Mati tertabrak truk? Klise.
Tapi bangun di dunia penuh sihir, monster, dan wanita cantik berbahaya?
Shen Hao tidak menyangka, nasib sialnya baru dimulai.
Sebagai pria modern yang tengil dan sarkastik, ia terjebak di dunia fantasi tanpa tahu cara bertahan hidup. Tapi setelah menyelamatkan seorang gadis misterius, hidupnya berubah total—karena gadis itu ternyata adik dari Heavenly Demon, wanita paling ditakuti sekaligus pemimpin sekte iblis surgawi!
Dan lebih gila lagi, dalam sebuah turnamen besar, Heavenly Demon itu menatapnya dan berkata di depan semua orang:
“Kau… akan menjadi orang di sisiku.”
Kini Shen Hao, pria biasa yang bahkan belum bisa mengontrol Qi, harus menjalani hidup sebagai suami dari wanita paling kuat, dingin, tapi diam-diam genit dan berbahaya.
Antara cinta, kekacauan, dan tawa konyol—kisah absurd sang suami Heavenly Demon pun dimulai!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZhoRaX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CH 25
Pagi itu udara di Crimson Moon Sect terasa lembut — embun masih bergelayut di dedaunan, dan suara burung spiritual terdengar dari kejauhan.
Di halaman depan paviliun tamu, Shen Hao berdiri sambil meregangkan tubuh.
Wajahnya masih tampak sedikit lelah; semalam ia tidur terlalu larut, pikirannya terus berputar tentang ketua sekte yang akan menikahinya.
Namun sebelum ia sempat beranjak untuk mencari sarapan, langkah kaki ringan terdengar dari arah taman.
Suara lembut tapi cerah memecah keheningan pagi itu.
“Ah, jadi ini orangnya…”
Shen Hao menoleh.
Di hadapannya berdiri seorang perempuan muda berambut perak lembut yang berkilau terkena cahaya matahari, mata hijau zamrudnya berkilat seperti daun basah di pagi hari.
Pakaiannya putih kehijauan dengan sulaman lotus di ujung lengan — sederhana, namun anggun.
Mei Ling’er.
Penatua Hall of Grace… dan adik Mei Xian’er.
Shen Hao spontan menegakkan tubuh, mencoba tersenyum sopan.
Namun sebelum ia sempat memperkenalkan diri, gadis itu sudah menatapnya dalam-dalam — matanya membesar sedikit, seolah baru saja melihat sesuatu yang tak pernah ia sangka.
“Tunggu… kau…!”
Shen Hao mengerjap, bingung.
“Uh… iya? Aku… aku kenal kau, ya?”
Mei Ling’er menutup mulutnya pelan, lalu menatapnya dengan ekspresi campuran antara terkejut dan tidak percaya.
Ingatan lama berkelebat cepat dalam benaknya —
Sebuah lembah sunyi.
Tubuhnya penuh luka akibat diserang oleh orang-orang yang ingin memanfaatkan kondisi lemahnya setelah tribulasi gagal.
Ia sempat berusaha kabur, tapi tubuhnya tidak lagi mampu menahan rasa sakit.
Dan tepat ketika ia terjatuh dari tebing kecil itu, seseorang muncul.
Seorang pria muda berpakaian aneh — bertelanjang dada, hanya memakai celana pendek lusuh, tubuhnya basah kuyup, wajahnya kebingungan.
Namun bukannya menjauh atau panik, pria itu justru berlari ke arahnya dan menahan tubuhnya agar tidak membentur batu.
Ia ingat bagaimana dadanya bersandar di dada pria itu —
bagaimana aroma keringat dan darah bercampur dengan bau tanah dan dedaunan.
Ia bahkan masih ingat bagaimana pria itu dengan panik berkata,
“Hei! Kau masih hidup, kan?! Jangan mati di depanku, aku belum tahu cara hidup di dunia ini!”
