Luna Maharani.
Nama yang sudah lama tidak ia dengar. Nama yang dulu sempat jadi alasan pertengkaran pertama mereka sebelum menikah. Mantan kekasih Bayu semasa kuliah — perempuan yang dulu katanya sudah “benar-benar dilupakan”.
Tangan Annisa gemetar. Ia tidak berniat membaca, tapi matanya terlalu cepat menangkap potongan pesan itu sebelum layar padam.
“Terima kasih udah sempat mampir kemarin. Rasanya seperti dulu lagi.”
Waktu berhenti. Suara jam dinding terasa begitu keras di telinganya.
“Mampir…?” gumamnya. Ia menatap pintu yang baru saja ditutup Bayu beberapa menit lalu. Napasnya menjadi pendek.
Ia ingin marah. Tapi lebih dari itu, ia merasa hampa. Seolah seluruh tenaganya tersedot habis hanya karena satu nama.
Luna.
Ia tahu nama itu tidak akan pernah benar-benar hilang dari hidup Bayu, tapi ia tidak menyangka akan kembali secepat ini.
Dan yang paling menyakitkan—Bayu tidak pernah bercerita.
Akankah Anisa sanggup bertahan dengan suami yang belum usai dengan masa lalu nya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Call Me Nunna_Re, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33
Pagi itu suasana Millanoz Group terasa tegang.
Setiap staf yang melintas di depan ruangan CEO menunduk dalam, berusaha menahan napas agar tidak menarik perhatian.
Di balik pintu kaca buram itu, Clara duduk gelisah, wajahnya pucat dan tangannya menggenggam map laporan erat-erat.
Di hadapannya, Jovan Millanoz berdiri tegak dengan ekspresi dingin, nyaris tanpa emosi.
Namun tatapan matanya tajam cukup untuk membuat siapa pun merasa kecil di hadapannya.
“Kamu tahu kenapa saya panggil kamu ke sini?”
Suara Jovan terdengar tenang, tapi dingin seperti baja.
Clara menelan ludah, mencoba tersenyum canggung.
“Saya tidak tau pak?"
"Tidak tau?, setelah apa yang kamu lakukan kemaren pada Anisa?." sentak Jovan membuat Carla terperanjat dari mana atasanya itu tau.
"T-Tentang kemarin, Pak Jovan… saya tidak bermaksud meninggalkan Nisa. Saya hanya.. hanya saja perut saya mendadak sakit, jadi saya pergi ke rumah sakit...” Ujar Clara beralibi.
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Jovan mengangkat tangannya pelan, memberi isyarat untuk diam.
Dari sisi ruangan, Damian berdiri dengan tablet di tangan, menatap Clara datar.
“Kami sudah memeriksa daftar pasien di tiga rumah sakit terdekat hari itu,” ucap Damian tenang namun tegas.
“Tidak ada nama pasien atas nama Clara Yovita Prameswari.”
Clara langsung membeku di tempat.
“M–mungkin ada kesalahan data pak.”
“Kami sudah cek langsung ke sistem nasional,” lanjut Damian, tanpa ekspresi.
“Tidak ada kesalahan.” tegas nya.
Suasana menjadi hening.
Hanya terdengar detak jam dinding yang menggema pelan di antara ketegangan.
Jovan menatap Clara dengan mata gelap yang tak bisa ditebak.
“Kamu sadar, Clara?” katanya perlahan, namun setiap kata mengandung tekanan.
“Kamu bertanggung jawab atas siapa pun yang kamu bawa dalam urusan perusahaan. Termasuk Anisa. Bukankah saya mempercayakan kamu untuk mengantarnya kembali ke kantor, Dan ternyata kamu malah meninggalkan dia sendirian di tempat asing hanya karena alasan yang kamu buat sendiri.”
Clara menunduk, jemarinya saling menggenggam erat, menahan gemetar.
“Saya… saya tidak bermaksud, Pak...saya...”
“Cukup.”
Nada suara Jovan meninggi sedikit, tegas dan menusuk.
“Ambisi boleh, tapi kalau ambisi itu membuatmu kehilangan rasa tanggung jawab, kamu tidak pantas berada di sini. Apa pantas seorang kepala marketing yang seharusnya membimbing anak magang, tapi malah menaruh iri kepadanya. Selama dia magang disini maka keselamatan dia adalah tanggung jawab perusahaan. Jika seandainya kemaren terjadi sesuatu kepada nya, siapa yang akan di salah kan?, tentu saja saya sebagai CEO disini. Pernah gak terpikir sama kamu sampai kesana?”
Clara menggigit bibirnya, matanya mulai berkaca-kaca. Ia tahu, tidak ada ruang untuk pembelaan.
“Mulai hari ini,” lanjut Jovan tanpa menatapnya, “Semua urusan lapangan kamu serahkan ke tim lain. Anggap ini peringatan terakhir. Sekali lagi kamu bermain-main dengan kepercayaan saya, kamu tidak perlu datang ke kantor ini lagi.”
