Sebuah insiden kecil memaksa Teresia, CEO cantik umur 27 tahun, menikah dengan Arga, pemuda desa tampan umur 20 tahun, demi menutup aib. Pernikahan tanpa cinta ini penuh gengsi, luka, dan pengkhianatan. Saat Teresia kehilangan, barulah ia menyadari... cintanya telah pergi terlalu jauh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Helliosi Saja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 27
Hujan turun semakin deras, membasahi tubuh seorang pemuda yang berjalan lunglai menyusuri trotoar gelap malam itu. Angin malam menggigit, namun rasa dingin itu tak sebanding dengan dingin yang ia rasakan di dalam hatinya. Arga, pemuda desa yang kini terdampar di kota besar, mencoba menahan sesak dalam dada. Setiap langkahnya seolah menambah beban di hati yang telah remuk redam.
Baru saja, dia rela menyingkir dari rumah megah itu. Rumah yang seharusnya menjadi istana kecilnya bersama istri tercinta, Tere. Tapi kini rumah itu terasa seperti penjara bagi hati Arga. Setiap sudutnya menyimpan luka, setiap pintunya mengingatkan betapa cintanya tak pernah bersambut.
Di tengah gelap dan hujan, suara klakson terdengar keras. Sebuah mobil mewah melaju kencang. Dan—
BRAKK!
Tubuh Arga terpental, terhempas ke pinggir jalan. Darah mengalir dari pelipisnya, sudut bibirnya basah dengan cairan merah. Pemuda itu tak bergerak, matanya terpejam, nafasnya tersengal pelan.
Si pengendara, seorang pria paruh baya, keluar dari mobil dengan panik. "Ya Allah... apa yang aku lakukan ini...?" Dia segera berlari menghampiri tubuh Arga yang tergeletak tak berdaya. Hujan terus membasahi wajah pucat Arga.
Tanpa pikir panjang, pria itu mengangkat tubuh Arga dan membawanya ke dalam mobil. Mobil itu melaju menuju rumah sakit terdekat—Rumah Sakit Bina Kasih.
Sesampainya di rumah sakit, suster dan dokter segera menyambut dengan sigap. Arga dilarikan ke ruang tindakan. Suster menoleh pada si penabrak. "Pak, apakah Anda keluarganya?"
Pria itu menggeleng cepat. "Bukan, Bu... saya... saya yang menabrak dia... saya mohon maaf... saya hanya ingin menolong..."
Suster itu mengangguk, wajahnya tegang. "Kalau begitu, tolong hubungi keluarganya secepatnya, Pak. Pasien ini butuh pendamping, dan mungkin nanti harus ada yang tanda tangan untuk tindakan lebih lanjut."
Panik, pria itu bergegas kembali ke mobil, membuka tas Arga, berharap menemukan sesuatu. Tangannya gemetar saat menemukan dompet lusuh berisi KTP dan—sebuah kartu nama dengan nama Adrian Adinata tertulis di sana, beserta nomor telepon.
Tanpa ragu, pria itu menekan angka di ponselnya.
Di seberang sana, Adrian mengerutkan dahi melihat panggilan tak dikenal di layar. Namun firasatnya membuatnya menjawab.
"Halo, dengan siapa ini?"
Suara pria itu terdengar gugup. "Halo, apa ini Pak Adrian?"
"Benar. Siapa ini?"
"Maaf Pak... saya... saya barusan menabrak seorang pemuda... namanya Arga, kalau tidak salah. Saya temukan kartu nama Bapak di tasnya. Sekarang dia sudah saya antar ke Rumah Sakit Bina Kasih. Dokter masih menangani, Pak... saya mohon maaf sekali..."
Jantung Adrian seolah berhenti berdetak. "APA? Baik... baik... saya akan segera kirim orang ke sana. Tolong... pastikan dia dapat perawatan terbaik!"
"Siap, Pak... siap..."
Sementara itu, di tempat lain, Tere dan Rio duduk berhadapan di restoran mewah. Suasana romantis yang diharapkan Rio sirna oleh tatapan kosong Tere.
Rio menghela napas panjang, merasa jengah. "Tere, kamu kenapa sih? Kayaknya pikiranmu nggak di sini. Kalau kamu capek, kita pulang aja ya? Udah larut juga."
Tere tersenyum tipis, memaksakan diri. "Iya, Rio... maaf... aku... aku nggak enak badan kayaknya."
Rio membayar makanan yang tak tersentuh. Mereka pulang.
Sampai di rumah, Rio berpamitan, mengecup kening Tere dengan penuh sayang. "Istirahat ya, sayang."
Tere mengangguk, lalu buru-buru masuk. Di dalam rumah, hatinya semakin tak tenang dia masuk kerumah lalu menuju kamar nya, dia pikir pasti arga lagi tidur. Saat pintu kamar terbuka dia tidak menemukan sosok arga disana. Mungkin kamar mandi. Tere duduk di ranjang nya. Menunggu arga, beberapa menit menunggu, tidak ada tanda-tanda arga keluar dari kamar mandi. Dia akhirnya melihat sendiri membuka pintu kamar mandi tidak menemukan sosok arga. Dicarinya Arga ke ruang keluarga, ke dapur. Tak ada.
Pikiran Tere melayang. Ucapan Arga tadi terngiang: "Mba, kita makan yuk... anggap aja ini makan kita yang terakhir bersama."
Dengan langkah cepat, Tere menuju pos satpam. "Pak, Arga ke mana?"
Pak Satpam menelan ludah, gugup. "Itu, Nona... Den Arga sudah keluar tadi... katanya mau tidur di kos. Saya kira Nona tahu..."
Jantung Tere mencelos. Kenapa rasanya sekarang hatinya sakit mendengar Arga pergi? Bukankah itu yang dia mau? Kenapa tiba-tiba ia merasa tak rela?
Tiba-tiba, ponselnya berdering. Nama Papa Adrian tertera di layar.
Tangannya gemetar. Apa Papa sudah tahu? Dengan ragu, ia angkat. "Halo... Pa?"
Suara Adrian berat dan penuh cemas. "Tere... suami kamu kecelakaan. Sekarang di Rumah Sakit Bina Kasih. Cepat ke sana!"
Tubuh Tere lemas. Ponsel jatuh dari genggamannya. Dunia terasa berputar.