Kemudian, setelah sempat pingsan, ia sadar sesaat hanya untuk mendengar pria itu berbisik gugup:
“Tenang… aku ti— eh, aku tidak akan menyentuhmu, tapi tolong jangan berdarah terus, ya?”
Dan sebelum ia benar-benar kehilangan kesadaran, ia sempat melihat wajah pria itu jelas.
Tatapan ungu yang aneh, berbeda dari manusia biasa.
Lalu… ia berbisik pelan,
“Terima kasih…”
dan menghilang begitu saja, melarikan diri dari tempat itu ketika sudah sadar kembali.
Kini, di pagi yang tenang itu, wajah di depannya adalah wajah yang sama.
Tak salah lagi.
Pria itu —
Pria dengan rambut hitam acak, mata ungu, dan ekspresi bingung —
adalah orang yang dulu menyelamatkannya.
Mei Ling’er memegangi dadanya yang tiba-tiba berdebar cepat, lalu berkata dengan suara sedikit bergetar,
“Kau… waktu itu di lembah barat… itu… kau, bukan?”
Shen Hao menatapnya bingung.
Ia mengerutkan dahi, mencoba mengingat.
“Lembah barat…? Ah! Kau… kau yang—”
Kalimatnya terputus ketika ia teringat dengan jelas:
wanita yang jatuh dari langit, darah di mana-mana, dan dirinya yang nyaris panik setengah mati.
“Jadi… kau yang waktu itu?!” serunya.
“Ya ampun… aku kira kau sudah mati waktu itu! Kau langsung menghilang tanpa pamit!”
Mei Ling’er tersenyum lembut, tapi wajahnya masih memerah karena malu —
terutama karena kini ia sadar betul bahwa waktu itu ia benar-benar jatuh tepat di atas pria ini, dalam keadaan tak berdaya dan nyaris pingsan.
“Aku… memang sempat kabur waktu sadar. Aku malu… karena… ya, waktu itu…”
Ia menunduk, suaranya mengecil,
“Kau… tidak memakai baju…”
Shen Hao yang mendengarnya langsung terbatuk keras.
“Itu—! Itu bukan salahku! Aku baru saja tiba di dunia aneh itu, semua bajuku terbakar karena sambaran petir!”
Mata hijau Mei Ling’er meliriknya, mencoba menahan tawa, tapi bibirnya sedikit melengkung.
Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, seseorang membuatnya tertawa tanpa sadar.
Namun jauh di dalam dirinya, ada sesuatu yang bergetar pelan — perasaan aneh antara takdir dan kebetulan yang terlalu sempurna.
Ia tak menyangka pria yang dulu menolongnya tanpa pamrih… kini akan menjadi calon suami kakaknya sendiri.
Di ruang utama Crimson Moon Sect, suasana siang itu terasa tenang namun penuh tekanan halus.
Mei Xian’er tengah duduk di kursi batu berhias giok merah — rambut hitam legamnya tergerai hingga menyentuh lantai, dan mata crimson-nya menatap lembut gulungan dokumen di tangannya.
Di luar, suara air terjun lembah terdengar samar, menambah kesan keagungan sekaligus dingin pada paviliun pribadinya.
Pintu geser perlahan terbuka.
Sebuah langkah ringan terdengar, dan Mei Ling’er masuk sambil membawa senyum canggung — senyum yang membuat kakaknya segera tahu, ada sesuatu yang tidak biasa.
“Masuklah, Ling’er.”
Suara Mei Xian’er lembut, tapi mengandung wibawa yang tidak bisa dibantah.
“Wajahmu tampak… menyimpan sesuatu. Apa ada hal penting?”
Mei Ling’er menelan ludah. Ia menatap kakaknya, lalu menunduk pelan.
“Kak… aku tadi bertemu dengan… Shen Hao.”
Mei Xian’er berhenti menulis. Gerak tangannya terhenti di udara, lalu menatap adiknya dengan tenang.
