Balas dendam? Sudah pasti. Cinta? Tak seharusnya. Tapi apa yang akan kau lakukan… jika musuhmu memakaikanmu mahkota?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon karinabukankari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 26: The Flame That Remains
Kabut pagi menebal di antara celah-celah pohon jarum di hutan utara. Cahaya mentari tidak bisa menembus dedaunan gelap yang menggantung rendah seperti tirai. Suara burung pun seakan enggan bernyanyi. Hutan itu… sunyi. Terlalu sunyi.
Seraphine turun dari kudanya dengan pelan. Ia menyentuh batang pohon yang kulitnya menghitam seperti terbakar dari dalam. Bekas sihir tua. Tidak wajar. Tidak alami.
“Ini sudah terlalu dekat,” katanya.
Caelum mengangguk, matanya menatap ke arah punggung bukit yang terselimuti kabut ungu tipis.
“Tempat itu di balik bukit. Benteng Elvarel,” ucapnya. “Dulu pusat pelatihan para magister perang.”
Seraphine menarik napas panjang. “Dan sekarang jadi reruntuhan yang menampung bahaya.”
Di sisi lain benteng Elvarel, Orin berdiri di tengah ruang utama yang atapnya telah runtuh sebagian. Reruntuhan ini sudah ia tinggali selama dua minggu terakhir. Tak ada penjaga. Tak ada pengikut. Hanya dia, makhluk dari Umbra Mortem, dan suara-suara yang kini mulai menyatu dengan pikirannya.
"Setiap kerajaan dibangun dari darah dan ketakutan," bisik suara itu. "Mengapa kau takut menggunakan metode yang sama?"
“Aku tidak takut,” jawab Orin pelan. Ia menatap tangannya—urat-urat sihir hitam mengalir pelan di bawah kulitnya.
“Aku hanya tidak mau menjadi seperti mereka.”
“Justru karena kau berbeda, dunia akan tunduk,” bisik makhluk itu. “Kau tak menuntut mahkota, tapi menciptakan sistem. Itu lebih mematikan dari raja mana pun.”
Sementara itu, di Ravennor pusat, Dewan baru terpecah.
Ash berjalan cepat di koridor istana tua yang kini menjadi markas administratif. Di belakangnya, dua utusan dari distrik utara berusaha mengimbangi langkahnya.
“Kami butuh perlindungan,” seru salah satunya. “Ada… aktivitas sihir! Hutan membusuk. Sungai mendidih. Anak-anak bicara dalam bahasa yang tak dikenal saat tidur!”
Ash berhenti. Matanya menyipit. “Kapan terakhir kali kau lihat langit bersih di sana?”
“Sudah lima hari,” jawab utusan itu. “Langit… seolah berdetak.”
Ash mencatat itu dalam kepalanya. "Itu berarti segel keempat mulai retak."
Salah satu utusan memucat. "Ada empat?"
Ash tidak menjawab. Ia hanya menatap ke luar jendela, ke arah langit utara yang kini berwarna biru tua meski masih siang.
Seraphine dan Caelum tiba di gerbang benteng Elvarel saat senja jatuh. Kabut tebal menghilang saat mereka melangkah masuk—digantikan oleh udara yang bergetar, seolah sihir di tempat itu masih hidup dan menyaksikan.
“Orin!” Seraphine memanggil. Suaranya menggema.
Tak ada jawaban, hanya langkah kaki dari balik reruntuhan.
Dari bayang-bayang, muncullah siluet Orin.
Dia tampak kurus, wajahnya lebih pucat, tapi mata itu… menyala ungu samar.
“Seraphine,” katanya dengan senyum pelan. “Akhirnya kau datang.”
Caelum segera berdiri di depan Seraphine, berjaga. Tapi Seraphine melangkah maju. Ia ingin melihat sendiri.
“Ini bukan kau,” katanya tegas. “Apa pun yang kau buka, apa pun yang kau izinkan masuk ke dalam dirimu—itu bukan dirimu.”
Orin tertawa kecil. “Apa menurutmu kau bisa menghentikan ini?”
Ia mengangkat tangan. Tanah bergetar. Dari balik lantai yang retak, keluar pilar-pilar batu berukir rune yang berputar pelan. Udara menjadi berat. Dunia menahan napas.
Caelum menarik pedangnya, tapi Seraphine menahan.
“Aku tak ke sini untuk bertarung,” katanya. “Aku ke sini untuk memilih.”
Orin mengerutkan kening.
