Benjamin ditugaskan kakaknya, menjadi pengawal pribadi Hayaning Bstari Dewi Adhijokso, putri bungsu ketua Jaksa Agung yang kehidupannya selama ini tersembunyi dari dunia luar.
Sejak pertama bertemu, Haya tak bisa menepis pesona Ben. Ia juga dibantu nya diperkenalkan pada dunia baru yang asing untuknya. Perasaannya pun tumbuh pesat pada bodyguard-nya sendiri. Namun, ia sadar diri, bahwa ia sudah dijodohkan dengan putra sahabat ayahnya, dan tidak mungkin bagi dirinya dapat memilih pilihan hatinya sendiri.
Tetapi, segalanya berubah ketika calon suaminya menjebaknya dengan obat perangs*ng. Dalam keputusasaan Haya, akhirnya Ben datang menyelamatkan nya. Namun Haya yang tak mampu menahan gejolak aneh dalam tubuhnya meminta bantuan Ben untuk meredakan penderitaannya, sehingga malam penuh gairah pun terjadi diantara mereka, menghilangkan batas-batas yang seharusnya tidak pernah terjadi di malam itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Pesona Nona Nya Mengganggu
...•••...
“Benjamin, ini adalah putri saya, Hayaning Bstari Dewi Adhijokso."
Suara seorang pria terhormat, Ketua Jaksa Agung, Brata Adhijokso, terdengar tegas namun penuh kebanggaan saat memperkenalkan putrinya.
"Hayaning, pria ini adalah bodyguard pribadi yang Papa rekrut dari salah satu perusahaan jasa keamanan terbaik. Namanya, Benjamin Zachary Graham."
Haya memandang pria di hadapannya, berparas mix, tubuh tinggi dan tegap dengan aura maskulin yang tak bisa diabaikan. Matanya tajam berwarna cokelat, seolah mampu menembus lapisan luar siapa pun yang dilihatnya. Ia mengangguk sopan, meski ada sedikit rasa canggung dalam sikapnya.
“Senang bertemu dengan Nona Hayaning,” ujar Benjamin dengan suara rendah, menyelipkan penghormatan dalam nada bicaranya. Ia memberikan anggukan kecil, memperlihatkan profesionalitasnya.
“Ben,” Brata melanjutkan, menatap pria dihadapannya dengan serius. "Lindungi Haya dengan nyawamu jika perlu. Saya tidak ingin menerima kegagalan.”
Benjamin mengangguk tanpa ragu. “Saya mengerti, Pak. Saya akan memastikan Nona Hayaning selalu aman.”
Haya menelan ludah, merasa canggung sekaligus tak tahu harus bereaksi seperti apa. Kehadiran Benjamin terasa begitu berbeda dibandingkan bodyguard yang lalu-lalu.
Sebelumnya, ia dijaga oleh seorang pria paruh baya yang penuh wibawa, galak, dan tegas. Setiap gerak-geriknya selalu diawasi dengan tatapan tajam dan peringatan keras yang kerap membuatnya merasa seperti tahanan.
Namun, Benjamin jelas bukan pria tua yang sama. Tubuhnya tegap, wajahnya muda namun memancarkan ketegasan, dan sorot matanya dingin seperti pisau yang bisa menembus siapa saja.
Meski tidak ada tanda-tanda sikap galak seperti pendahulunya, tatapan pria ini seolah berjanji bahwa ia akan menjaga Haya dengan cara yang tak kalah serius.
Haya hanya bisa bertanya-tanya dalam hati, bagaimana ia harus beradaptasi dengan bodyguard yang kali ini begitu berbeda?
Haya sepertinya, akan menjadi amat canggung sebab baru pertama kali ia merasakan rasa aneh seperti ini ketika bertemu dengan bodyguard barunya.
"Hayaning," suara Pak Brata memecah lamunannya.
"Papa hampir lupa dengan usia putri bungsu Papa. Maaf, ya, Papa makin tua, dan pekerjaan Papa semakin menyita perhatian." Ia tersenyum tipis, mencoba melunakkan suasana.
Lalu Brata melanjutkan. “Di umurmu yang dua puluh lima ini, Papa ingin memberikanmu kebebasan untuk mengeksplorasi dunia luar.” Tatapannya melembut.
"Tapi ingat, kebebasan itu datang dengan tanggung jawab. Dan Ben ada di sini untuk memastikan semuanya tetap terkendali.”
Haya menoleh pada Benjamin sejenak, lalu kembali menatap ayahnya. Kebebasan? Dunia luar?
