NovelToon NovelToon
BALAS DENDAM SANG IBLIS SURGAWI

BALAS DENDAM SANG IBLIS SURGAWI

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Transmigrasi / Fantasi Timur / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Zen Feng

Guang Lian, jenius fraksi ortodoks, dikhianati keluarganya sendiri dan dibunuh sebelum mencapai puncaknya. Di tempat lain, Mo Long hidup sebagai “sampah klan”—dirundung, dipukul, dan diperlakukan seperti tak bernilai. Saat keduanya kehilangan hidup… nasib menyatukan mereka. Arwah Guang Lian bangkit dalam tubuh Mo Long, memadukan kecerdasan iblis dan luka batin yang tak terhitung. Dari dua tragedi, lahirlah satu sosok: Iblis Surgawi—makhluk yang tak lagi mengenal belas kasihan. Dengan tiga inti kekuatan langka dan tekad membalas semua yang telah merampas hidupnya, ia akan menulis kembali Jianghu dengan darah pengkhianat. Mereka menghancurkan dua kehidupan. Kini satu iblis akan membalas semuanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zen Feng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 24: RACUN CINTA

Cahaya pagi menyusup melalui celah jendela kediaman Jin, mengusir bayangan malam yang masih tersisa di sudut-sudut ruangan. Mo Long berdiri di beranda paviliun utama, menatap langit timur yang mulai memerah. Aroma teh hangat mengepul dari cangkir giok di tangannya, namun pikirannya jauh dari ketenangan pagi itu.

Langkah kaki berat mendekat dari belakang. Jin Hayato muncul dengan wajah lelah, lingkaran hitam menghiasi kelopak matanya. Meskipun putranya telah diselamatkan, beban peristiwa malam itu masih terukir jelas di raut wajahnya.

"Mo Long," panggil Jin Hayato dengan suara serak. "Balai Hukum sudah pergi. Aku telah menjamin keselamatanmu dengan nama Rumah Dagang Bangau Perak."

Mo Long mengangguk pelan, tidak berbalik. "Terima kasih, Tuan Jin. Tanpa jaminan Tuan, mungkin malam ini aku sudah diseret ke penjara bawah tanah mereka."

Jin Hayato melangkah mendekat, berdiri di samping Mo Long. Pandangannya menerawang ke arah kota Long Ya yang mulai ramai. "Aku tidak menyangka..." suaranya gemetar. "Hiroshi, Kepala Balai Hukum yang selalu aku hormati... dan Tabib Yuto yang dikenal begitu baik hati... mereka berdua berada di balik hilangnya pengemis dan anak-anak itu." Tangannya mengepal. "Berapa banyak jiwa tak berdosa yang telah mereka korbankan?"

"Lebih banyak dari yang Tuan bayangkan," jawab Mo Long datar. "Dan dalang sebenarnya masih bebas di luar sana."

Keheningan merayap di antara mereka. Jin Hayato menarik napas panjang, kemudian berkata dengan nada tegas namun khawatir, "Mo Long, kau harus segera pulang ke klan-mu. Situasi ini terlalu berbahaya. Aku takut—"

"Aku tidak bisa pulang," potong Mo Long, akhirnya berbalik menatap Jin Hayato. Matanya tajam, penuh tekad yang membara. "Masih ada urusan yang harus kuselesaikan."

"Urusan apa yang lebih penting dari keselamatanmu?"

Mo Long tersenyum samar, senyum yang tidak mencapai matanya. "Urusan yang jika kubiarkan, akan membuat kematian sia-sia bagi mereka yang sudah terlanjur menjadi korban."

Jin Hayato menatap pemuda di depannya. Ada sesuatu yang berbeda dari Mo Long—aura dingin yang menyelimuti tubuhnya, tatapan mata yang terlalu tua untuk usia tujuh belas tahun. Seolah jiwa yang menghuni tubuh itu telah melalui neraka dan kembali dengan beban yang tak terlihat.

"Berhati-hatilah," gumam Jin Hayato akhirnya. "Dan jika kau membutuhkan bantuan, Rumah Dagang Jin akan selalu terbuka."

Mo Long mengangguk, kemudian berlalu meninggalkan beranda. Langkahnya mantap, tanpa keraguan.

