NovelToon NovelToon
Balas Dendam Istri Marquess Yang Difitnah

Balas Dendam Istri Marquess Yang Difitnah

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Anak Genius / Mengubah Takdir / Mengubah sejarah / Fantasi Wanita / Balas dendam pengganti
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: BlackMail

Dieksekusi oleh suamiku sendiri, Marquess Tyran, aku mendapat kesempatan untuk kembali ke masa lalu.

​Kali ini, aku tidak akan menjadi korban. Aku akan menghancurkan semua orang yang telah mengkhianatiku dan merebut kembali semua yang menjadi milikku.

​Di sisiku ada Duke Raymond yang tulus, namun bayangan Marquess yang kejam terus menghantuiku dengan obsesi yang tak kumengerti. Lihat saja, permainan ini sekarang menjadi milikku!

Tapi... siapa dua hantu anak kecil itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BlackMail, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 02 : Keluarga Seperti Ini...

Sinar matahari terasa asing di kulitku.

Di kehidupanku sebelumnya, satu-satunya cahaya yang kulihat adalah cahaya obor yang redup atau sinar bulan yang menyelinap masuk melalui jeruji besi sel penjaraku.

Tapi kini, cahaya pagi yang hangat menerobos jendela kamarku, menyoroti partikel debu yang menari-nari di udara seperti permata kecil.

Kehangatan ini teras menusuk, seolah mengingatkanku bahwa semua ini akan menghilang lagi jika aku sampai gagal mengubah takdir.

Lila membantuku mengenakan gaun harian. Tangannya yang cekatan mengencangkan tali korset di punggungku. Setiap tarikan terasa seperti pengingat akan sangkar indah tempat aku kembali terkurung. Sangkar seorang putri bangsawan yang tugasnya hanya menjadi cantik dan diam.

"Sudah pas, Nona?" tanya Lila.

​Aku menatap pantulanku di cermin. Wajah itu masih terasa asing. Wajah seorang gadis berusia delapan belas tahun, naif dan belum tersentuh oleh kekejaman dunia. Tapi mataku... mataku menceritakan kisah yang berbeda.

Di sana, di kedalaman hazel yang seharusnya jernih, bersembunyi hantu seorang wanita berusia dua puluh enam tahun yang telah mati.

​Aku memaksakan seulas senyum, melatih otot-otot wajah yang sudah lama lupa caranya. Bukan senyum tulus, tapi senyum kosong yang biasa kupasang di kediaman Tyran. Senyum yang tidak mencapai mata.

"Sempurna, Lila. Terima kasih."

Pikiranku berpacu. Aku harus tahu kapan tepatnya aku terbangun. Musim apa, tanggal berapa. Aku harus tahu karena setiap hari, setiap jam, setiap waktu, sangat berharga.

"Apakah bunga-bunga untuk Festival Pertengahan Musim Semi sudah dipesan?" tanyaku, berusaha terdengar biasa saja sambil merapikan rambutku.

Lila terkekeh. "Astaga, Nona. Festival masih lebih dari sebulan lagi. Ini baru minggu kedua bulan Maret."

Jantungku seolah jatuh ke perut. Maret. Tepat seperti yang kutakutkan. Bencana itu dimulai pada akhir Maret. Waktuku... sangat sedikit. Dengan waktu sesempit itu... bisakah aku melakukannya?

Perjalanan menuruni tangga menuju ruang makan adalah sebuah siksaan. Setiap potret leluhur yang tergantung di dinding seolah menatapku dengan mata menuduh.

Rasanya aku bisa mendengar suara patriarkal mereka.

"Tugas utama seorang putri adalah menikah dengan keluarga yang tepat demi kehormatan keluarga! Tidak ada cinta-cintaan, mengerti!?"

"Jangan campuri urusan politik, itu wilayah para pria!"

"Berpakaianlah yang cantik, kehormatan keluarga ada di pundakmu, jangan mencoreng nama besar ayahmu!"

"Seorang wanita bangsawan tidak boleh berambisi lebih dari mendampingi suaminya, ingat itu!"

Telingaku berdengung, kepalaku terasa berat. Mereka salah. Sangat salah. Istana Ular Putih Marquess Tyran mengajarkanku bahwa wanita juga harus berpolitik. Bahwa wanita juga harus berbisnis untuk bertahan hidup di dunia ini.

Karpet tebal meredam langkah kakiku, sama seperti kediaman ini yang selalu meredam suaraku.

Para pelayan membungkuk hormat saat aku lewat. Di kehidupan pertamaku, salah satu dari mereka pasti meludah ke tanah saat melihatku yang diseret ke panggung eksekusi. Kontras itu membuat perutku mual.

Ruang makan bermandikan cahaya. Ayahku, Count Valerius Hartwin, sudah duduk di kursi utama, tersembunyi di balik lembaran koran finansial. Aroma kopi dan roti panggang yang dulu sangat kusukai, kini terasa seperti sampah yang menjijikan.

"Selamat pagi, Ayah," sapaku pelan, membungkukkan tubuhku.