“Memilih apa?”
Seraphine menatap matanya dalam-dalam.
“Apakah kau masih saudaraku.”
Di tempat lain—tepatnya di lembah Nyvaren, tempat suci para leluhur sihir—Ash dan dua penyihir dari Ordo Tertinggi berdiri di depan monolit hitam yang kini menyala merah.
“Ini menandakan Portal Ketiga telah terbuka,” ujar salah satu penyihir.
“Bukan hanya terbuka,” Ash membalas. “Ia... menghisap kembali semua yang pernah disegel.”
Kembali ke benteng Elvarel, Orin ragu.
“Kenapa kau masih memanggilku saudara? Aku mengkhianati kalian. Aku membuka pintu yang tak seharusnya dibuka.”
“Kau membuka karena kau melihat dunia baru tak sempurna,” jawab Seraphine. “Tapi kesalahan terbesar adalah mengira kesempurnaan bisa dicapai dengan membangkitkan kegelapan lama.”
Ia melangkah maju. “Aku tidak datang untuk membunuhmu, Orin. Aku datang untuk membawamu pulang.”
Untuk sesaat, mata Orin goyah. Cahaya ungu itu meredup.
Namun suara itu kembali—lebih kuat, bergetar di seluruh benteng:
“LEMAH.”
Dari balik tanah, sosok besar bangkit. Berbentuk seperti manusia, tapi tubuhnya terbuat dari kabut dan tulang. Mata ungu menyala. Ia adalah perwujudan dari Umbra Mortem—bukan makhluk tunggal, tapi kehendak kolektif dari semua yang pernah disegel.
“Jika kau tak memimpin jalan ini, Orin,” suara itu bergema, “aku akan mengambil tubuhmu sepenuhnya.”
Orin terjatuh, berlutut, tubuhnya mulai terguncang. Tangannya gemetar, kulitnya menegang dengan cahaya sihir liar.
Seraphine menjerit. “Orin, lawan dia!”
Ash, dari jauh, merasakan ledakan sihir. Ia mengangkat tongkatnya dan menciptakan proyeksi langsung—menyaksikan Seraphine di tengah benteng Elvarel, berhadapan dengan Umbra Mortem yang kini mulai menjelma penuh.
“Seraphine…” gumam Ash. “Kau terlalu dekat.”
Di dalam pikirannya, Orin berdiri di lautan hitam.
Suara ribuan bisikan mengelilinginya.
“Kau tak dicintai. Kau dilupakan. Kau diabaikan oleh sejarah yang kau bantu bangun.”
Namun satu suara kecil, hangat, muncul—milik Seraphine:
“Jika kau tak memimpin, siapa yang akan menjaga agar sistem ini tidak jatuh lagi?”
“Aku tak datang untuk bertarung. Aku datang untuk memilih.”
Orin menangis.
Dan ia memilih.
Di dunia nyata, tubuh Orin memekik dan cahaya ungu menyembur dari tubuhnya. Umbra Mortem menjerit, suaranya mengoyak udara.
Seraphine menutup mata dan menyalakan sihirnya.
Cahaya biru dan emas beradu dengan ungu kelam. Benteng Elvarel retak. Udara terbakar. Sihir lama dan baru bertabrakan.
Lalu, hening.
Ketika debu mereda, Caelum menggali dari bawah reruntuhan dan menyeret Seraphine keluar. Dia pingsan, tapi napasnya masih ada.
Orin tergeletak di tengah lingkaran rune yang kini padam. Matanya tertutup. Tubuhnya… utuh.
Tapi Umbra Mortem… hilang.
Untuk saat ini.
Tiga hari kemudian.
Ravennor masih gemetar dari kekuatan sihir yang mengguncang tanah mereka. Dewan akhirnya mengakui: ancaman kuno itu nyata.
Ash berdiri di menara observatorium.
“Kita menang… sebagian,” ucapnya. “Tapi segel sudah rusak. Dan dunia akan terus menguji kita.”
Seraphine duduk di kursi kayu dekat jendela.
“Dunia tidak butuh mahkota baru,” katanya. “Dunia butuh penjaga. Penjaga tanpa takhta.”
Ash tersenyum tipis. “Lalu siapa yang menjaga para penjaga?”
Seraphine menatap jauh ke arah utara.
“Aku.”
Malam pertama tanpa perang terasa ganjil. Bintang-bintang di langit Ravennor bersinar lebih terang seolah menyambut dunia baru—dunia yang belum sepenuhnya tahu bagaimana caranya bernapas tanpa ketakutan.
