiaplah. Pakai baju yang rapi, ya. Kita kedatangan tamu spesial," sahut Bu Zubaidah antusias.
"Memangnya siapa, Bu?" tanya Zidan heran.
Namun sang ibu tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum samar sambil menatap seseorang yang baru saja muncul dari luar.
Zidan menoleh, dan matanya langsung membesar. Ia tertegun melihat siapa yang datang.
Aira yang penasaran berusaha mengintip dari belakang suaminya.
**Deg**!
Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia tahu, setiap kali ibu mertuanya berkata 'tamu spesial', biasanya itu bukan kabar baik bagi dirinya.
...----------------...
**Bersambung**....
ko jadi gini y,,hm
jalan yg salah wahai Zidan,emang harus y ketika kalut malah pergi k tempat yg gak semestinya d datangi,Iyu mah sama aja malah nyari masalah..
dasar laki laki
drama perjodohan lagi