Hanabi di bunuh oleh wakil ketua geng mafia miliknya karena ingin merebut posisi Hanabi sebagai ketua mafia dia sudah bosan dengan Hanabi yang selalu memerintah dirinya. Lalu tanpa Hanabi sadari dia justru masuk kedalam tubuh calon tunangan seorang pria antagonis yang sudah di jodohkan sejak kecil. Gadis cupu dengan kacamata bulat dan pakaian ala tahun 60’an.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erika Ponpon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33
Hujan turun deras malam itu, membasahi jalanan Jakarta yang berkilau di bawah lampu jalan.
Moira sedang duduk di ruang kerjanya ketika ponselnya bergetar keras di atas meja. Nama Jiyo muncul di layar — dan entah kenapa, dadanya langsung terasa tak enak.
“Halo, Jiyo?”
Suara di seberang langsung terdengar kacau. Napas Jiyo terengah, diiringi suara besi bergesekan dan seseorang berteriak di latar.
“Ra… markas Nitro… barusan diserang!”
Moira sontak berdiri dari kursinya.
“Apa?! Siapa yang nyerang?!?”
“Gue nggak tahu! Mereka datang tiba-tiba — cepat banget. Semua alat kita ancur, server kebakar. Kita bahkan nggak sempet lihat muka mereka.”
Moira menatap jendela, petir menyambar, wajahnya terlihat pucat tapi matanya membara.
“Ada korban?”
“Beberapa luka, tapi yang paling parah ruang dokumen. Ra…” suara Jiyo melemah, “mereka ninggalin sesuatu.”
“Sesuatu? Maksud lo?”
Ada jeda, lalu suara Jiyo terdengar makin tegang.
“Tulisan di dinding… pake darah. ‘Menyerah. Jangan semakin mencari.’”
Ruangan seketika hening. Moira mengepalkan tangannya erat, jantungnya berdetak cepat.
“Mereka pikir gue bakal berhenti cuma gara-gara ancaman murahan begitu?”
“Ra, ini serius. Mereka tahu semua tentang kita. Tentang lo.”
Moira menatap cermin di depannya — bayangan wajahnya tampak berbeda malam itu: lebih gelap, lebih dingin.
“Kalau mereka tahu gue, berarti mereka juga tahu apa yang udah mereka mulai.”
“Lo mau ke sini? Kondisi masih kacau.”
“Gue ke sana sekarang.”
“Moira… hati-hati, ya. Ini kayaknya bukan orang sembarangan.”
Moira mengambil jaket kulit hitamnya, langkahnya mantap menuju pintu.
“Justru itu, Jiyo. Gue pengen tahu siapa yang cukup gila buat ngelawan Nitro.”
Ia menutup telepon, dan dari pantulan kaca, terlihat senyum tipis menghiasi wajahnya — senyum berbahaya.
“Menyerah? Mereka belum tahu siapa yang mereka tantang.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Asap tipis dari knalpot motor memenuhi udara malam yang dingin. Jalanan aspal basah berkilau diterpa cahaya lampu jalan yang redup. Moira baru saja berbelok di tikungan menuju arah barat — tak jauh lagi dari markas Nitro — ketika deru mesin berat mulai terdengar dari kejauhan.
Braaammm… braaaammm…
Suara itu semakin mendekat. Dua puluh motor gede berhenti melingkar, menutup jalan. Para pria berbaju hitam turun satu per satu. Helm full-face menutupi wajah mereka. Beberapa membawa rantai baja, sebagian lagi menggenggam parang dan besi panjang.
Moira menghentikan langkah, melepas helmnya perlahan. Rambutnya terurai, wajahnya tenang namun matanya berkilat tajam.
“Tch… dari cara berdiri aja udah ketahuan. Kalian bukan preman jalanan biasa. Siapa yang nyuruh?”
Salah satu pria maju, tubuhnya besar, berjaket kulit penuh emblem tengkorak.
“Oh, jadi ini penggantinya Razka?” katanya sinis.
Tawa kasar terdengar dari belakang.
“Cewek lagi… hahaha! Nitro sekarang tren nyari ketua perempuan, ya? Dulu Hanabi, sekarang Moira… apa nanti ganti nama jadi Sisterhood Nitro?”
Suara mereka pecah tawa. Tapi Moira hanya tersenyum miring, satu senyum yang membuat suasana seketika menegang.