Ruangan di paviliun belakang kediaman Jin terasa pengap meskipun jendela terbuka lebar. Aroma obat-obatan dan ramuan aneh bercampur menjadi bau menyengat yang membuat mata perih. Di tengah ruangan, Yuto duduk bersila di atas tikar bambu, tangannya bergerak lincah meracik berbagai bahan dalam mangkuk giok hitam.

Mo Long memasuki ruangan tanpa mengetuk. Yuto tidak mengangkat kepala, terus melafalkan mantra dengan suara rendah. Bibir tuanya bergerak cepat, mengeja kata-kata dalam bahasa kuno yang terdengar seperti desis ular.

"Bagaimana perkembangannya?" tanya Mo Long langsung pada intinya.

Yuto menyelesaikan bait terakhir mantranya sebelum menjawab. Dia mengangkat kepala, wajahnya pucat dengan keringat membasahi pelipisnya. "Ramuan pengendali pikiran akan siap besok malam. Prosesnya rumit—satu kesalahan kecil, dan ramuannya akan menjadi racun mematikan."

Mo Long melangkah mendekat, mengamati cairan kental berwarna merah tua dalam mangkuk itu. Gelembung-gelembung kecil muncul di permukaannya, seolah hidup. "Bagus. Pastikan tidak ada kesalahan."

Yuto menatap Mo Long dengan pandangan penuh pertanyaan. "Boleh aku tahu... untuk apa ramuan ini? Siapa yang akan kau kendalikan?"

Hening.

Mo Long tidak menjawab. Dia hanya berdiri di sana, tatapan matanya dingin seperti es di musim dingin. Keheningan itu lebih mengerikan daripada jawaban apapun.

Yuto menelan ludah. "Apa—"

"Selesaikan cepat ramuannya," potong Mo Long dengan nada yang tidak memberi ruang untuk bantahan. "Aku berjanji, aku akan membunuh Haikun dan membebaskanmu dari kendaliannya."

Yuto tercekat. Ada sesuatu dalam suara Mo Long yang membuatnya percaya—keyakinan mutlak yang hanya dimiliki oleh mereka yang telah menatap maut dan tidak takut padanya.

"Membunuh Haikun..." Yuto menggeleng pelan. "Itu tidak semudah yang kau bayangkan, Mo Long. Dia memiliki teknik ilusi yang mengerikan, terutama dari matanya." Suaranya bergetar mengingat sesuatu. "Mata kelimanya hampir terbuka sepenuhnya. Jika itu terjadi, dia akan mencapai Ranah Tao ke-empat—Ranah Spiritual Abadi."

"Aku tahu."

"Tapi kau tidak mengerti!" Yuto bangkit, napasnya memburu. "Aku pernah melihat Haikun bertarung melawan pendekar Ranah Guru tiga tahun lalu. Pendekar itu menatap mata Haikun dalam pertarungan—hanya sebentar, tidak lebih dari tiga detik. Dan kau tahu apa yang terjadi?" Tangannya gemetar. "Dia berakhir seperti orang gila yang terjebak dalam ilusi. Sampai mati, dia terus berteriak dan mencakar wajahnya sendiri."

Mo Long diam, mencerna informasi itu. Di dalam benaknya, ingatan-ingatan dari kehidupan sebelumnya sebagai Guang Lian mulai bermunculan—wajah-wajah musuh yang pernah dia lawan, teknik-teknik ilusi yang pernah dia hadapi.

‘Sekte Matahari dan Bulan,’ pikirnya. ‘Mereka memiliki Teknik Ilusi Surgawi yang bisa menjebak lawannya dalam dunia mimpi. Aku pernah hampir terjebak, sampai Guru mengajariku cara melawannya.’

"Kalau begitu," kata Mo Long perlahan, "aku akan bertarung dengan menutup mata."

Yuto tersentak. "Apa?"

"Aku bisa bertarung tanpa melihat," lanjut Mo Long. "Dengan Gelombang Qi, aku bisa menyebarkan Qi tipis ke segala arah untuk mengetahui keadaan sekitar. Melihat tidak hanya dengan mata."

Yuto menatap Mo Long dengan campuran kagum dan ngeri. Teknik seperti itu membutuhkan kontrol Qi yang luar biasa presisi—kesalahan sedikit saja bisa membuat tubuhnya kehabisan Qi dan mati di tengah pertarungan.

"Tapi itu akan menguras Qi-mu dengan sangat cepat," gumam Yuto.

