Aluna ditinggal mati suaminya dalam sebuah kecelakaan. Meninggalkan dia dengan bayi yang masih berada dalam kandungan. Dunianya hancur, di dunia ini dia hanya sebatang kara.
Demi menjaga warisan sang suami, ibu mertuanya memaksa adik iparnya, Adam, menikahi Aluna, padahal Adam memiliki kekasih yang bernama Laras.
Akankah Aluna dan Adam bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hare Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Pikiran Adam kacau. Ia segera berlari menuju kamar Aluna, kakinya terasa berat namun dipaksakan untuk bergerak cepat. Saat membuka pintu, ia mendapati Aluna terbaring lemah di lantai, wajahnya pucat. Adam langsung mengangkat tubuhnya dengan hati-hati, lalu membawanya ke mobil.
Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, Adam dilanda rasa bersalah. Dia merasa telah mengabaikan permintaan Arman. Dia seharusnya menjaga Aluna, bukankah Arman sudah menitipkan Aluna kepadanya?
Tiga puluh menit mendapat perawatan di rumah sakit, Aluna dinyatakan baik-baik saja. Dia hanya sedikit terguncang, mungkin karena kematian sang suami.
“Pasien hanya mengalami kelelahan berat dan tekanan emosional yang tinggi. Mungkin karena stres. Kandungannya kuat, tidak ada ancaman keguguran,” jelas dokter yang menangani Aluna dengan suara tenang.
“Suaminya baru saja meninggal,” jawab Adam lirih.
“Turut berduka cita, Pak. Tapi, saya sarankan dia tidak dibiarkan sendirian. Butuh dukungan psikologis dan fisik. Jika terus seperti ini, bisa berdampak pada janin,” ucap dokter lagi.
“Terima kasih, Dok.”
Adam menghela nafas lega, setidaknya kini Aluna baik-baik saja. Aluna kini sedang bersama ibu mertuanya, wanita paruh baya itu hanya diam menatap sang menantu yang terbaring lemah dengan pandangan dingin, seolah Aluna seharusnya tidak berada disana.
Dokter menyarankan Aluna untuk dirawat di rumah sakit, tapi karena saat ini di rumah sedang sibuk dengan segala macam persiapan doa untuk Arman, tidak akan ada yang bisa menjaga Aluna di rumah sakit, tidak mungkin Adam yang menjaganya, akhirnya atas persetujuan dokter Aluna hanya rawat jalan.
“Arman sudah tidak ada, tidak ada lagi tempat untukmu bermanja-manja, Aluna. Kami semua memiliki kegiatan sendiri. Jaga kesehatanmu sendiri, jangan merepotkan orang lain seperti ini,” ujar Ratna, melirik kearah sang menantu saat dalam perjalanan kembali ke rumah.
Aluna yang tampak masih lemah hanya menunduk, bibirnya gemetar. “Iya, Ma.”
“Nanti, suruh Bi Karti yang menemani Aluna di rumahnya. Takutnya kenapa-napa kalau tinggal sendirian,” ujar Pak Dimas, ayah mertua Aluna.
“Terus di rumah siapa yang mengerjakan semua pekerjaan itu, Pa?” tanya Ratna tidak suka.
“Kan ada Bi Susi.”
“Dia hanya mencuci dan menggosok, Pa. Dia gak bakal mau disuruh nginap,” rutuk Ratna kesal.
“Gak usah suruh nginap, tapi suruh dia mengerjakan semua pekerjaan Bi Karti selama ini, baru pulang kalau pekerjaan sudah selesai. Dan upahnya di tambahin kok. Ini juga hanya sementara, hanya sampai Aluna melahirkan,” jawab Pak Dimas.
“Terserah Papa deh.”
“Ya mau gimana lagi, siapa yang mau menemani Aluna. Dokter sudah bilang kan dia gak boleh dibiarkan sendirian.”
“Makanya, Aluna, perbanyak ibadah.”
Aluna yang hampir saja ketiduran tersentak mendengar namanya disebutkan. Dan lagi-lagi dia yang salah. Tidak ada yang peduli dengan keadaannya. Tidak ada yang bertanya apakah dia baik-baik saja kehilangan suaminya? Dan bahkan semua yang dia lakukan selalu salah.
Bukan inginnya lemas seperti ini, tapi dia telah kehilangan pegangan. Dia kini bahkan tidak tahu seperti apa harus melanjutkan hidupnya. Setelah kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat lima tahun lalu, dia tidak memiliki siapapun. Saat itu, orang tuanya pulang dari berkunjung ke rumah saudaranya yang beda pulau, dan saat itu pesawat yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan, tidak ada yang selamat termasuk kedua orang tua Aluna.