Clara terdiam. Hanya suaranya yang lirih terdengar,
“Saya mengerti, Pak. Maafkan atas kecerobohan saya…”
Jovan tak menanggapinya. Ia hanya memberi isyarat halus pada Damian untuk mengantar Clara keluar. Begitu pintu tertutup, Jovan menarik napas panjang, memejamkan mata sejenak, lalu menatap keluar jendela tinggi kantornya.
“Kalau saja waktu itu sesuatu terjadi pada Anisa…Aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri.” gumam nya Lirih. Apalagi dengan apa yang terjadi kemaren di rumah nya membuat nya semakin gusar.
Suara langkah hak tinggi terdengar bergema di sepanjang lorong lantai paling atas Millanoz Group. Setiap pegawai yang berpapasan langsung menunduk tahu betul ekspresi Clara Yovita pagi itu bukan pertanda baik.
Wajahnya tegang, matanya menyala penuh amarah, dan jemarinya mengepal di sisi tubuh seperti siap meledak kapan saja.
Ia baru saja keluar dari ruangan CEO setelah mendapat teguran keras.
Nama Anisa terus terngiang di kepalanya.
Gadis itu… pasti dia yang mengadu pada Jovan! Pikir Clara.
Bagaimana lagi Jovan bisa tahu soal dirinya meninggalkan Anisa di tengah jalan, kalau bukan gadis itu yang mengadu langsung?
“Dasar gadis sok suci,” gumam Clara di antara desis napasnya. “Kau pikir bisa menyingkirkan aku semudah itu, Cepu banget. Dasar gadis rendahan!”
Langkahnya berhenti di depan ruangan sekretaris pribadi, ruangan kecil namun rapi tempat Anisa bekerja. Tanpa mengetuk, Clara langsung membuka pintu dengan kasar.
Anisa yang sedang menata dokumen di meja refleks menoleh.
“Mbak Clara?” ucapnya pelan, sedikit terkejut melihat tatapan tajam yang menusuk ke arahnya.
Clara berjalan mendekat, tumit sepatunya beradu dengan lantai marmer, menimbulkan suara yang menggetarkan dada Nisa.
“Kamu puas sekarang, Hah?” bentak Clara dengan nada tajam.
“Kamu pikir kalau kamu adukan aku ke Pak Jovan, kamu akan kelihatan hebat di mata dia?”
Nisa mengerutkan kening, mencoba tenang walau jantungnya berdetak cepat.
“Mbak Clara, saya tidak mengadu apa pun… Saya bahkan tidak tahu maksud mbak.”
“Jangan pura-pura polos Nisa!” Clara semakin mendekat, menatapnya dari jarak yang sangat dekat hingga Nisa bisa mencium aroma parfum tajamnya yang menyengat.
“Dengar ya, Nisa. Kamu boleh pintar, kamu boleh disayang sama atasan, tapi jangan pernah lupa kamu itu cuma anak magang. Sekali aku mau, kamu bisa hilang dari sini tanpa jejak.”
Nada ancamannya dingin dan menusuk, membuat Nisa terpaku di tempat. Namun ia berusaha tersenyum kecil, menenangkan diri.
“Saya tidak punya niat buruk, Mbak. Saya hanya berusaha bekerja dengan baik.”
Clara mendengus, matanya berkilat.
“Kamu pikir aku percaya dengan omong kosong mu itu?, Apak kamu pikir aku gak tau kalau kamu berusaha menarik perhatian Pak Jovan agar nilai kamu bagus?, atau kamu berniat akan langsung kerja disini setelah tamat?, Cuih....jangan mimpi Nisa. Tidak semudah itu. Sebaiknya kamu bangun dari mimpi kamu sebelum terlambat.”
Dengan kasar, Clara menepis map di meja Nisa hingga beberapa berkas berjatuhan ke lantai.
“Ingat ini, Anisa. Aku tidak akan kalah dari gadis seperti kamu.”
Setelah berkata demikian, Clara membanting pintu sekeras mungkin hingga suara...
brak!
Yang keras menggema ke seluruh koridor.
Beberapa staf di luar menatap ke arah ruangan itu dengan bingung, namun tak ada yang berani mendekat. Nisa memejamkan matanya perlahan, satu tangannya mengusap dada yang terasa sesak.Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri.
“Aku benar-benar tidak mengerti apa yang membuatnya semarah itu sama aku...” bisiknya lirih.
“Kenapa semua orang selalu salah paham padaku…”
Di luar sana, Clara melangkah menjauh dengan senyum sinis di bibirnya. Dalam hatinya, api dendam sudah mulai membara dan ia bertekad akan membuat Anisa menyesal telah “mengambil perhatian” dari pria yang selama ini tak pernah melihat siapa pun selain pekerjaannya.
minta balikan habis ini yahhh lagu lama