"Aku tahu risikonya." Mo Long berbalik menuju pintu. "Lakukan tugasmu, Yuto. Serahkan sisanya padaku."

Pintu tertutup dengan bunyi pelan. Yuto terduduk lagi di atas tikarnya, menatap cairan merah dalam mangkuknya. Untuk pertama kalinya dalam lima tahun, secercah harapan muncul di dadanya—harapan untuk bebas dari kutukan Haikun.

Tapi di sudut hatinya, ada ketakutan lain yang mulai tumbuh. ‘Siapa sebenarnya pemuda itu? Kenapa rasanya... auranya begitu mengerikan?’

Senja mewarnai langit dengan gradasi jingga dan ungu. Di atap kediaman Jin, Mo Long berdiri dengan tangan terlipat di belakang punggung, menatap ke arah timur—ke arah hutan pinggiran kota tempat Gunung Mayat berada.

Angin malam mulai berhembus, membawa aroma tanah dan dedaunan kering. Mo Long menutup mata, merasakan aliran Qi di sekitarnya. Dia bisa merasakan kehidupan kota—hiruk pikuk pedagang yang mulai membereskan dagangan, tawa anak-anak yang berlarian, bahkan detak jantung burung-burung yang bertengger di cabang pohon terdekat.

"Tuan."

Mo Long membuka mata. Hu Wei berjalan mendekat, membawa sebuah kotak kayu berukir naga. Wajahnya tampak lebih segar, meskipun bekas luka dari pertarungan dua hari lalu masih terlihat di lengannya.

"Putra Tuan Jin Hayato sudah sadar," lapor Hu Wei sambil membuka kotak itu. Di dalamnya, satu pil eliksir berwarna emas yang memancarkan aura spiritual kuat. "Sebagai hadiah, Tuan Jin memberikan Eliksir Tingkat Roh Agung."

Mo Long mengambil salah satu pil, mengamatinya. Aura Roh yang terpancar dari eliksir itu murni dan pekat—setara dengan sepuluh tahun kultivasi untuk pendekar Ranah Guru.

"Dan dari uang jarahan bandit tempo hari," Hu Wei melanjutkan, "aku memperoleh tiga Eliksir Tingkat Roh. Semuanya sudah aku serap bersama Gao Shan dan Gao Shui. Kondisi kami bertiga sudah membaik, tapi..."

Hu Wei ragu sejenak, pandangannya gelisah. "Untuk melawan Haikun yang hampir mencapai Ranah Tao ke-empat... aku rasa kita butuh beberapa orang lagi, Tuan."

Senyum tipis muncul di bibir Mo Long—senyum yang membuat bulu kuduk Hu Wei berdiri. Ada sesuatu yang kelam dalam senyum itu, sesuatu yang tidak pernah dia lihat sebelumnya dari tuannya.

“Mungkin, lebih baik kita pulang ke klan, dan meminta pada Patriark Mo Han beberapa pendekar—”

"Akan ada pendekar Ranah Guru Agung yang membantu kita," kata Mo Long memotong. "Dan dengan ramuan Yuto, kekuatannya akan meledak berkali-kali lipat."

Hu Wei mengernyit bingung. Pendekar Ranah Guru Agung? Siapa yang bersedia membantu mereka melawan monster seperti Haikun?

Lalu pikirannya berhenti pada satu sosok. Wajahnya memucat seketika.

"Apakah Tuan berencana menggunakan ramuan itu untuk..." Hu Wei tidak sanggup melanjutkan. Matanya membelalak, tidak percaya.

Mo Long tidak menjawab. Dia hanya menatap ke arah timur, di mana matahari mulai tenggelam sepenuhnya. Bayang-bayangnya memanjang di atap genteng, seperti sosok iblis yang mengintai dalam kegelapan.

"Pergi istirahat, Hu Wei," perintah Mo Long tanpa memandang. "Aku akan menyerap eliksir ini. Saat fajar tiba, kita akan menyerang Haikun."

Hu Wei terdiam. Dadanya sesak. Dia ingin bertanya lebih banyak, ingin memastikan apa yang dipikirkannya salah. Tapi tatapan dingin Mo Long memberitahunya untuk tidak bertanya lebih jauh.

"Baik, Tuan." Hu Wei membungkuk, lalu pergi dengan langkah gontai.

