NovelToon NovelToon
Tersesat Di Hutan Angker

Tersesat Di Hutan Angker

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Misteri / Horor / Rumahhantu / Mata Batin / Iblis
Popularitas:354
Nilai: 5
Nama Author: Juan Darmawan

Enam mahasiswa—Raka, Nando, Dimas, Citra, Lala, dan Novi—memutuskan untuk menghabiskan libur semester dengan mendaki sebuah bukit yang jarang dikunjungi di pinggiran kota kecil. Mereka mencari petualangan, udara segar, dan momen kebersamaan sebelum kembali ke rutinitas kampus. Namun, yang mereka temukan bukanlah keindahan alam, melainkan kengerian yang tak terbayangkan.

Bukit itu ternyata menyimpan rahasia kelam. Menurut penduduk setempat, kawasan itu dijaga oleh makhluk halus yang disebut “penunggu hutan”, sosok jin yang berwujud manusia tampan dan wanita cantik, yang gemar memperdaya manusia muda untuk dijadikan teman di alam mereka. Awalnya, keenamnya menertawakan cerita itu—hingga malam pertama di hutan tiba.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Juan Darmawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sosok Apa Itu?

Angin malam berembus pelan ketika Dimas melajukan motornya. Jalan itu hanya diterangi lampu-lampu jalan yang jaraknya cukup jauh satu sama lain. Sesekali terdengar suara jangkrik dan serangga malam.

“Wah, jalanan makin sepi aja,” gumamnya. Ia menambah kecepatan sedikit.

Namun tiba-tiba, di tikungan dekat rumpun bambu, ia melihat sesuatu. Dari kejauhan, tampak seperti seseorang berdiri di pinggir jalan. Sosok itu tinggi dan kurus, mengenakan pakaian putih panjang yang samar-samar terlihat di bawah cahaya lampu jalan yang redup. Rambutnya terurai panjang, tertiup angin.

Dimas refleks mengerem. Motornya berhenti beberapa meter dari sosok itu.

“Halo?” panggilnya, mencoba berani. Tidak ada jawaban. Sosok itu diam saja, tapi kepalanya perlahan miring ke satu sisi, seperti memperhatikan Dimas.

“Wah, mungkin warga sekitar,” katanya pelan, berusaha menenangkan diri. Ia menyalakan motornya lagi dan melaju cepat, menoleh sebentar lewat kaca spion.

Kosong.

Tidak ada siapa pun di jalan itu. Bahkan bayangannya pun lenyap.

Dimas menelan ludah, merinding. “Ah, mungkin cuma bayangan pohon,” katanya pada diri sendiri.

Udara malam makin dingin. Jalanan yang dilalui Dimas semakin sepi—tak ada rumah, tak ada kendaraan lain. Hanya suara angin dan derit ranting bambu yang saling bergesekan di kanan kiri jalan.

Ia mencoba menenangkan diri.

“Santai aja, Dim. Jangan mikir aneh-aneh.” Tapi jantungnya masih berdebar cepat sejak melihat sosok putih tadi.

Beberapa menit kemudian, tanpa sebab, motornya terasa berat.

Awalnya seperti ada angin menahan laju roda, tapi lama-lama terasa seolah ada beban besar di belakang.

Ia menoleh sekilas. Tak ada siapa-siapa. Jok belakang kosong.

Namun anehnya, suspensi motornya turun seperti sedang ditumpangi seseorang. Dimas mulai panik. Ia menarik gas, tapi motor malah makin pelan.

“Jangan bercanda dong... ini kenapa sih?” katanya dengan suara gemetar. Ia coba memutar gas lebih dalam — tapi suara mesin seperti tertahan, meraung tanpa tenaga.

Semakin lama, ia merasa sesuatu seperti hembusan napas dingin di tengkuknya. Tubuhnya mulai merinding hebat.