Dia menurunkan korannya sedikit, matanya yang tajam menilaiku dari atas ke bawah. "Elira. Kau tampak pucat. Jangan habiskan malammu membaca Novel-Novel konyol itu lagi. Itu tidak baik untuk penampilan seorang wanita."

Aku hanya menunduk dan duduk di kursiku. Dimulai lagi. Dinding pertama yang harus kuruntuhkan. Di matanya, aku bukan pewaris atau pemikir, aku hanyalah sebuah aset yang penampilannya harus dijaga.

Saat itulah pintu ruang makan terbuka dengan suara keras. Kakakku, Cedric Hartwin, masuk dengan langkah penuh percaya diri. Wajahnya berseri-seri, senyumnya lebar dan sombong.

"Ayah! Kabar baik!" serunya, mengabaikan kehadiranku sepenuhnya sambil mengambil tempat duduk di seberangku.

Ayah akhirnya meletakkan korannya, perhatiannya tercurah penuh pada putra satu-satunya. "Ada apa, Cedric? Apa perwakilan dari Baron Latona sudah memberimu jawaban?"

Jantungku berhenti berdetak. Genggamanku pada sendok perak mengerat hingga buku-buku jariku memutih.

Itu dia.

Baron Latona.

Nama itu awal dari kiamat kami.

Awal dari kejatuhan keluarga Hartwin.

"Lebih baik dari sekadar jawaban, Ayah!" Cedric tertawa penuh kemenangan.

"Dia setuju dengan semua persyaratan kita! Kita mendapatkan investasi penuh pada dua kapal dagang baru Baron Latona yang akan membuka jalur perdagangan rempah-rempah langsung dari benua selatan! Bayangkan keuntungannya! Kita akan menjadi keluarga Count terkaya di Kontinen!"

Aku menatap wajah kakakku. Dia begitu bersemangat, begitu yakin akan kejeniusannya sendiri. Dia tidak melihat jebakan yang menganga di depan matanya. Dia hanya melihat emas yang berkilauan.

Di benakku, sebuah ingatan melintas seperti kilat. Ayahku yang berteriak histeris di ruang kerjanya, memegang surat yang mengabarkan kedua kapal itu tenggelam di tengah badai ganas bersama seluruh investasi kami.

Di sisinya, wajah Cedric yang pucat pasi, tidak mampu berkata apa-apa.

"Risikonya minimal," lanjut Cedric, menyela mimpi burukku. "Kapal-kapal itu baru dan kokoh. Baron Latona sendiri yang menjamin keamanannya. Dia bahkan menawarkan kita bagian keuntungan sebesar empat puluh persen! Empat puluh persen!"

Bodoh! Aku menjerit dalam hati. Sangat bodoh. Kapal itu baru, dari material, desain, dan awak kapal, semuanya baru. Apa dia berpikir baru artinya bagus dan kokoh artinya kebal badai? Bodoh sekali.

Jaminan Baron pun tidak ada artinya saat dia melarikan diri ke negeri seberang dengan sisa-sisa uang investor lain. Empat puluh persen dari nol tetap nol.

Aku harus tetap tenang. Aku harus memasang topengku. Aku mengambil sepotong roti, memaksanya masuk ke mulutku yang terasa kering. Aku harus terlihat seperti Elira yang mereka kenal: gadis penurut yang tidak mengerti apa-apa.

"Itu terdengar luar biasa, Kakak," kataku, suaraku dibuat terdengar kagum. Aku menelan roti dengan susah payah. "Tapi... bukankah Laut Selatan terkenal ganas pada musim peralihan seperti ini? Aku pernah membaca di sebuah buku bahwa badai bisa datang tanpa peringatan."

Cedric tertawa terbahak-bahak, seolah aku baru saja menceritakan lelucon paling lucu di dunia. "Elira, Elira. Adik kecilku yang cantik, sejak kapan kau jadi ahli maritim? Marquess Tyran yang ahli maritim saja berinvestasi pada Baron Latona! Badai? Serahkan saja urusan membaca buku pada ahlinya, dan serahkan bisnis pada laki-laki, kau mengerti?"

Ayah mengangguk setuju, tatapannya dingin. "Cedric benar. Urusanmu adalah mempersiapkan diri untuk musim debutmu, bukan mengkhawatirkan neraca perdagangan. Fokuslah pada pelajaran sosialitamu. Bilang saja kalau kamu butuh guru seni, ayah dengar memanggil guru ke kediaman sedang terkenal di kalangan putri bangsawan ibukota."

Kata-kata Ayah mendarat di perutku seperti pukulan yang tumpul. Rasanya panas dan memalukan.

Aku menunduk, menyembunyikan api kemarahan dan kekecewaan yang membakar di balik kelopak mataku, berusaha keras untuk tidak membanting sendok perak ke piring porselen.

Kata-kata mereka adalah dinding tebal yang tak bisa ditembus. Mereka tidak akan pernah mendengarkanku. Bagaimanapun pintarnya argumenku, di mata mereka aku tetaplah seorang gadis kecil yang tempatnya bukan di ruang kerja, tapi di lantai dansa.

1
BlackMail
Makasih udah mampir.🙏
Pena Santri
up thor, seru abis👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!