Alda Putri Anggara kehilangan kedua orang tuanya sejak kecil dan tumbuh di bawah asuhan paman dan bibi yang serakah, menguasai seluruh harta warisan orang tuanya. Di rumah sendiri, Alda diperlakukan seperti pembantu, ditindas oleh sepupunya, Sinta, yang selalu iri karena kecantikan dan kepintaran Alda. Hidupnya hanya dipenuhi hinaan, kerja keras, dan kesepian hingga suatu hari kecelakaan tragis merenggut nyawanya untuk beberapa menit. Alda mati suri, namun jiwa seorang konglomerat wanita cerdas dan tangguh bernama Aurora masuk ke tubuhnya. Sejak saat itu, Alda bukan lagi gadis lemah. Ia menjadi berani, tajam, dan tak mudah diinjak.
Ketika pamannya menjodohkannya dengan Arsen pewaris perusahaan besar yang lumpuh dan berhati dingin hidup Alda berubah drastis. Bukannya tunduk, ia justru menaklukkan hati sang suami, membongkar kebusukan keluarganya, dan membalas semua ketidakadilan dengan cerdas, lucu, dan penuh kejutan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 – “Sepupu dari Neraka”
Pagi itu, matahari bersinar cerah seolah dunia baik-baik saja. Tapi untuk Alda… dunia pagi selalu punya satu nama yang bikin jantungnya langsung berdebar deg-degan Sinta.
Sinta bukan cuma sepupu. Ia adalah perpaduan sempurna antara ratu drama, ratu gosip, dan ratu iri hati dalam satu tubuh mungil yang punya suara melengking bak alarm darurat. Wajahnya cantik ya, Alda akui itu. Tapi sayang, kelakuannya bikin siapa pun pengin pasang telinga sumbat.
“ALDAAA!” teriak suara itu dari tangga. “Gimana sih kamu! Baju aku kotor!!”
Alda yang sedang mencuci piring bekas sarapan buru-buru keluar dari dapur. “Hah? Baju kamu?”
Sinta berdiri di depan tangga dengan ekspresi lebay luar biasa: satu tangan di pinggang, satu lagi memegang ujung baju putihnya yang sedikit basah. “Kamu nyuci piring sembarangan! Airnya nyiprat ke baju aku!”
“Lho… Aku nyuci di dapur belakang. Kamu di tangga depan. Gimana caranya bisa nyiprat ke kamu?” Alda berusaha tenang. Tapi dalam hati, ‘Sumpah, logika anak ini udah kabur ke planet lain.’
“Jawab!” Bibi Ratna muncul seperti bos mafia, lengkap dengan daster bunga-bunga kebesarannya. “Sinta ngomong baju kotor, berarti kamu yang salah!”
“Tapi, Bi—”
“Gak ada tapi-tapian!”
Paman Joko juga ikut nimbrung, padahal baru bangun tidur dan masih bau rokok. “Udah sana, Alda! Cuci bajunya Sinta. Jangan banyak alasan!”
Sinta menyeringai puas. Alda menahan napas, menggigit bibirnya. Ini bukan pertama kalinya Sinta mencari gara-gara. Dan seperti biasa… bibi dan paman selalu percaya Sinta tanpa berpikir dua kali.
“Ambil air panas juga ya, Alda. Biar cepet kering!” Sinta bersuara manja.
“Siap, Tuan Putri,” gumam Alda lirih dengan nada sarkas. Untung tidak terdengar.
Siang itu, saat semua anggota keluarga keluar rumah, Alda duduk di halaman belakang, menatap langit. Ia baru saja menyelesaikan setumpuk pekerjaan rumah, mencuci baju Sinta, membersihkan dapur, mengepel lantai, dan menyiram tanaman. Hanya satu orang di rumah ini yang bekerja, dia.
“Hidup ini lucu… semua harta warisan orang tuaku mereka nikmatin, aku malah jadi pembantu.” Alda menyandarkan tubuhnya ke kursi kayu tua peninggalan ayahnya.
Tiba-tiba suara langkah kaki terdengar dari arah samping rumah.
Sinta muncul sambil membawa ponsel mahal di tangannya ponsel yang dulu sebenarnya milik orang tua Alda.
“Eh, kamu masih di sini? Kupikir kamu udah kabur. Hahaha.”
“Aku gak punya tempat buat kabur,” jawab Alda tenang.
“Ya iyalah. Siapa juga yang mau nampung kamu? Orang miskin. Gak punya siapa-siapa,” ejek Sinta.
Alda menatapnya. Mata Sinta penuh kebencian. "Aneh ya, pikir Alda. Padahal aku gak pernah ganggu dia. Tapi tiap lihat aku, dia seperti pengin nyakar hidup-hidup".
“Bilang aja kamu iri,” gumam Alda pelan.
“Apa?!” Sinta mendelik.
“Aku bilang... udara panas ya hari ini,” Alda cepat mengalihkan. Belum waktunya bikin perang dunia.
Sinta mendengus. “Udah ah. Aku mau pergi jalan sama temen-temen. Kamu jangan keluyuran. Rumah ini bukan punya kamu.”
Alda menggenggam kursi kayu erat. ‘'Rumah ini justru punya aku, dasar gadis jahat!’" Tapi sekali lagi, semua hanya ada dalam pikirannya. Kalau dia bicara, satu tamparan gratis pasti melayang.