Kata-kata itu terasa begitu asing baginya, seorang gadis yang hampir sepanjang hidupnya dikurung oleh batasan demi batasan yang ditetapkan ayahnya. Kini, ia diberi kesempatan untuk melangkah keluar—dengan pengawal barunya ini yang akan selalu mengawasinya.
"Alasannya apa, Pa?" Haya bertanya dengan nada penasaran, meski ada keraguan di balik sorot matanya.
Pak Brata menghela napas panjang, matanya sedikit melembut saat menatap putri bungsunya. "Papa berpikir keras sepanjang waktu, Nak. Dan... atas pesan lembut mendiang Mama, Papa ingin meminta maaf karena selama ini sudah terlalu membatasi ruang gerakmu."
Haya tertegun, tidak menyangka mendengar pengakuan itu dari ayahnya yang selalu terlihat kokoh dan tegas.
"Namun, jujur saja, ini adalah keputusan yang berat," lanjutnya. "Papa tidak pernah benar-benar tenang memikirkan keselamatanmu. Tapi sekarang, Papa ingin memberikan kesempatan dan kepercayaan padamu. Karena itu, Ben akan menemani setiap langkahmu."
Haya kembali melirik Ben, aneh melingkupi ruang hatinya ketika ia amat senang melihat paras bodyguard barunya ini.
Rasa normal seorang perempuan dewasa yang timbul ketika menyukai dan apik hatinya melihat rupawan sempurna tanpa celah seperti bodyguard barunya itu.
Sementara itu, langkah kaki terdengar mendekat, seorang pria berpakaian formal dengan setelah jas berwarna hitam dan kacamata min bertengkar di hidung kokohnya mendekati mereka.
"Pak Brata, ada telepon dari kantor." Ucap Djiwa, Sekretaris Brata yang memberitahukan informasi penting itu.
Brata mengangguk paham pada Djiwa, lalu kembali menatap putrinya dengan ekspresi lembut. "Kalau begitu, Papa harus pergi sekarang. Ingat, Hayaning, manfaatkan kesempatan ini dengan bijak. Jangan buat Papa menyesali keputusan ini."
Haya hanya mengangguk pelan. Sebelum pergi, Brata menepuk pundak Ben sejenak. "Jaga dia baik-baik, Ben. Saya percayakan semuanya padamu."
"Baik, Pak." Jawab Benjamin dengan tegas.
Setelah Brata dan sekretaris nya pergi, Haya mendapati dirinya berdiri sendirian bersama bodyguard barunya. Rasa canggung perlahan menyeruak, namun entah kenapa, ada percikan rasa penasaran yang tak bisa ia abaikan.
Ben menoleh ke arahnya, menatapnya dengan sorot mata dingin. "Nona Hayaning, ada yang perlu anda lakukan sekarang, atau saya harus mengatur jadwal Anda?"
"Sepertinya... tidak ada. Kita bisa santai dulu, kan?" tanyanya, mencoba mencairkan suasana.
"Jadwal Anda adalah prioritas saya, Nona. Apa pun keinginan Anda, saya akan menyesuaikan," jawab Ben tanpa ragu.
Haya merasa gemas dengan sikap Ben yang begitu formal. "Just calm, Ben," ujarnya, mencoba memulai percakapan lebih santai. "Tidak usah pakai kata formal seperti menyebutku dengan 'anda', aku tidak menyukainya."
Ben mengerti, "baiklah, seperti yang saya bilang, saya akan menyesuaikan diri."
Hari itu menjadi momen yang tak terlupakan bagi Haya—hari pertama ia bertemu dan diperkenalkan dengan Benjamin.
Kilasan pertemuan indah itu terus terngiang di benaknya, seperti potongan memori yang terlalu berharga untuk dilepaskan. Dua bulan telah berlalu sejak saat itu, dan perlahan tapi pasti, Haya menyadari bahwa ia benar-benar menyukai bodyguard-nya sendiri.
Selama dua bulan ini, Ben telah mengajarkan banyak hal padanya. Latihan menembak rutin dan bela diri yang ia lakukan di bawah bimbingan Ben, bukan hanya membuatnya lebih tangguh, tetapi juga semakin dekat dengan pria itu.
Setiap hari yang mereka habiskan bersama, setiap perhatian kecil yang Ben tunjukkan, menjadi pupuk bagi benih-benih perasaan yang tumbuh semakin kuat di hati Hayaning.
Namun, ia tahu, perasaan itu hanyalah miliknya sendiri—rahasia yang tak mungkin ia ungkapkan. Meski begitu, Haya tak bisa menahan dirinya untuk terus menikmati setiap momen yang mereka habiskan bersama, seolah takut semuanya akan berakhir terlalu cepat.
