Alana, gadis SMA yang 'ditakuti' karena sikapnya yang galak, judes dan keras kepala. "Jangan deket-deket Alana, dia itu singa betina di kelas kita," ucap seorang siswa pada teman barunya.
Namun, di sisi lain, Alana juga menyimpan luka yang masih terkunci rapat dari siapa pun. Dia juga harus berjuang untuk dirinya sendiri juga satu orang yang sangat dia sayang.
Mampukah Alana menapaki lika-liku hidupnya hingga akhir?
Salahkah ketika dia menginginkan 'kasih sayang' yang lebih dari orang-orang di sekitarnya?
Yuk, ikuti kisah Alana di sini.
Selamat membaca. ^_^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bulan.bintang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 | Singa betina
Alana sama sekali tak pernah menyapa Gala meski mereka duduk bersebelahan. Sikap cuek-nya membuat dia seakan duduk sendiri seperti biasa.
"Hai, boleh pinjem bolpoin? Gue kehabisan nih, cuma bawa satu." Gala menatap cewek di sampingnya yang masih sibuk mencatat tanpa sedikit pun menoleh, apalagi membalas pertanyaannya.
Tunggu punya tunggu, tetap tak ada jawaban.
'Ealah, emang bud3k ni cewek.' Gala menggerutu dan mendengus pelan lalu kembali fokus mencatat materi dengan pensil.
"Anak-anak, sekarang kalian diskusikan bersama teman sebangku tentang materi yang baru saja dicatat. Jawab pertanyaannya lalu kumpulkan hari ini juga sebelum bel istirahat. Saya tinggal sebentar." Pak Rahman melangkah keluar kelas lalu kembali menutup pintu.
Kelas tanpa seorang guru, sudah pasti menjadi pasar. Sama seperti keadaan ruangan ini. Mereka mulai membahas materi dengan suka cita, berbeda dengan bangku di pojok belakang dekat dinding.
Kedua penghuninya saling diam. Alana terus mencatat sedangkan Gala jadi salah tingkah untuk bertanya pada teman sebangkunya yang sibuk sendiri.
Selang beberapa lama, pintu kelas terbuka menampilkan pak Rahman yang berjalan masuk dengan tatapan menyapu sekitar.
"Yang sudah, bisa kumpulkan sekarang," ucapnya dengan tegas.
Senyum simpul tersungging di sudut bibir Alana yang berjalan santai melewati Gala. Dia masih terdiam dengan kertas kosong di hadapannya lalu menunduk saat Alana mendaratkan tubuh di kursi samping.
"Hmm ... Alana, siapa teman sebangkumu? Apa masih duduk sendiri? Bukannya ada murid baru di kelas ini ya, berarti jumlah siswa genap berpasangan. Kenapa kamu masih sendiri?"
Dengan tenang, dia berdiri dan melirik sekilas pada teman sebangkunya.
"Ya, Pak. Saya sendiri."
Sontak semua mata menatap ke pojok belakang, lalu saling berbisik.
"Manggala, ini yang anak baru ya? Mana dia?" Pak Rahman berdiri dengan pandangan menyapu seisi kelas.
Merasa terpanggil, Gala berdiri mengangkat tangan. "Saya, Pak."
"Lho, kenapa nggak ngerjain tugas? Apa kamu belum paham? ... Alana, tolong bantu temanmu untuk mengikuti pelajaran kita." Pak Rahman kembali duduk lalu membenahi mejanya karena bel istirahat sudah terdengar nyaring.
Dengan kesal, Alana pergi keluar kelas meninggalkan Sisi dan Vio yang berlari mengejar. Langkahnya cepat menuju aula yang kosong.
"Aaiissshh ... kenapa malah senjata makan tuan gini? Enak aja seorang Alana jadi tutor anak baru, nggak banget." Gadis itu menendang kaleng bekas cat yang ada di hadapannya.
Suara nyaring terdengar dari aksinya, kemudian sekitar kembali sunyi.
Ponsel di saku bergetar, dengan cepat Alana membuka layar dan membaca pesan masuk lalu menunduk dalam.
Aula yang kosong dan berada di ujung bangunan membuatnya jarang dijamah kecuali untuk acara penting sekolah.
Sejak awal masuk, Alana lebih menyukai keheningan di ruangan itu, terlebih saat suasana hatinya tengah dilanda kegelisahan.
"Na ... "
Alana sontak menoleh kanan kiri mencari siapa yang memanggilnya, "Heh keluar, nggak usah pake nakut-nakutin segala. Cemen!"
Namun tak ada seorang pun yang datang juga terlihat di sana.
Dengan hentakan kaki yang keras, Alana keluar menuju kelasnya. Sementara di sudut aula kosong, seorang siswa menatap nanar ke arah pintu yang kembali tertutup.
Dalam ruang kelas, suasana ramai seperti pasar induk. Sisi dan Vio juga sibuk membahas drakor yang baru saja mereka tonton. Di sisi lain, sekelompok siswa tengah bermain game sambil menyanyikan lagu-lagu yang tengah populer.
"Bro, di sekolah lo yang lama, ceweknya cakep-cakep nggak? Kenalin lah, lama jomblo nih." Rio sengaja menepuk Adit dengan tawa tertahan, sedangkan Adit latah menepuk kepala Gala yang duduk di sampingnya.
"Heh, apaan? Sakit tahu!" Gala mengusap kepalanya dengan satu tangan.
"Maaf, maaf. Tadi Rio yang mulai." Adit menunjuk Rio yang tertawa puas di atas meja.
Mereka kembali fokus pada layar masing-masing hingga suara seseorang membuat ruangan seketika hening.
Alana menggebrak meja, lalu membacakan daftar nama yang belum membayar uang kas kelas.