Kehadiran Arman adalah dunia baru baginya, dia kembali bisa tersenyum. Tapi, kini dunia yang hanya tinggal satu-satunya juga telah diambil secara paksa. Tuhan benar-benar mengujinya.
“Iya, Ma,” jawab Aluna akhirnya.
“Jangan iya-iya aja, gak mungkin kan mau merepotkan semua orang!”
“Iya, Ma.”
Adam hanya diam, setidaknya dia kini sedikit merasa tenang karena Aluna akan dijaga oleh Bi Karti. Dia hanya perlu menemani Aluna saat kontrol saja.
Tujuh hari setelah kematian Arman…
Semakin hari, semakin lama kepergian Arman. Rumah masih diselimuti duka. Orang-orang yang ditinggalkan mulai terbiasa. Tapi, bagaimana dengan Aluna?
Hidupnya semakin sepi, jika kemarin-kemarin masih banyak tetangga yang ikut membantu selama yasinan, tapi kini rumah benar-benar sepi. Hanya Bi Karti yang akan menemaninya.
Malam ini, setelah para tetangga pulang, kini di ruang keluarga mereka semua berkumpul. Mereka tampak ingin menggelar sidang.
“Apa rencana mu, Aluna?” tanya Ratna membuka pembicaraan.
Aluna menggeleng. “Tidak tahu, ma.”
“Ck, entah mengapa Arman bisa begitu mencintaimu. Kau bahkan tidak bisa merencanakan hidupmu sendiri,” kesal Ratna.
Aluna hanya mengangguk.
“Arman meninggalkan dua usaha yang sedang berkembang pesat, yaitu pabrik beras dan juga penambangan pasir. Mulai besok, semua itu akan diambil alih oleh Adam,” ujar Pak Dimas membuka suara.
Aluna tidak menjawab, ternyata mereka berkumpul disini hanya untuk membahas harta peninggalan suaminya. Dia tahu, Arman memiliki beberapa bisnis, yang memang awalnya modal diberikan oleh Dimas.
“Tapi, Pa. Aku kan punya bisnis travel,” jawab Adam.
“Bisa kau atur itu secara bersamaan,” ujar Dimas.
Adam tidak lagi menyela, karena dia tahu, Dimas juga sudah sibuk dengan bisnis yang perkebunan kelapa sawit dan juga sewa alat berat.
“Jadi, Aluna nya harus gimana?” tanya Ratna yang seolah kehadiran Aluna benar-benar menjadi pengganggu dalam keluarga mereka.
“Setelah kematian Arman, Aluna sebenarnya tidak ada hubungannya lagi dengan kita. Anggap saja sampai anak itu melahirkan, dia bisa saja bukan lagi tanggung jawab kita…”
Deg!
Dada Aluna rasanya begitu sesak. Dia menatap sang ayah mertua yang sedang menjeda kalimatnya. Dia tidak membantah, karena memang begitu adanya. Selama ini, dia bagian dari keluarga ini karena dia istrinya Arman. Tapi, sekarang Arman sudah tidak ada.
“Tapi, anak yang akan dilahirkan Aluna nantinya adalah tanggung jawab kita—“
“Jadi, kita juga masih harus bertanggung jawab terhadap Aluna, Pa, kalau begitu,” potong Ratna.
“Dalam harta yang ditinggalkan Arman, itu ada hak Aluna dan juga anaknya. Papa rasa Aluna masih bisa hidup dengan baik. Untuk anaknya, meskipun dia mendapatkan warisan, kita juga tetap harus bertanggung jawab,” jawab Dimas.
“Keenakan Aluna dong, Pa. Dia itu menikah dengan Arman tidak memiliki apapun, hanya tinggal di rumahnya yang hampir roboh itu. sekarang, mau diberikan warisan. Saat dia menikah lagi, enak sekali suami barunya,” kesal Ratna.
Dimas terdiam, menarik nafas pelan-pelan. Sejak awal, mereka memang tidak menyetujui Arman menikahi Aluna. Tapi, Dimas tidak pernah menolak secara keras. Apalagi Arman tetap menikahi Aluna, bagaimanapun juga Aluna tetaplah menantunya.
“Ya memang begitu aturannya, Ma,” jawab Dimas akhirnya.
“Gak bisa gitu, Pa. yang selama ini bekerja kan Arman. Aluna hanya ongkang ongkang kaki di rumah, seperti orang kaya.”
“Kalau begitu, setelah Aluna melahirkan Adam harus menikah dengan Aluna,” putus Dimas tegas.