“Lalu?”
“Aku… aku baru menyadari sesuatu.”
“Tentang apa?”
Ling’er menarik napas panjang —
“Kak… aku pernah bertemu dengannya… jauh sebelum turnamen itu diadakan.”
Mata crimson Mei Xian’er sedikit menyipit, auranya bergetar lembut, seperti bara api yang tersentuh angin.
“Kau… pernah bertemu dengannya?”
“Ya. Waktu itu aku sedang terluka parah setelah pertarungan dengan orang dari Sekte Shadow Serpent. Aku terjatuh di lembah barat… dan dia yang menolongku.”
“Menolong?”
Nada Xian’er terdengar datar, tapi ada ketertarikan halus yang terselip di baliknya.
Ling’er mengangguk pelan, wajahnya memerah hingga ke telinga.
“Iya… dia benar-benar menolongku. Tapi waktu itu…”
Ia menggigit bibirnya, lalu menunduk makin dalam.
“… dia… tidak memakai baju, Kak.”
Hening.
Sangat hening.
Bahkan suara air di luar ruangan seolah berhenti mengalir sesaat.
Mei Xian’er tidak bergerak — hanya menatap adiknya dalam diam beberapa saat, sebelum akhirnya tersenyum kecil.
Senyuman itu indah, tapi… ada hawa yang membuat suhu ruangan turun beberapa derajat.
“Tidak memakai… baju?”
Suaranya lembut, namun tekanan spiritual yang keluar darinya membuat permukaan teh di cangkir bergetar.
Mei Ling’er buru-buru melambaikan tangan.
“Bukan seperti yang Kakak pikir! Dia tidak bermaksud apa-apa! Bahkan dia terlihat panik waktu itu! Dia hanya mencoba menghentikan lukaku agar tidak berdarah terus!”
Mei Xian’er memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang — lalu menegakkan tubuhnya perlahan.
Ia tidak marah, tapi… ada sesuatu yang bergejolak dalam pikirannya.
Sebuah perasaan yang campur aduk — antara tak percaya, geli, dan anehnya… sedikit rasa ingin tahu yang dalam.
“Jadi… dia pernah melihatmu dalam keadaan… tidak berdaya?”
“I-Iya… tapi tidak seperti itu maksudnya! Dia sama sekali tidak menyentuhku dengan niat buruk! Dia bahkan… menyelamatkanku!”
Mei Xian’er membuka matanya kembali, pandangannya kini mengarah ke jendela, tempat sinar matahari menembus tirai sutra.
Di matanya, ada kilatan samar — entah itu tawa, atau sesuatu yang lain.
“Menarik…” katanya pelan.
“Ternyata dunia ini memang kecil sekali, Ling’er.”
Ling’er tampak bingung.
“Kak?”
Mei Xian’er berbalik, lalu berdiri anggun.
Ia melangkah ke arah balkon, membiarkan angin lembah menyentuh rambutnya yang berkilau.
“Pria yang menolong adikku tanpa pamrih…”
“Pria yang berani menatapku tanpa rasa takut…”
“Dan sekarang… menjadi orang yang ditakdirkan berada di sisiku.”
Ia tersenyum samar, matanya tampak bersinar lembut tapi misterius.
“Takdir… benar-benar cara yang menarik untuk bercanda denganku.”
Ling’er menatap kakaknya dengan heran,
“Jadi… Kakak tidak marah?”
Xian’er menoleh setengah, senyumnya tenang namun sulit dibaca.
“Tidak. Kenapa aku harus marah?”
“Kalau dia memang orang itu… maka aku hanya semakin yakin.”
“Yakin?”
“Bahwa Shen Hao memang berbeda dari pria lainnya.”
Aura tenang namun agung menyelimuti ruangan itu —
membuat Ling’er terpaku, dan entah kenapa hatinya terasa berdebar aneh melihat tatapan kakaknya yang begitu yakin pada pria itu.