Saat sendirian, Mo Long menutup mata. Dia duduk bersila, meletakkan pil eliksir di hadapannya. Tangannya membentuk segel, Qi Bayangan mulai mengalir dari ketiga dantiannya—dantian di bawah pusar, dantian di ulu hati, dan dantian di kening.

‘Teknik Tiga Naga Bayangan Surgawi,’ bisik Mo Long dalam hati. ‘Biarlah eliksir ini memperkuat ketiga naga dalam tubuhku.’

Dia menelan pil itu. Energi spiritual meledak dalam tubuhnya, mengalir deras ke setiap meridian. Rasa sakit yang luar biasa menyerang, seolah tubuhnya akan robek dari dalam. Tapi Mo Long hanya menggigit bibirnya, darah segar menetes dari sudut mulutnya.

Matahari tenggelam sepenuhnya. Kegelapan merayap memenuhi langit.

Tengah malam.

Ruangan di pavilun tamu hanya diterangi cahaya lilin yang berkedip-kedip. Mo Long berdiri di depan pintu, tangannya berhenti sesaat sebelum membukanya. Dadanya terasa berat, ada sesuatu yang menekan dari dalam—perasaan asing yang tidak pernah dia rasakan sebagai Guang Lian.

‘Perasaan bersalah?’ ejeknya sendiri. ‘Tidak. Aku tidak punya waktu untuk emosi lemah seperti itu.’

Dia membuka pintu.

Di atas ranjang, Yaohua terbaring dengan gaun tidur tipis berwarna putih. Rambutnya terurai di atas bantal, wajahnya pucat dalam cahaya lilin. Matanya terbuka, menatap langit-langit dengan pandangan kosong.

"Mo Long," bisiknya saat mendengar langkah kaki. Dia tidak berbalik. "Aku... tidak bisa tidur. Memikirkan Haikun. Memikirkan... apa yang akan terjadi besok."

Mo Long melangkah mendekat. Jantungnya berdetak lebih cepat—bukan karena takut, tapi karena konflik yang terjadi dalam dirinya.

Dia duduk di tepi ranjang, mengamati wajah Yaohua. Kulitnya yang bersih, wajahnya yang polos, matanya yang penuh kepercayaan—semua itu membuat sesuatu di dalam dirinya goyah.

‘Dia cantik,’ pikir bagian dari dirinya yang masih Mo Long—pemuda tujuh belas tahun yang baru mengenal cinta.

‘Dia berbahaya,’ bisik suara lain—suara Guang Lian yang dingin dan penuh dendam. ‘Dia sudah mencurigaimu. Dia terlalu pintar. Jika dia tahu jiwa yang sebenarnya menghuni tubuh ini adalah Guang Lian, dia akan lari menjauh. Atau lebih buruk—dia akan melaporkanmu.’

Mo Long menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir suara itu.

‘Jangan lemah!’ bisik suara itu lebih keras, lebih mendesak. ‘Kehidupan barumu hanya untuk satu tujuan—membalas dendam! Wanita hanya akan menghambat. Ingatlah! Ingatlah wajah-wajah mereka yang menyeringai saat kau mati di altar! Ingatlah Guang Wei yang menebas kepalamu dengan pedang pusaka klan! Ingatlah mereka yang mengkhianatimu!’

"Mo Long?" Yaohua mengulurkan tangan, membelai pipi Mo Long yang membeku dalam lamunan. "Ada apa? Kau terlihat... aneh."

Mo Long tidak menjawab. Matanya menatap kosong, terjebak dalam perang batin antara dua jiwa yang berbeda.

‘Wanita ini akan menghalangimu. Gunakan dia. Jadikan dia senjata. Lalu buang.’

‘Tapi... aku mencintainya.’

‘CINTA?’ Suara dalam kepalanya tertawa sinis. ‘Apa itu cinta dibandingkan dengan dendam yang telah menggerogoti jiwamu selama bertahun-tahun? Kau sudah mati, Guang Lian. Dan kau hidup kembali hanya untuk satu hal!’

Mo Long menarik napas dalam, lalu meraih wajah Yaohua dengan kedua tangannya. Dia membungkuk, menciumnya—ciuman yang mesra namun ada sedikit brutalitas di dalamnya. Seolah dia berusaha menutup suara dalam kepalanya dengan sensasi fisik.

Yaohua membalas ciumannya, tangannya melingkar di leher Mo Long. Tapi di tengah ciuman itu, jari-jari Mo Long mulai bergerak—cepat, presisi, tanpa suara.