Sekejap saja Dimas kehilangan kendali. Motor oleng, ban depan menyentuh batu kecil, lalu terpeleset ke sisi jalan. Ia sempat berteriak kecil sebelum tubuhnya jatuh ke tanah, motornya terguling beberapa meter ke depan.

Semuanya gelap.

Dimas tak sadarkan diri.

Angin berhenti berembus, dan dari balik pepohonan bambu, muncul kabut putih yang perlahan mengelilingi tubuhnya. Dalam kabut itu, samar-samar terlihat bayangan seorang wanita berambut panjang berjalan mendekat…

***

Malam semakin larut. Lampu-lampu jalan di kawasan itu sebagian sudah padam, menyisakan beberapa titik cahaya kuning yang redup di antara kabut tipis.

Leo baru saja keluar dari apotek kecil di ujung jalan. Ia membeli obat untuk ibunya yang sedang sakit.

Rumahnya memang tak jauh dari situ, jadi ia hanya berjalan kaki sambil mendengarkan musik lewat earphone.

Namun langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sesuatu di seberang jalan—sebuah motor terguling di atas trotoar, dengan lampu depan masih menyala redup.

Leo mengenali motornya hampir seketika.

“Itu… motornya Dimas, kan?” gumamnya heran.

Ia langsung menyeberang, menurunkan earphone, dan mematikan musik.

Begitu sampai di dekat motor, jantungnya berdegup cepat. Di tanah tak jauh dari sana, ia melihat seseorang tergeletak, tubuhnya setengah tertutup dedaunan bambu yang berguguran.

“Dimas!” serunya sambil berlari. Ia menepuk-nepuk pipi temannya itu. “Dim! Hei, bangun!”

Dimas tak bergerak. Nafasnya masih ada, tapi lemah. Di wajahnya tampak debu dan sedikit luka di pelipis, seperti akibat terjatuh.

Leo menoleh ke sekitar. Jalan itu sepi, hanya suara jangkrik dan desir daun. Tapi entah kenapa, bulu kuduknya berdiri. Ada perasaan tak enak yang sulit dijelaskan—seolah ada yang sedang memperhatikan dari kegelapan.

Ia buru-buru menyalakan senter ponsel.

Cahaya putih kecil menembus kabut tipis di sekitarnya. Tapi di ujung cahaya itu… sesuatu bergerak cepat di antara batang bambu.

Tanpa banyak berpikir, Leo segera mengangkat tubuh Dimas ke punggungnya. Dengan tenaga seadanya,

Udara malam makin dingin, dan kabut yang tadi tipis kini mulai menebal. Lampu-lampu jalan di sepanjang gang kecil menuju rumah Leo berkedip beberapa kali sebelum padam satu per satu.

Sesampainya di halaman rumah, Leo berteriak,

“Pa...! Dek! Bantuin! Temanku pingsan!”

Pintu rumah segera terbuka. Ayahnya, Pak Surya, muncul dengan wajah panik. Di belakangnya, adik perempuan Leo, Mira, menyusul sambil membawa handuk kecil.

“Ya ampun, Leo! Siapa ini?” tanya sang ayah sambil membantu mengangkat Dimas ke dalam rumah.

“Teman kampus, Pa... Tadi aku nemu dia jatuh di jalan dekat kebun bambu. Sepertinya kecelakaan kecil.”

Mereka membaringkan Dimas di ruang tamu, di atas sofa panjang. Mira segera menyalakan kipas kecil dan mengambil air hangat untuk membersihkan luka di pelipisnya.

Namun saat ia menyeka wajah Dimas, tiba-tiba tangannya berhenti.

“Kak…” suaranya pelan, agak bergetar.

“Kulitnya dingin banget, kayak bukan cuma pingsan.”

Leo memegang pergelangan tangan Dimas — benar. Tubuhnya terasa dingin sekali, padahal udara di dalam rumah tidak sedingin di luar.

Pak Surya memeriksa denyut nadinya.