Di bawah menara pusat observatorium, Seraphine duduk sendirian. Di hadapannya, api unggun kecil berkedip, dan di tangannya, sebuah buku tua berisi catatan ayahnya. Bukan catatan takhta, bukan strategi perang—tapi jurnal pribadi tentang mimpi, kegagalan, dan ketakutan akan hari ketika Ravennor membakar dirinya sendiri.
"Putriku... jika kau membaca ini, berarti takdir telah berjalan lebih cepat dari yang seharusnya. Tapi jika kau melihat bintang yang sama dengan yang kulihat saat aku menulis ini, maka kau tahu... dunia selalu memberimu pilihan."
Air mata menetes di pipinya.
“Dan aku memilih menjaga, bukan memerintah,” bisik Seraphine.
Sementara itu di bawah tanah Ravennor—lebih tepatnya, di ruang bawah perpustakaan kuno—Orin duduk dengan tangan terikat sihir. Tapi bukan sebagai tahanan. Ia sendiri yang meminta itu.
Di hadapannya, Ash berdiri dengan dua gulungan rune terbuka.
“Kau yakin masih ingin mengingat semuanya?” tanya Ash. “Kita bisa bersihkan ingatanmu dari Umbra Mortem. Biarkan kau mulai dari awal.”
Orin menggeleng. “Kalau aku lupa, aku akan jatuh lagi. Aku tidak mau memulai dari kosong. Aku mau memulai dari kesalahan yang utuh.”
Ash menatapnya cukup lama, lalu perlahan mengangguk.
“Kau seperti Seraphine. Terlalu keras kepala untuk hidup nyaman.”
Orin menyeringai kecil. “Bukankah itu ciri khas Ravennor?”
Di pinggiran kota, Caelum berjalan menyusuri rumah-rumah yang mulai dibangun kembali. Warga sudah mulai menanam, mendirikan tenda, menggantung bendera baru—bukan lambang kerajaan, tapi simbol matahari di antara dua tangan terbuka.
Seorang anak kecil menghampirinya.
“Kau yang dulu pernah jadi ksatria, kan?” tanya si bocah polos.
Caelum mengangguk. “Pernah.”
“Aku mau jadi seperti kamu.”
Caelum tersenyum, berjongkok, dan menatap mata si bocah.
“Jangan jadi seperti aku. Jadilah lebih baik dari aku.”
Di ruang dewan Ravennor yang baru—kini berbentuk setengah lingkaran, bukan singgasana tinggi—para perwakilan dari berbagai wilayah mulai berdiskusi.
Tidak semua sepakat. Tidak semua damai. Tapi untuk pertama kalinya dalam sejarah, suara rakyat terdengar tanpa takut akan pedang.
Seraphine berdiri di tengah ruangan. Ia bukan ketua. Bukan pemimpin. Hanya seorang penjaga, seperti yang ia janjikan.
“Aku tidak akan memerintah kalian,” katanya. “Tapi aku akan ada di sini... setiap kali sistem ini terguncang. Kalian tak butuh ratu. Kalian butuh pengingat bahwa Ravennor dibangun bukan dari darah raja, tapi dari pilihan kita semua.”
Hening sejenak.
Lalu seseorang bertepuk tangan.
Lalu yang lain.
Hingga seluruh ruang penuh tepuk tangan—bukan untuk Seraphine sebagai simbol, tapi untuk gagasan bahwa kekuatan kini bisa dijaga tanpa tahta.
Tapi di balik bayangan reruntuhan lama—di celah yang sangat dalam, jauh dari mata siapa pun—ada retakan kecil yang masih menyala ungu.
Umbra Mortem memang terluka.
Tapi tidak mati.
Dan dari retakan itu, suara berbisik:
“Selama manusia punya rasa takut... aku akan selalu punya jalan pulang.”
To be continued…
Cobalah:
RA-VEN-NOR™
➤ Teruji bikin senyum-senyum sendiri
➤ Kaya akan plot twist & sihir kuno
➤ Mengandung Caelum, Ash, dan Orin dosis tinggi
PERINGATAN:
Tidak dianjurkan dibaca sambil di kelas, rapat, atau pas lagi galau.
Efek samping: jadi bucin karakter fiksi.
Konsumsi: TIAP JAM 11 SIANG.
Jangan overdosis.
Gemetar...
Tangan berkeringat...
Langit retak...
WiFi ilang...
Kulkas kosong...