•••
Air mengalir deras di atas kepala Benjamin, membasuh sisa-sisa keringat yang melekat setelah sesi latihan fisik rutin di malam hari. Suara pancuran memenuhi ruang mandi, menciptakan irama monoton yang kontras dengan kekacauan pikirannya.
Tato naga yang menjalar di bahu tegapnya terlihat jelas di bawah aliran air.
Otot-ototnya mengencang saat ia menyeka wajah dengan tangan yang kokoh, mencoba mengusir kelelahan yang sebenarnya tak sebanding dengan beban yang menghantui benaknya.
Bayangan Haya muncul tanpa diundang, mengusik fokusnya. Ekspresi perempuan itu, sorot matanya.
Benjamin menghela napas berat, membiarkan air dingin itu semakin membasuh pikirannya yang mulai keruh.
"F*ck! What's wrong with me?" gumamnya kesal kala bayangan Hayaning terus merenteti isi kepalanya seolah menghabiskan ruang untuk memikirkan hal lain.
Ia menunduk, menatap lantai kamar mandi dengan rahang mengeras.
"Sialan, kenapa harus bangun?!" Kesalnya, pada barang miliknya yang sudah berdiri.
Ben menarik napas dalam, jemarinya mengepal di sisi tubuh. Ada bara di dalam dirinya yang tak kunjung padam, semakin menyala seiring pikirannya yang tak mampu lepas dari sosok perempuan itu.
"Shhh..." Ia mengembuskan napas berat, membiarkan pikirannya tenggelam dalam fant*si yang tak bisa ia hentikan. Tanpa disadari, keinginannya mengambil alih, dan Hayaning tetap menjadi pusat dari pikirannya yang semakin li*r.
"Ughhh..."
"Hah... Hayaning!
Ben tak mengerti, mengapa bayangan malam kemarin begitu sulit dihapus dari pikirannya? sementara selama ini, ia selalu bisa melakukannya dengan mudah bersama yang lain.
"Berengsek!" desisnya, frustrasi.
Hayaning bukan perempuan yang bisa ia samakan dengan siapa pun dari masa lalunya—bukan seseorang yang hadir hanya untuk sekadar memenuhi kehampaannya atas tindak-tanduk keruh nya.
"Sialan kamu, Ben!" Ia menghardik dirinya sendiri, berusaha menepis kekacauan yang semakin memenuhi kepalanya.
Dering ponsel memekak keras dalam kamar, Ben segera memakai handuk dan melilitnya dengan asal.
Ia mengangkat panggilan itu dengan berdecak. "Oh Shit, Sean! Apa kamu bisa menganggu ku seenak jidat mu hah?"
Sean dari balik telepon mengerutkan keningnya ketika untuk pertama kali, adiknya tak sopan seperti ini bicara padanya.
"Bicara apa kamu Ben?!" Suara beratnya yang dalam membuat Ben tersadar, ia sudah kurang ajar.
"Sorry Mas, what's wrong?"
"Eyang Kakung meminta mu datang kerumah utama, apa kamu ada waktu?"
"Sayangnya jadwalku padat Mas, tapi jika tentang Eyang Kakung, aku akan usahakan."
"Ya, sepertinya Eyang Kakung ingin berbicara serius denganmu Ben. So, bagaimana dengan pekerjaan mu menjaga putri bungsu Pak Brata selama dua bulan ini?"
Ben mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri dan menyembunyikan emosi yang berkecamuk.
"Semua berjalan lancar, Mas. Tidak ada masalah besar sejauh ini. Hayaning aman di bawah pengawasanku."
Sean terdiam sejenak di balik telepon, suaranya berubah sedikit lebih serius. "Well, aku percaya padamu little boy, kalau begitu aku tutup teleponnya."
"Ya Mas."
Ben menarik napas panjang setelah panggilan berakhir. "Little boy?" gumam Ben dengan nada kesal. Ia selalu tidak menyukai panggilan itu, meskipun ia tahu itu hanya kebiasaan Sean untuk menggoda dirinya.
Belum reda kesalnya Ben, ketika ia yang tengah berpakaian diganggu oleh ketukan pintu. Awalnya, ia berniat menghardik siapa pun yang mengganggunya, tetapi niat itu segera surut ketika suara lembut nan familiar merayap masuk ke telinganya, membuatnya tertegun sejenak.
"Benji,"
Ben segera membuka pintu ketika ia selesai berpakaian.