Sore hari, Sinta pulang dengan wajah panik. Tasnya sobek, rambutnya acak-acakan. Bibi Ratna langsung berlari menyambut. “Anak Ibu kenapa?!”
“Buuu… Tadi ada anak-anak cowok nabrak aku di jalan… Terus tas aku sobek!” Sinta mulai menangis lebay seperti pemain sinetron.
“Siapa yang berani sama anak Ibu!” Bibi Ratna ikut berakting.
Dan tentu saja, sesuai skenario rutin rumah ini… pelaku utamanya selalu dicari. Dan yang jadi kambing hitam… jelas Alda.
“Pasti gara-gara Alda! Ini semua karena aura sial dia!!” jerit Bibi.
“Bener!” Sinta langsung mengangguk dramatis. “Tadi sebelum aku pergi, dia natap aku tajem banget! Aku yakin itu tatapan jahat, Bu!!”
Alda yang baru saja keluar dari dapur dengan tangan masih basah menatap bingung. “Hah? Tatapan? Aura sial? Bibi serius?”
“Gak usah ngelawak!!”
Paman Joko ikut melotot. “Kamu tuh udah lama jadi beban keluarga ini. Sekarang bawa sial pula!”
Alda ingin tertawa. “Aku bawa sial karena… NATAP? Ini rumah atau panggung komedi?"
“Mulai besok, kamu gak boleh keluar rumah sembarangan. Dan kamu harus beresin semua kerjaan rumah selama seminggu. Ini hukuman karena bikin sepupu kamu sial!”
“Bii…” Alda mencoba protes.
“GAK ADA TAPI!!”
Dan sekali lagi, Alda kalah di rumahnya sendiri.
Malam itu, setelah semua tidur, Alda duduk di bangku kayu belakang rumah. Angin malam menyentuh kulitnya. Matanya menatap bintang.
“Papa… Mama…” bisiknya. “Kenapa aku lahir di keluarga kayak gini?”
Air matanya jatuh pelan. Tapi tangisnya bukan tangis lemah. Itu tangis orang yang sudah terlalu lama menahan. Orang yang sedang menyimpan luka bertahun-tahun.
“Aku janji, aku akan keluar dari rumah ini. Suatu hari nanti… aku bukan Alda yang ini lagi. Aku akan bebas.”
Langit malam tak menjawab. Tapi malam itu, entah kenapa, angin bertiup sedikit lebih kencang dari biasanya. Seakan takdir sedang bergerak… perlahan, mendekat.
Keesokan harinya, rumah itu menjadi lebih kacau lagi. Sinta kehilangan gelang emasnya hadiah ulang tahun dari Bibi Ratna. Dan tanpa pikir panjang…
“ALDAAA!!!”
“Apalagi sekarang?” ujar Alda dan keluar dari kamar dengan wajah lelah.
“Gelang Sinta hilang!” Bibi Ratna menunjuknya seperti detektif gadungan. “Siapa lagi kalau bukan kamu?!”
“Bibi nuduh aku?” Alda mengerutkan dahi. “Aku bahkan gak pernah deketin gelang itu!”
“Bohong!! Kamu iri sama Sinta!” jerit Bibi.
“Iya!” Sinta ikut menimpali. “Tadi pagi aku taruh gelang di meja rias. Terus aku keluar. Pas aku balik, gelangnya hilang. Siapa lagi yang suka bersih-bersih di kamar aku? Kamu!”
Alda terdiam. Ia memang disuruh membersihkan kamar Sinta tadi pagi. Tapi… gelang? Dia bahkan tidak menyentuhnya.
Paman Joko ikut datang dengan tampang sok serius. “Alda… kembalikan gelang itu sebelum kami laporin polisi.”
“Laporin polisi?” Alda nyaris tertawa. “Paman… ini rumah aku. Aku yang dituduh maling di rumah sendiri? Lucu juga.”
“JANGAN NGELAWAN!!” Bentakan itu membuat Alda terdiam.
Sinta menyeringai puas, seperti ratu yang menang di atas panggung.
“Kalau kamu gak ngaku juga,” Bibi berkata dengan nada tajam, “kamu gak usah keluar lagi. Gak usah kemana-mana. Di rumah aja. Jadi pembantu.”
Mata Alda memanas. Dadanya sesak. Tapi kali ini… ada sesuatu yang berbeda. Ia tidak hanya sedih. Ia marah.
“Bibi,” ucap Alda pelan tapi tajam, “aku gak nyuri gelang itu. Dan kalau Bibi tetep nuduh aku, suatu hari nanti Bibi bakal nyesel.”
Semua orang di ruangan itu terdiam sejenak. Nada suara Alda terdengar asing. Tegas. Tidak seperti biasanya.
Sinta tertawa kaku. “Ih… gaya kamu. Ngancam ya?”
“Bukan ngancam,” Alda berbalik, menatap langit-langit rumah yang dulu dipenuhi kenangan bahagia. “Cuma ngasih tahu. Orang yang ditindas terlalu lama… kadang bisa berubah.”
Saat Alda melangkah pergi, Sinta berbisik ke bibinya, “Bu… dia serem ya?”
“Biarin. Anak itu gak akan pernah bisa ngelawan kita.”
Tapi mereka salah.
Mereka tidak tahu… dunia Alda sebentar lagi akan jungkir balik.
Bersambung