Ash unfollow kamu di mimpi...
➤ Tiap hari. Jam 11.
Ini bukan sekadar Novel.
Ini adalah TAKDIR. 😭
Aku sudah capek ngingetin kamu terus.”
➤ Novel update jam 11.
➤ Kamu lupa lagi?
Baiklah.
Aku akan pensiun.
Aku akan buka usaha sablon kaus bertuliskan:
❝ Aku Telat Baca Novel ❞
#AyamMenyerah
“Kalau kamu baca jam 11, aku bakal bikinin kamu es krim rasa sihir.”
Caelum (panik):
“Update?! Sekarang?! Aku belum siap tampil—eh maksudku… BACA SEKARANG!”
Orin (pegangan pohon):
“Aku bisa melihat masa depan... dan kamu ketinggalan update. Ngeri ya?”
📅 Jam 11. Tiap hari.
Like kalau kamu tim baca sambil ketawa.
Komen kalau kamu tim “gue nyempil di kantor buat baca novel diem-diem”
Kamu bilang kamu fans Ravennor,
Tapi jam 11 kamu malah scroll TikTok.”
Jangan bikin aku bertanya-tanya,
Apakah kamu masih di pihakku…
Atau sudah berubah haluan.
➤ Novel update tiap hari.
➤ Jam 11.
Jangan salah pilih sisi.
– Orin
Tapi aku perhatikan siapa yang selalu datang jam 11… dan siapa yang tidak.”
Dunia ini penuh rahasia.
Kamu gak mau jadi satu-satunya yang ketinggalan, kan?
Jadi, kutunggu jam 11.
Di balik layar.
Di balik cerita.
– Orin.
Menarik.
Aku kira kamu pembaca yang cerdas.
Tapi ternyata...
➤ Baca tiap hari. Jam 11.
➤ Kalau enggak, ya udah. Tapi jangan salahin aku kalau kamu ketinggalan plot twist dan nangis di pojokan.
Aku sudah memperingatkanmu.
– Ash.
Untuk: Kamu, pembaca kesayanganku
"Hei…
Kamu masih di sana, kan?
Kalau kamu baca ini jam 11, berarti kamu masih inget aku…"
🕚 update tiap hari jam 11 siang!
Jangan telat… aku tunggu kamu di tiap halaman.
💙 – C.
Kucing kerajaan udah ngamuk karena kamu LUPA update!
🕚 JAM 11 ITU JAM UPDATE !
Bukan jam tidur siang
Bukan jam ngelamunin mantan
Bukan jam ngintip IG crush
Tapi... JAMNYA NGIKUTIN DRAMA DI RAVENNOR!
😾 Yang kelewat, bakal dicakar Seraphine pakai kata-kata tajam.
#Jam11JamSuci #JanganLupaUpdate
Itu jamnya:
✅ plot twist
✅ karakter ganteng
✅ baper kolektif
✅ kemungkinan besar ada adegan nyebelin tapi manis
Jangan lupa update TIAP HARI JAM 11 SIANG
📢 Yang gak baca… bakal disumpahin jadi tokoh figuran yang mati duluan.
Itu bukan jam makan, bukan jam rebahan...
Itu jam baca komik kesayangan KAMU!
Kalau kamu ngelewatin update:
💔 Caelum nangis.
😤 Seraphine ngambek.
😎 Ash: “Terserah.”
Jadi yuk… BACA. SEKARANG.
🔁 Share ke temanmu yang suka telat update!
#ReminderLucu #UpdateJam11
📆 Update : SETIAP HARI JAM 11 SIANG!
Siapa yang lupa...?
➤ Ditarik ke dunia paralel.
➤ Dikejar Orin sambil bawa kontrak nikah.
➤ Dijadikan tumbal sihir kuno oleh Ash.
➤ Dipelototin Seraphine 3x sehari.
Jadi... JANGAN LUPA BACA YAAA!
❤️ Like | 💬 Komen | 🔔 Follow
#TimGakMauKetinggalan
Komik kita akan UPDATE SETIAP HARI!
Jadi jangan lupa:
💥 Siapkan hati.
💥 Siapkan cemilan.
💥 Siapkan mental buat gregetan.
⏰ Jam tayang: jam 11.00 WIB
🧡 Yang lupa update, nanti ditembak cinta sama si Caelum.
➕ Jangan lupa:
❤️ Vote
💬 Komen
🔁 Share
🔔 Follow & nyalain notif biar gak ketinggalan~