Titik Yunmen—sumbat aliran Qi di meridian paru.

Titik Jiuwei—sumbat Qi di meridian jantung.

Titik Dantian Atas—tutup gerbang kesadaran spiritual.

TAP. TAP. TAP.

Yaohua tersentak. Tubuhnya tiba-tiba lemas, Qi-nya tidak mengalir. Pandangannya mulai kabur, kesadaran perlahan menghilang seperti lilin yang padam.

"Apa... yang kau... lakukan?" bisiknya lirih, suaranya hampir tidak terdengar. Matanya menatap Mo Long—tidak marah, hanya... bingung. Terluka. Kecewa.

Mo Long menatap mata itu. Untuk sesaat—hanya sesaat—wajahnya menunjukkan rasa sakit. Tapi kemudian topeng dingin kembali menutup ekspresinya.

Dia mengeluarkan sebotol kecil dari dalam jubahnya. Cairan merah kental di dalamnya berkilau dalam cahaya lilin, bergelombang seperti darah hidup.

Senyum muncul di bibir Mo Long—senyum penuh arti yang membuat darah membeku.

"Bukankah kau bilang padaku," bisiknya lembut, tapi setiap kata seperti pisau, "kau akan membunuh Haikun dengan kedua tanganmu sendiri?"

Dia membuka tutup botol. Aroma menyengat menyebar—bau logam dan sesuatu yang manis namun busuk.

Dengan satu gerakan cepat, Mo Long menuangkan cairan itu ke dalam mulut Yaohua yang lemas. Yaohua tersedak, tapi tubuhnya terlalu lemah untuk melawan. Cairan merah itu mengalir masuk ke tenggorokannya, menyebar ke setiap sel tubuhnya.

Mo Long menatap wajah Yaohua yang perlahan kehilangan kesadaran. Matanya yang indah mulai menutup, napasnya melambat.

"Sekarang," bisik Mo Long dengan suara yang terdengar asing bahkan untuk telinganya sendiri, "bunuhlah Haikun."

Dia menunduk, berbisik di telinga Yaohua yang hampir tak sadar.

"Bunuhlah suamimu sendiri, Yaohua."

Lilin padam.

Kegelapan mengisi ruangan.

Dan di dalam kegelapan itu, Mo Long duduk sendirian di tepi ranjang, menatap sosok tak sadarkan diri di hadapannya. Tangannya gemetar—begitu sedikit, hampir tidak terlihat.

‘Apa yang telah kulakukan?’

Tapi suara lain menjawab—suara yang lebih kuat, lebih dingin.

‘Kau melakukan... sesuatu yang harus kau lakukan.’.

Di luar jendela, bulan bersinar dingin di langit malam. Bayangan Mo Long memanjang di lantai kayu, seperti sosok iblis yang mengamati korbannya.

Fajar akan segera tiba.

Dan bersamanya, kematian menanti di Gunung Mayat.

1
Meliana Azalia
Kejamnya~
Meliana Azalia
Ngegas muluk
Ronny
Bertarung berdua nih ❤️
Ronny
Cu Pat Kai: ‘’Dari dulu beginilah cinta, deritanya tiada akhir’’
Ronny
Kayak tom and jerry gao shan sama gao shui wkwk
Ronny
Aya aya wae 🤣
Zen Feng
Feel free untuk kritik dan saran dari kalian gais 🙏
Jangan lupa like dan subscribe apabila kalian menikmati novelku 😁😁
Dwi Nurdiana
aww manisnya kisah cinta janda sama brondong ini
Dwi Nurdiana
aih pertarungan bagai dansa di malam hari😍
Dwi Nurdiana
min mao ini ya emang minta dicubit
Dwi Nurdiana
babii🤭
Dwi Nurdiana
wkwkwk rasain 🤭
Dwi Nurdiana
awal yang tragis tapi seru😍
Abdul Aziz
awal yang bagus dan menegangkan, lanjutin thor penasaran gimana si mo long ngumpulin kekuatan buat balas dendam
Abdul Aziz
paling gemes sama musuh dalam selimut apalagi cewe imut/Panic/
Ren
mampus mo feng!!
Ren
up terus up terus!
Ren
fix pelayanan min mao
Ren
hampir ajaa
apang
si mo long harus jadi lord kultus iblis!!!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!