"Dia, seorang wanita yang bercerai berusia 40 tahun...
Dia, seorang bintang rock berusia 26 tahun...
Cinta ini seharusnya tidak terjadi,
Namun hal itu membuat keduanya rela melawan seluruh dunia."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon abbylu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 16
Letty menyilangkan kakinya di atas sofa, dengan secangkir teh mengepul di tangannya dan ekspresi yang memadukan kelembutan, sarkasme, dan sedikit kejengkelan keibuan.
"Jadi?" tanyanya tanpa basa-basi, menaikkan alis. "Kamu masih mau terus bersikap jadi martir, atau akhirnya akan menelepon dia juga?"
Madeline, yang masih memakai piyama dan terbungkus selimut, memeluk bantal dengan lebih banyak rasa cemas daripada kenyamanan.
"Letty, ini tidak semudah itu..."
"Tidak semudah itu?!" ulang Letty dengan nada dramatis, sambil meletakkan cangkir ke meja. "Hei, Wanita, kamu mendengar dia secara langsung, di depan setengah negara ini. Dia mendedikasikan lagu untukmu! Di televisi nasional! Dan kamu masih duduk di sini, keras kepala seperti batu?!"
"Tapi…" Madeline menunduk, ragu. "Banyak yang sudah terjadi. Aku nggak tahu apakah semua ini masih ada artinya."
Letty langsung berdiri, berjalan mondar-mandir di depannya dengan langkah dramatis, seolah sedang memainkan adegan telenovela.
"Dengar baik-baik, Madeline del Carmen," panggilnya seperti tokoh utama sinetron Meksiko, membuat Madeline tersenyum. "Kalau kamu nggak ngelakuin sesuatu, aku yang akan bertindak. Aku bakal kirim pesan dari ponselmu. Lebih bagus lagi, aku kirim foto kamu dengan ekspresi ‘aku menyesal dan masih cinta’. Mau?"
"Letty, jangan!"seru Madeline sambil tertawa gugup, mencoba merebut ponselnya.
Letty berhenti, kali ini lebih serius.
"Maddie… ini bukan bercanda. Aku kenal kamu. Dan aku tahu kamu belum bisa melupakannya. Dia juga belum. Apalagi yang kamu tunggu?"
Malam itu, setelah Letty pulang, Madeline hanya ditemani pikirannya sendiri. Ia mengambil ponsel, membuka chat Liam. Ragu. Ia mulai mengetik:
> "Aku menyukai lagunya…"
Tidak. Dia menghapus pesan itu.
> "Hai… sudah lama…"
Itu pun dihapusnya lagi.
Ia mencoba beberapa kalimat lagi. Tak ada yang terasa “cukup tepat.” Ia mendesah, frustrasi, dan meletakkan ponsel ke samping.
Lalu, seolah takdir punya selera humor yang aneh, ponselnya bergetar.
Liam:
> "Kamu bisa bilang… kalau kamu suka lagunya\, dan itu udah cukup buatku…”
Mata Madeline membelalak. Apakah dia sedang melihatku ngetik?!
Ia tersenyum malu.
Madeline:
> "Aku menyukai lagunya… terima kasih."
Liam:
> "Kamu di rumah? Boleh aku mampir?"
Ia terdiam. Apa dia… sudah di sini?!
Ia langsung bangkit dari sofa, lari ke cermin terdekat, merapikan rambut sebisanya. Jantungnya berdetak keras sampai ke telinga saat ia membuka pintu dengan tangan gemetar.
Dan di sanalah dia. Berdiri, dengan tangan di saku, rambut agak panjang, jenggot tipis yang tumbuh beberapa hari, dan mata itu—mata yang tampak mencari matanya tanpa izin.
"Hai," ucap Liam, dengan senyum tipis.
"Hai…" balas Madeline pelan, menelan ludah.
Keheningan singkat, tapi penuh dengan emosi yang belum sempat terucap.
"Boleh aku masuk?" tanyanya lembut.
"Ya, tentu," jawabnya sambil menyingkir, memberi jalan.
Ia masuk ke dalam rumah, menatap sekeliling dengan jelas menyimpan nostalgia. Madeline mengikutinya sampai ke ruang tamu.
"Aku melihat wawancaranya…" gumam Madeline.
"Sudah kuduga."
"Dan… yah, bagaimana kabarmu?"
"Baik… atau kurasa begitu. Sejak kamu pergi, rasanya buruk. Aku nggak bisa main musik, nggak bisa nyanyi. Semua itu lebih memukulku dari yang mau kuakui. Miranda, saat lihat aku depresi, akhirnya nelpon adikku, Sophie. Aku pernah cerita tentang dia... Dia nemenin aku beberapa hari."
Madeline menyipitkan mata, bingung.
"Sophie itu cewek yang kamu muncul bareng di berita?"
Liam tertawa, menggelengkan kepalanya.
"Jadi kamu memang lihat, ya…"
"Yah, kalau semua TV dan media ngomongin kamu dan hidupmu terus, mustahil nggak lihat."