“Masih hidup, tapi lemah. Nanti kita panggil bidan saja, ya. Sekarang biarkan dia istirahat dulu.”

Leo mengangguk, tapi pikirannya tak tenang.

***

Sementara itu, di tempat lain, Nando sedang bersantai di kamarnya. Lampu LED biru dari layar komputer membuat suasana kamar tampak dingin. Ia duduk di kursi sambil memainkan game favoritnya, lengkap dengan headset dan musik latar yang keras.

Jam di dinding menunjukkan pukul 10.47 malam. Angin malam berembus lewat jendela yang sedikit terbuka. Tirai tipis di sudut kamar bergerak lembut, seirama dengan dentuman musik dari game.

Malam itu, Nando sendirian di rumah. Ayah dan ibunya sedang menghadiri acara keluarga di luar kota, dan adik perempuannya sedang menginap di rumah teman.

“Wah, enak juga rumah sepi gini,” katanya sambil tertawa kecil, meneguk minuman kaleng di meja.

“Bisa main sampai pagi.”

Namun, di tengah permainan, tiba-tiba terdengar suara “kring!” — suara piring pecah dari arah dapur.

Nando spontan melepas headsetnya.

Suara itu cukup keras, seperti jatuh dan membentur lantai keramik.

Detak jantung Nando masih cepat ketika ia memberanikan diri menoleh ke arah dapur.

Cahaya senter di ponselnya bergetar karena tangannya gemetar. Tapi tak lama kemudian, ia mendengar suara “meong…” pelan dari bawah meja makan.

Nando menelan ludah, lalu menunduk.

Dari bawah meja, muncul seekor kucing berwarna oranye belang putih yang langsung menggosokkan tubuhnya ke kaki Nando.

“Jenggo?!” serunya lega.

“Wah, dasar kamu ya, bikin kaget aja.”

Kucing itu mengeong pelan lagi dan menatap Nando dengan mata bulatnya yang berkilau dalam cahaya redup. Ia tampak tenang — terlalu tenang untuk seekor kucing yang baru saja memecahkan piring.

Nando tertawa kecil, berjongkok, dan mengelus kepala kucing itu.

“Pantesan tadi denger suara aneh. Rupanya kamu yang jatuhin piring, ya.”

Ia menghela napas lega dan berdiri lagi, bersiap untuk kembali ke kamarnya. Tapi baru dua langkah berjalan, sesuatu tiba-tiba terlintas di kepalanya.

Ia berhenti. Perlahan menoleh ke belakang.

Kucing itu masih duduk diam di tempat, menatapnya.

“Eh…” Nando bergumam pelan.

“Tunggu dulu…”

Ia mengingat sesuatu — sore tadi, si Jenggo dikurung di kandang belakang rumah, karena belum dimandikan dan suka lari ke atap.

Nando sendiri yang menutup kandangnya… dan menguncinya dengan kait besi.

“Kalau gitu…” bisiknya pelan,

“yang di depan aku sekarang ini—”

Belum sempat ia melanjutkan kalimatnya, kucing itu tiba-tiba menyeringai.

Bukan seperti kucing biasa — sudut mulutnya terangkat lebar, memperlihatkan deretan gigi tajam yang bukan milik hewan peliharaan.

Mata Nando membesar. Ia melangkah mundur, menjatuhkan ponselnya.

Cahaya dari ponsel yang terjatuh menerangi lantai — cukup untuk memperlihatkan bahwa bayangan kucing itu tak ada.

Dan saat ia menatap lagi, sosok “Jenggo” itu sudah berdiri dengan dua kaki, tubuhnya perlahan memanjang, dan matanya menyala merah.

1
Nụ cười nhạt nhòa
Belum update aja saya dah rindu 😩❤️
Juan Darmawan: Tiap hari akan ada update kak😁
total 1 replies
ALISA<3
Langsung kebawa suasana.
Juan Darmawan: Hahaha siap kak kita lanjutkan 😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!