“Lucu banget. Sayang, bentar lagi kalian gak sempet ketawa lagi.”
Pria di depan menenteng rantai baja.
“Santai, cantik. Kita cuma disuruh kasih pesan… katanya, ‘Nitro udah nggak pantas dipimpin cewek’.”
“Hmm.” Moira memutar belati di jarinya, mata menatap tajam ke arah mereka. “Gue kasih pesan balik—nitro nggak pernah tunduk sama pengecut.”
“Pengecut?” Lelaki itu menggeram, lalu berteriak,
“Serang dia!!!”
Ledakan suara mesin dan deru langkah memenuhi udara. Tapi Moira sudah bergerak lebih dulu.
Belatinya berkilat di bawah cahaya lampu jalan. Ia melompat ke atas motor, menendang helm salah satu pria hingga terpental ke aspal.
Bugh!
Dalam satu gerakan berputar, ia merobek rantai baja dengan tebasan cepat. Logam jatuh bersuara nyaring.
Srak! Srak! Srak!
Tiga orang tumbang hampir bersamaan, darah mereka menetes ke genangan air.
Seorang lagi berlari dari belakang membawa batang besi. Moira merunduk, lalu menghantamkan lututnya ke perut pria itu—cukup keras hingga terdengar bunyi krek! dari tulang rusuk yang patah.
Brak!!
“Empat.” gumamnya pelan, menghitung sambil berdarah dingin.
Lima orang menyerang bersamaan dari kiri. Moira melempar belatinya — satu tertancap di bahu, satu lagi di kaki. Ia berputar cepat mengambil rantai yang jatuh, mengayunkannya ke dua pria lainnya. Rantai melilit leher mereka, dan satu hentakan tajam membuat keduanya ambruk ke tanah.
Srak!!
“Delapan.” ujarnya datar, matanya berkilat tajam.
Sisanya mulai mundur, tapi Moira justru berjalan maju perlahan, tubuhnya tegak, langkahnya mantap, wajahnya dingin seperti malaikat kematian.
“Kalian datang dua puluh orang buat lawan satu perempuan. Sekarang tinggal berapa? Tujuh? Enam?”
Salah satu dari mereka mengangkat taser gun dan menembakkannya. Tapi Moira menepis dengan rantai logam, kabel listrik itu berbalik arah dan menyambar tangan si penembak sendiri. Jeritannya menggema, tubuhnya jatuh ke tanah, mengejang keras.
Criing!!
“Lima.”
Hujan mulai turun. Tetesan air menetes di wajah Moira, tapi matanya tetap dingin. Ia memungut belatinya dari tanah, darah menetes pelan dari ujungnya.
“Sampaikan sama yang nyuruh lo…” katanya datar, suaranya menggema di antara deru hujan. “Nitro nggak tunduk, apalagi sama pengecut yang cuma bisa nyerang dari balik bayangan.”
Pemimpin mereka, yang sejak tadi berdiri di belakang, berusaha naik ke motornya. Tapi Moira sudah di depannya duluan. Satu hentakan kaki menghantam tangannya, dan belati Moira menancap di setang motor, hanya sejengkal dari leher pria itu.
“Pergi dari sini sebelum gue ubah kepala lo jadi trofi.”
Pria itu menatapnya ngeri, lalu memutar gas secepat mungkin, diikuti sisanya yang tersisa hidup.
Moira berdiri di tengah jalan yang penuh tubuh terkapar dan motor terguling. Nafasnya berat, tapi senyum puas menghiasi wajahnya. Ia menatap kertas kecil yang terbang tertiup angin — kertas dengan tulisan samar.
“Menyerah. Jangan semakin mencari.”
Moira meraih kertas itu, meremasnya kuat-kuat, lalu membakarnya dengan korek kecil dari saku jaketnya. Api kecil berkedip di bawah hujan.
“Kalian salah orang.” katanya dingin. “Hanabi gak pernah tahu arti menyerah.”
Lalu ia berjalan pergi, meninggalkan genangan darah, suara motor roboh, dan bau logam terbakar di udara malam yang basah.
apa alter ego nya atau gimana neh... tapi kaya nya mulai keluar ya thor alter ego nya.. asikkkk ada yg suka darah 🤭🤭
ya kasih 1 lah Thor alter ego nya utk hanabi / moira😍😍😍
, neng red dan neng winter😂😂😂
lanjutkan lagi thor... 😍😍