Liam menjatuhkan tubuhnya di sofa dengan napas berat.
"Sophie itu adik perempuanku… dia datang dari Australia setelah Miranda cerita aku lagi... jatuh bebas."
"Oh…" Madeline merasa sedikit bodoh, tapi juga lega. "Dan sekarang kamu udah lebih baik?"
"Lumayan," jawabnya jujur. "Nggak gampang. Setelah kamu pergi dari hotel itu, aku batalin semua jadwal. Aku ngurung diri buat nulis lagu. Sophie tinggal bareng beberapa minggu, lalu aku balik ke London buat kerjain album."
"Liam…" bisik Madeline, merasa bersalah.
"Aku nggak menyalahkanmu. Meskipun sakit waktu kamu pergi, aku ngerti alasanmu. Tapi yang nggak aku duga… kamu nggak kasih kabar. Nggak ada satu pun pesan. Nggak ada satu pun tanda."
Madeline menunduk, matanya sayu.
"Valentina… Awalnya dia terima. Dia bilang nggak peduli apa kata orang, dia tahu apa yang aku rasakan… Tapi hari-hari berlalu. Komentar di sekolah mulai datang. Ejekan, julukan… Bahkan ada cowok yang bilang bulan depan dia genap delapan belas dan ‘boleh ngajak ibunya’. Bayangin gimana perasaanku."
"Dan sekarang? Dia gimana?"
"Udah lebih tenang. Sekarang lagi sama ayahnya beberapa hari. Butuh istirahat. Tapi itu juga menghantamku. Karena niatku melindunginya, aku malah menjauh darimu. Dan akhirnya, dia tetap terluka."
Liam mencondongkan tubuh ke arahnya.
"Aku nggak menuntut apa pun. Tapi Madeline… aku benar-benar jatuh cinta sama kamu. Dan ini bukan karena ego, tapi karena itu kenyataannya. Aku kasih yang terbaik. Aku sabar, aku coba ngerti… tapi kamu tetap memilih pergi."
Madeline memandangnya, menggigit bibir bawah.
"Tapi aku nggak bisa berhenti mikirin kamu. Karena saat aku dengar lagu itu, aku sadar… meskipun aku coba meyakinkan diri bahwa semuanya sudah selesai, kenyataannya… aku belum selesai denganmu."
Liam tersenyum tipis.
—Dan apa yang kau inginkan sekarang?
Madeline menarik napas dalam-dalam, seperti melepas topeng ketakutan.
"Aku mau… mulai dari awal. Tapi pelan-pelan. Kita ngobrol, saling kenal benar-benar. Libatkan Valentina. Jujur dari awal. Tanpa rahasia, tanpa terburu-buru. Cuma… kamu dan aku, lagi."
Liam mendekat sedikit, suaranya lebih lembut.
"Kamu siap dengan headline media? Paparazi? Fans-fans cemburu?"
"Jika kau berada di sisiku, ya. Kali ini aku tidak ingin bersembunyi lagi."
Keheningan hangat mengisi ruangan. Liam mengangkat tangan dan membelai pipinya dengan lembut.
"Aku merindukanmu," gumamnya. "Jauh lebih dari yang seharusnya."
"Aku juga," bisiknya, menutup matanya saat disentuh.
"Dan Valentina?" tanyanya lagi, dengan hati-hati.
"Aku akan bicara padanya. Dengan jujur. Kalau aku belajar sesuatu dari semua ini… itu bahwa aku nggak bisa lindungi dia dari dunia. Tapi aku bisa ajarkan dia bahwa cinta layak diperjuangkan. Bahkan saat menakutkan."
Liam tersenyum dan tanpa berkata apa-apa lagi, memeluknya. Bukan seperti dulu, tapi dengan ketenangan baru. Seperti seseorang yang memeluk rumah yang telah lama hilang.
Malam itu tak ada janji manis atau kembang api. Hanya dua orang yang, setelah tersesat, memutuskan untuk saling menemukan kembali.
Dan kali ini, mereka akan melakukannya dengan benar. Dari awal.
Madeline menatapnya, menarik napas panjang… dan akhirnya tak bisa lagi menyembunyikannya.
"Ada sesuatu yang harus aku katakan… sesuatu yang baru kuketahui hari ini. Sumpah aku nggak bermaksud menyembunyikannya… dan aku juga belum yakin apa aku akan… mempertahankannya."
Liam mengerutkan kening, terkejut.
"Apa yang kau bicarakan, Madeline?"
"Aku hamil," katanya begitu saja.
Liam terdiam, membeku. Madeline berdiri pelan, berjalan menuju laci dan mengambil sesuatu. Ia menyodorkan selembar kertas.
"Ini hasil dari pengecekan doktern pagi tadi," ujarnya lirih, menyerahkan hasil USG.
Liam menerimanya hati-hati, seolah itu rahasia yang suci. Matanya menyapu gambar hitam putih itu, dan perlahan wajahnya dipenuhi dengan campuran keterkejutan, kebingungan… dan haru.