"Terakhir hari ini, nggak ada alesan lagi. Pokoknya kudu lunas semua!"
Satu per satu penghuni kelas mendatangi meja di pojok belakang lalu menyerahkan uang. Alana sibuk mencatat dan menghitung uang yang terkumpul di meja. Dia tersenyum sinis ke arah Gala yang tengah menatapnya dari kejauhan.
Alana melangkah mantap ke arah para siswa yang masih sibuk dengan ponsel tanpa menghiraukan ucapannya.
"HEH RIO! BAYAR 15 RIBU. SE-KA-RANG! NGGAK PAKE ALESAN LAGI!" Alana mengambil paksa ponsel di tangan Rio yang masih menampilkan game di layarnya.
"HEH KAMPRET! BAL ... eh Na, kirain siapa. Ada apa, Na? Tumben mau nyamperin ke sini." Rio salah tingkah menatap Alana yang berdiri tepat di hadapannya.
Dengan wajah bengis, Alana memperlihatkan buku di tangan dan menunjuk sebuah nama.
"SEKARANG!"
"Tap ... tapi, Na. Gue lagi bokek, beneran sumpah. Duit jajan aja nggak dikasih sama Emak. Besok deh gue lunasin semua," ucap Rio dengan tampang memelas.
"Oke. Hape-lo jadi jaminan." Alana melangkah anggun kembali ke mejanya.
"NA ... " teriak Rio namun semua itu sia-sia karena Alana memasang earphone di telinga.
Rio mengacak rambut dengan kesal, dia menatap cewek yang telah merampas ponselnya dengan raut bimbang.
"Lah, kenapa nggak rebut balik? Cemen banget jadi cowok." Gala tertawa kecil dengan wajah meremehkan, membuat temannya menoleh dan menatap tajam.
"Dia tuh cewek jadi-jadian, siluman naga hitam, singa betina yang siap memangsa siapa pun. Kalo nggak percaya, sana deketin dia. Sampai kalian bisa pacaran, gue kasih duit deh, ya nggak, Dit."
Rio memukul Adit dengan buku, membuatnya seketika latah memukul Juna yang tidur di sampingnya.
"Banjir, banjir ... woii banjir ... " Juna tergagap dan langsung berdiri di atas kursi, membuatnya menjadi pusat perhatian di kelas.
Tawa riuh kembali terdengar memenuhi ruangan. Mereka mengolok-olok Juna si tukang tidur dengan berbagai kata candaan.
"Nama mah Arjuna, tapi kerjaannya molor mulu. Gimana mau perang coba?"
"Arjuna itu wayang yang tangguh, ganteng pula. Beda banget sama di sini. Udah molor-an, dibilang ganteng juga jatohnya fitnah."
Tawa puas disertai suara meja yang dipukul-pukul, membuat Alana melepas benda di telinga.
Dia menoleh ke arah Juna yang masih berdiri dengan wajah kebingungan.
"Dasar manusia aneh." Dia menghela napas lalu membuka ponselnya. Di saat yang sama, Gala mendekati Alana dan menyerahkan selembar uang berwarna hijau.
"Nih punya Rio. Lunas kan? Balikin hape-nya." Tangan cowok itu terulur tepat di depan wajah Alana yang menatapnya tajam. Cewek itu terbahak, tangannya sibuk meremas uang pemberian dari si anak baru.
Tepuk tangan dari Alana menyertai tubuhnya yang kini berdiri tepat menghadap si cowok,
"Sok jadi pahlawan kesiangan? Haha. BASI!" lalu dengan senyum sinis dia melempar sesuatu dari genggaman ke wajah cowok itu.
Alana juga melempar tas di kursi samping dengan tawa renyah yang memuakkan.
"Bisa-bisanya manusia modelan gini diterima Dirgantara, sama Mahardika aja dibuang." Alana kembali tertawa lalu memasang earphone dan mengangguk-anggukan kepala mengikuti irama yang didengar.
Gala menatap tak percaya pada cewek itu. Dengan kesal dia mengambil tas-nya dan berjalan ke arah tempat duduk di sudut lain, di mana teman-temannya berada.
"Nah, itu namanya KaDeeRTe verbal. Nggak sopan istri teriak-teriak ke suami." Rio tertawa menatap Gala yang kini duduk di dekatmya.
"Berisik!" Gala menggebrak meja lalu merebahkan kepala di atasnya.
"Belom apa-apa udah nyerah? Nggak mau duit?" Rio mengeluarkan beberapa kertas dengan nominal beragam.
"Semua cowok di kelas ini ikut taruhan. Mereka kebanyakan bilang lo akan gagal dan nggak bakal bisa luluhin si ratu hutan, tapi kami setuju banget kalo lo mau nyoba sama dia, biar kami bisa tenang tanpa bayang-bayang omelan dia yang nggak banget tiap harinya." Rio menepuk pundak Gala yang kini menatap Alana dengan senyum misterius.
"Oke, kalo gue bisa, gue dapet duit kan?" Gala mengalihkan pandangan ke arah Rio dan teman-teman lainnya.
Sontak para cowok mengangguk mantap, Rio mengacungkan tangannya lalu bersorak girang.
Sepulang sekolah, Alana sudah berdiri di depan gerbang menunggu jemputan. Sambil menunggu, dia memainkan jemarinya di layar ponsel.
Klakson mobil membuatnya tersentak namun tak lama kemudian senyum mengembang di bibir tipisnya, dia masuk dan melaju ke tempat tujuan.
Sementara itu di balik gerbang, Gala menatap kepergian Alana yang semakin menjauh dibawa pergi.
"Jadi, dia udah punya cowok?"
*