"Nona?"
Tak pernah Hayaning menyambangi kawasan Paviliun yang ditempati Ben walaupun tak begitu jauh dari rumah utama, sebab Ben tetap harus menjaga Haya dari jarak dekat walaupun tidak dalam satu properti rumah yang sama.
Namun ada apa gerangan mendatanginya malam-malam begini pula?
Haya berdiri di ambang pintu, mengenakan gaun putih sederhana yang memancarkan pesona feminin yang dapat memikat siapapun. Wajahnya dipoles dengan makeup tipis, sementara lipstik berwarna merah muda glossy memberikan sentuhan manis pada penampilannya.
Tatapannya tampak sedikit canggung, namun senyum tipis perlahan menyelinap di wajahnya, menciptakan aura lembut yang sulit untuk diabaikan.
"Apa aku mengganggumu?" tanyanya dengan nada pelan, seolah takut menyela sesuatu yang penting.
"Tidak, Nona. Silakan masuk," ujar Ben sambil membuka pintu lebih lebar, memperlihatkan keramahan sekaligus rasa hormatnya.
Namun, Haya menggeleng pelan, menolak dengan sopan. "Tidak, terima kasih, Ben. Aku hanya ingin meminta bantuan darimu. Lagipula, tidak enak jika ada yang melihat."
Ben menatapnya dengan penuh perhatian, mencoba menangkap maksud di balik kata-kata itu. "Tentu saja, Nona. Apa yang bisa saya bantu?"
Haya menggigit bibir bawahnya, ragu sejenak sebelum akhirnya berkata dengan suara pelan, "Benji... maukah kamu menemaniku melihat bintang di rooftop rumah utama?"
Keputusan itu bukan tanpa alasan. Hayaning tahu betapa nekatnya permintaan ini, tetapi hatinya mendesak untuk mencari celah mendekat pada Ben.
Meski ia sadar, cintanya hanyalah rahasia yang ia simpan sendiri, Haya tetap ingin menikmati momen kebersamaan bersama bodyguard pribadinya.
Mungkin, sebelum badai perjodohan dengan Adipta, pria yang tak pernah ia pilih mengikatnya dalam belenggu tak terhindarkan sebab Adipta terlalu pandai memanipulasi. Karena itu, Haya ingin mencuri sedikit kebahagiaan bersama pria yang sudah memenuhi ruang hatinya.
"Tentu saja Nona, saya akan menemani nona melihat bintang di rooftop," jawab Ben dengan nada sopan, tanpa sedikit pun menyadari gejolak perasaan yang tersembunyi di balik permintaan sederhana Hayaning.
Haya tersenyum tipis, meskipun hatinya berdebar keras. Ia tahu, Ben menjawab itu sebagai pelayan yang setia, bukan sebagai seorang pria yang mungkin memendam perasaan yang sama. Namun, itu sudah cukup untuknya.
Mereka Keluar dari lift lalu berjalan bersama menuju rooftop, melewati lorong-lorong sepi rumah utama.
Haya sesekali melirik Ben yang berjalan di sampingnya, menyukai keheningan di antara mereka. Saat pintu rooftop terbuka, angin malam yang sejuk menyambut mereka, bersama taburan bintang di langit yang terlihat begitu dekat.
Haya melangkah ke depan, berdiri di tepi pagar, memandang ke atas. "Indah sekali, ya?" Ucapnya pelan.
Ben mengangguk kecil, berdiri beberapa langkah di belakangnya. "Langit seperti ini selalu mengingatkan saya pada betapa kecilnya kita di hadapan alam semesta."
Haya menoleh, memandang Ben dengan mata berbinar. "Pernahkah kamu berpikir... bahwa di tengah luasnya alam semesta, ada seseorang yang mungkin diam-diam mendoakan mu, tanpa kamu tahu?"
Ben terdiam, sedikit bingung dengan pertanyaan itu. Tapi sebelum ia sempat menjawab, Haya kembali memandang ke langit, berbisik lirih dengan suara sayup-sayup.
"Aku hanya berharap, setidaknya sekali dalam hidupku, aku bisa menjadi bagian kecil dari duniamu."
Ben mengerutkan kening, namun seperti biasa, ia menahan diri untuk tidak terlalu jauh menafsirkan maksud nona nya ini.
"Terima kasih sudah menemani," kata Haya akhirnya, berusaha menyembunyikan air mata yang nyaris jatuh. Sebab ia tahu, momen seperti ini tidak mungkin akan berulang dengan ditemani oleh orang yang sama. Orang yang dapat ia percaya.